x

Penyerang Belgia Romelu Lukaku, gagal menaklukan kiper Swedia Andreas Isaksson pada pertandingan Grup E Piala Eropa di Allianz Riviera, Nice, 23 Juni 2016. AP/Ariel Schalit

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sejarah(ku) Gagal Berulang

Sayangnya, sejarah 1974 dan 1988 yang sangat saya harapkan berulang, tak bisa terulang di Piala Eropa 2016.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Maman Suherman
 

Penikmat sepak bola

SEJAK pertama kali menonton pertandingan sepak bola tingkat dunia lewat layar kaca, saya sudah disuguhi "menu kedigdayaan Eropa", terlebih khusus lagi "menu" Jerman (saat itu masih bernama Jerman Barat) dan Belanda. Karena itulah, hingga kini, saya selalu memfavoritkan kedua negara ini, dalam kejuaraan apa pun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun 1974 adalah tahun pertama TVRI menayangkan 38 pertandingan Piala Dunia, dan di tahun itu Eropa begitu berjaya. Tiga semifinalis berasal dari Eropa. Jerman Barat dan Belanda bertemu di final. Lato dkk yang mengawal Polandia berhasil menaklukkan Brasil dalam perebutan tempat ketiga.

Setelah itu, layar kaca kita lebih banyak diwarnai oleh tayangan-tayangan pertandingan sepak bola di benua Eropa, baik antarklub maupun antarnegara. Dan Jerman semakin kukuh mempesona hati saya karena daya juang timnya sungguh dahsyat. Tak ada kata menyerah hingga detik-detik penghabisan. Pada pertandingan-pertandingan awal, Jerman kerap belum menunjukkan performa terbaiknya. Tapi ibarat mesin diesel, makin lama makin panas dan makin menggila.

Tentu kita masih ingat final Piala Dunia 1986 di Meksiko, saat Jerman berhadapan dengan Argentina. Tertinggal 0-2, Jerman berhasil menyamakan kedudukan menjadi 2-2, meski akhirnya takluk 2-3. Para pemain Jerman 1974 sungguh tertanam di benak saya. Franz Beckenbauer, "The Bomber" Gerd Muller, dan Paul Breitner. Termasuk, pemain lawannya di final: Johan Cruyff, Johan Neeskens, dan Arie Haan.

Ini berlanjut di "final terlalu cepat" Piala Eropa 1988. Seperti halnya Piala Dunia 1974, Piala Eropa 1988 juga berlangsung di Jerman. Bedanya, bila 1974 keduanya bertemu di final, pada 1988 keduanya sudah bertemu di babak semifinal. Marco van Basten dkk menuntaskan dendam seniornya, Johan Cruyff dkk, dengan hasil yang sangat mirip. Bila pada 1974 Gerd Muller menjadi penentu kemenangan 2-1 untuk Jerman, pada 1988, Van Basten menjadi penentu kemenangan lewat golnya di dua menit menjelang pertandingan berakhir. Belanda akhirnya menjadi juara Piala Eropa setelah di final menaklukkan Uni Soviet lewat dua gol berkelas dari Ruud Gullit dan Marco van Basten.

Sayangnya, sejarah 1974 dan 1988 yang sangat saya harapkan berulang, karena juga menjadi sejarah kesaksian saya terhadap kedigdayaan dua negara ini, tak bisa terulang di Piala Eropa 2016. Kedua tim favorit saya ini tak mungkin bertemu. Belanda bahkan tak lolos ke Piala Eropa.

Itu yang membuat saya sedikit kehilangan gairah menyaksikan Piala Eropa kali ini. Ada yang hilang dari keping puzzle memori saya, tentang pertandingan sepak bola tingkat internasional, yang pertama kali saya bisa nikmati: Jerman (Barat) vs Belanda!

Adakah alasan lain selain itu? Mungkin tidak logis, tapi ini seperti jawaban atas pertanyaan, "Apa alasan kamu memeluk agama A?" Terbukti, tak sedikit yang menjawab, "Karena sejak lahir saya sudah beragama A!" Lebih tepatnya, "Karena sejak lahir saya sudah diberi agama A."

Ya, sejak pertama kali menonton kejuaraan sepak bola antarnegara, saya sudah diberi sajian final Jerman (Barat) vs Belanda. Dan itu tak pernah terhapus dalam memori saya. Sejak lahir, menu itu yang saya nikmati.

Sepak bola senyatanya hampir menyerupai agama. Beratus-ratus juta manusia di berbagai sudut di seluruh dunia, dari gang-gang becek, dari pos-pos ronda yang sempit, hingga ke gedung-gedung mewah menjulang tinggi, bisa bersama-sama khusyuk-masyuk menatap ke satu titik: layar kaca. Mereka rela mengorbankan waktu istirahat, waktu tidur, bahkan waktu kerjanya, demi menyaksikan pertandingan sepak bola.

Meski mereka berasal dari suku yang berbeda, ras yang berbeda, negara yang berbeda, bahkan agama yang berbeda, titik pandang mereka sama: sepak bola! Termasuk di negeri ini. Meski yang sedang berlaga, bukan tim yang mewakili Indonesia, mereka lebih fasih mengeja nama-nama pemain dari negara lain, dibanding pemain asal negerinya sendiri-seraya bermimpi bersama, kapan tim nasional kita bisa berjaya dalam kejuaraan multinegara seperti itu. Piala Asia, Olimpiade, dan Piala Dunia.

Sepak bola sungguh telah menjadi "agama" pemersatu dunia. Dan, di dalamnya juga tak jarang diwarnai dengan kekerasan brutal antarsuporter. Adapun di dalam lapangan, para pemain yang baru saja saling berhadapan untuk saling menaklukkan bisa mengakhiri pertandingan sambil berpelukan dalam damai.

Beriringan atau berhadapan adalah sebuah keniscayaan dalam permainan kehidupan dunia. Sungguh indah bila diwarnai dengan satu hal yang sama: berpelukan! Cinta! Damai!

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler