x

Iklan

Abah Raditya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rockefeller, TEMPO, dan Pak Ogah (Bagian 3)

Akibat berita investigasi Tempo dalam kasus korupsi reklamasi Teluk Jakarta yang menyebut Ahok, Teman Ahok, Sunny dan Cyrus, muncul serangan kepada Tempo d

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Serangan terhadap Tempo

Akibat berita investigasi Tempo dalam kasus korupsi reklamasi Teluk Jakarta yang menyebut Ahok, Teman Ahok, Sunny dan Cyrus, muncul serangan kepada Tempo di social media, terutama Twitter. 

Saya tidak tertarik untuk mengungkap siapa saja yang menyerang Tempo ini, tapi ada beberapa pesan kunci yang coba dimunculkan, di antaranya:

Serangan 1: Tempo akansegera bangkrut dan ‘memeras’ Ahok dengan pemberitaan negatif agar selamat dari kebangkrutan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untuk melihat sebarapa akurat tuduhan tersebut, saya membuka laporan keuangan Tempo yang tersebar untuk umum, karena Tempo memang perusahaan go public dengan kode saham: TMPO.

Tempo didirikan pada tahun 1971 dengan modal awal Rp. 70 juta dan pada tahun 1998 setelah pembredelan kedua Tempo berdiri kembali dengan nama PT Arsa Raya Perdana dengan investasi Rp. 5 miliar.

Tahun 2015 lalu Tempo membukukan penjualan sebesar Rp. 252,446 miliar, dari penjualan tersebut TM membukukan net income sebesar Rp.2,617 miliar. Dari laporan keuangan tersebut, tahun 2015 Tempo masih untung, masih jauh lebih baik dibandingkan dengan 18 BUMN yang mengalami kerugian di tahun yang sama, dengan nilai kerugian Rp.5,8 triliun.

Tempo pernah mengalami masa yang kelam secara bisnis, yaitu saat dibredel tahun 1994. Jika saat bredel pertama syarat terbit kembali sangat mudah, hanya bertanda tangan di secarik kertas, pada pembredelan kedua  sangat sulit. Keluarga Presiden Soeharto yang diwakili Hasyim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, dalam penjelasannya kepada Erick Samola di sebuah pertemuan di hotel memberikan syarat: berita Tempo harus diketahui oleh mereka (Keluarga Presiden Soeharto), pemimpin redaksi harus ditentukan oleh mereka, dan mereka bisa membeli saham Tempo. Jajaran pemimpin Tempo mendiskusikan syarat tersebut. Semuanya kemudian bersepakat untuk menolaknya. Mereka rela Tempo tidak pernah terbit lagi. Ini adalah persoalan integritas diri, alasannya.

Majalah Tempo pernah mengalami masa yang sangat sulit, dan Tempo rela mati demi mempertahankan integritas dirinya. Tahun 2016 tidak bisa dikatakan sebagai masa sulit, kinerja keungan tahun 2015 bagus, lebih bagus dari 18 BUMN, tidak masuk akal jika harus melacurkan diri ‘memeras’ Ahok demi mempertahankan diri dari kebangkrutan.

Serangan 2: Tempo menggunakan narasumber orang yang disingkirkan dari perusahaan

Vincentius Amin Sutanto (Vincent) adalah mantan financial controller di Asian Agri Group milik taipan Sukanto Tanoto yang diadili karena membobol uang milik PT Asian Agri Oil and Fats Ltd. di Singapura, salah satu anak perusahaan Asian Agri. Bersama dua koleganya, Hendry Susilo dan Agustinus Ferry Sutanto, Vincent membuat dua perusahaan untuk menampung dana US$ 3,1 juta dari Asian Agri. Vincent sendiri belum sempat menikmati duit itu. Kawan Vincent, Hendry, sempat menarik Rp 200 juta, sebelum aksi mereka terbongkar. Selepas itu, Vincent pun kabur ke Singapura. Di tengah pelariannya, Vincent sempat meminta pengampunan kepada Sukanto, tapi gagal.

Dari tempat persembunyiannya Vincentius Amin Sutanto mengungkap sebuah rahasia besar; manipulasi pajak Asian Agri Group. Menurut bekas pengawas keuangan belasan perusahaan sawit milik Sukanto Tanoto, salah satu orang terkaya di Indonesia,  jumlah pajak yang diselewengkan mencapai Rp 1,1 triliun, yang kemudian membengkak menjadi Rp 1,3 triliun. Informasi rahasia ini dibocorkan Vincent kepada Metta Dharmasaputra dalam pelariannya di Singapura, setelah aksinya membobol uang perusahaan terbongkar. Ia sempat berniat bunuh diri. Namun akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta lewat sebuah operasi intelijen yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia.

Telepon genggam Metta sempat disadap. Tempo yang mempublikasikan liputan investigasi ini digugat di pengadilan. Vincent dihukum 11 tahun penjara atas dakwaan pencucian uang yang tidak pernah diperbuatnya. Aparat pajak pun perlu bertahun-tahun untuk bisa menyidangkan kasus ini, sebelum akhirnya Mahkamah Agung memvonis denda Asian Agri Rp 2,5 triliun.

Orang yang disingkirkan dari perusahaan bukan masalah dalam investigasi, buktinya Vincent, penjahat bagi perusahaan Asian Agri tapi ia bermanfaat bagi Tempo untuk jadi narasumber penting yang kemudian pembuka jalan bagi KPK untuk menelusuri penggelapan pajak dan menyelamatkan uang negara sebesar Rp. 2,5 triliun.

Narasumber Tempo juga sering diserang, contohnya akun Twitter @triomacan2000, yang adminnya kini dipenjara, membuat serial twit yang menyerang kredibilitas narasumber Tempo. Tapi Tempo terus berlanjut membongkar kasus korupsi dan beberapa diantaranya sudah masuk ke dalam persidangan.

Saya tergerak untuk membuat tulisan ini karena kegundahan hati saya atas fenomena yang terjadi belakangan.  Ada tren personalisasi isu-isu besar yang menjadi concern bangsa kita lintas generasi dan rezim pemerintah, misalnya kasus korupsi,  kebebasan berpendapat.  Isu tersebut digeser menjadi seolah-olah hanya perseteruan antar kelompok pendukung semata.  Contoh: saat mengkritik kebijakan pemerintah, ada kelompok di social media yang kadang membully dengan tuduhan sebagai #haters.  Atau pada saat menyebarkan progress pemerintah,maka ada serangan dari kelompok lainyang kemudian memberikan label #jokowers atau #ahoax.

Dalam kasus korupsi reklamasi Jakarta, saya menangkap ada tren opini yang muncul  seolah-olah pengungkapan kasus korupsi ini hanyalah terkait  politik Pilkada 2017 semata.  Padahal,  kasus korupsi ya kasus korupsi saja, ia harusnya jadi musuh bersama, kapanpun waktunuya.

Korupsi dan Tempo sebagai media investigasi

Lembaga Transparansi Internasional membuat pengukuran untuk menilai sejauh mana praktek korupsi di suatu negara.  Ia mendefinisikan korupsi sebagai “segala penyalahgunaan wewenang kekuasaan untuk manfaat pribadi”.

Ia lakukan survey ke ribuan pengusaha yang sering berinteraksi dengan pelayanan publik sebagai sampel,  lalu memberi skor 0 jika sangat korup dan 100 jika sangat bersih. Lalu hasilnya disebut sebagai sebagai Indeks Persepsi Korupsi (IPK).

Pada tahun 2015 lalu Indonesia mendapatkan skor IPK 36 dari skala 0-100. 

Untuk mudahnya, bayangkan kita sedang ujian semester,  dengan skala nilai 0-100 dan kita hanya dapat nilai 36.  Siapapun pasti sedih mendapatkan nilai 36 dari 100, karena itu sangat buruk dan pasti tidak akan lulus ke semester berikutnya. 

Alhasil Indonesia mendapatkan ranking 88 di “kelas” anti korupsi Transparansi Internasional.  Tetangga kita Thailand dapat ranking 76, Malaysia 54, sementara Singapura mendapat ranking 8. 

Kita harus akui, negara kita tercinta Indonesia masih korup.

Tingkat korupsi pun berjenjang, mulai kelas ecek-ecek mengutip “uang rokok” saat bikin KTP atau kartu keluarga, memberikan “uang damai” saat ditilang, sampai dengan kelas kakap,  korupsi yang mempengaruhi kebijakan yang berdampak pada nasib jutaan orang penduduk. 

Jika korupsi ecek-ecek sangat mudah dideteksi, korupsi kebijakan ini sangat rumit dideteksi, melibatkan uang yang melimpah dan proses yang kompleks.  Untuk mendeteksinya,  dibutuhkan orang yang punya passion untuk melakukan investigasi dan punya cukup keberanian untuk melakukannya.

Mafia Migas, penggelapan pajak, korupsi reklamasi merupakan isu-isu elit yang sulit dicerna oleh orang awam. Proses transaksinya rumit, modus korupsinya juga tersamar, sehingga dibutuhkan orang yang punya passion untuk melakukan investigasi, sehingga publik tahu, mendorong penegak hukum untuk bekerja mengadili dan menghukum yang salah. 

Kita mestinya berterimakasih kepada mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk investigasi korupsi, karena saat kasus korupsinya berhasil diungkap dan diproses secara hukum, kita juga yang diuntungkan.

Pak Ogah dan semangat pemberantasan Korupsi

Saat berkendaraan kita pasti pernah melewati pertigaan, jalanan berlubang atau puteran balik. Contohnya di pertigaan seberang Pasar Rumput Manggarai, sering ditemukan Pak Ogah, orang-orang yang ‘membantu’ kelancaraan jalan. Mereka bukan petugas lalu lintas, memberhentikan kendaraan yang berjalan lurus dan memberi waktu lebih banyak kepada kendaraan yang berbelok karena mereka cenderung akan memberi imbalan uang, kendaraan yang berjalan lurus terpaksa berhenti lebih lama, menunggu yang berbelok ini lewat karena diberhentikan oleh Pak Ogah tadi, akibatnya bukan kelancaran yang terjadi, tapi malah menambah kemacetan. Ketika yang berbelok ini tidak memberi uang, mereka misuh-misuh.

Pak Ogah adalah salah satu karakter dalam cerita Si Unyil, sifatnya dikenal sebagai sosok yang seolah-olah membantu (padahal nyatanya tidak), bahkan malah menghambat, lalu meminta imbalan atas ‘bantuannya’.

Lalu apa hubungannya dengan pemberantasan korupsi?

Salah satu musuh besar bangsa kita, siapapun presidennya, siapapun gubernrunya, kapanpun waktunya adalah korupsi.

Ibaratnya kita sedang berkendaraan menuju tujuan negara yang bersih dari korupsi.  Di perjalanan menuju negara bersih korupsi ini, kita akan bertemu dengan pertigaan, jalan berlubang, yang memperlambat perjalanan kita menuju negara bebas bersih. 

Media investigasi seperti Tempo sebagai pilar keempat demokrasi, membongkar praktek penyelewengan kekuasaan untuk manfaat pribadi, membantu kita mempercepat sampainya tujuan untuk menjadi negara bersih tadi.

Sungguh disesalkan banyak yang menjadi Pak Ogah dalam perjalanan menuju negara bersih ini, seolah-olah ikut membantu, padahal menghambat spirit kita untuk berantas korupsi.

Tempo sedang gencar membongkar kasus korupsi, kebetulan aja kasusnya menyangkut kebijakan Ahok dan menyebut Teman Ahok, tak ada yang spesial.

Tetapi menyerang Tempo sebagai pengirim pesan dengan ad hominem, membuat name callingyang buruk atau bahkan melakukan bullying, malah akan melemahkan upaya investigasi korupsi yang sedang dilakukannya,membuat jurnalisnya malas untuk lakukan investigasi karena takut dibully,  lebih jauh lagi akan menghancurkan spirit kita bersama dalam pembertantasan korupsi. 

Tindakan tersebut tak ubahnya seperti Pak Ogah yang merasa membantu permberantasan korupsi padahal menghambatnya.

Kita mungkin saja berbeda pendapat dengan Tempo, ia pun bukan malaikat yang tak pernah salah. Goenawan Mohammad pernah berkonflik dengan Bur sesama orang Tempo, sampe Bur melemparkan air kopi ke arah Goenawan,lalu mengundurkan diri setelah kejadian itu.

Pada tahun 1987 , 31 karyawan Tempo pernah eksodus karena kesejahteraan yang minim dan manajemen yang tidak transparan, tapi Tempo secara organisasi terus berbenah, ia tetap lanjutkan profesinya sebagai media investigasi.

Saya pernah mengkritik dan memberi masukan kepada Tempo, saya sampaikan secara langsung melalui jurnalisnya. So far cukup open minded dan langsung merespon masukan dari saya di hari itu juga.

Jika tidak setuju dengan Tempo, seranglah pesannya jangan pembawa pesannya. Kecuali jika Anda memang lebih senang disebut Pak Ogah dalam pemberantasan korupsi di negeri ini.

Menutup tulisan ini, saya kembali mengutip testimoni Ahok untuk Tempo: Tetap tajam, berani, buka semua!

 

Penulis:

Abah, digital entrepreneur, aktivis #SaveJkt, mantan kepala sekretariat Tim Reformasi Migas.

Twitter: @abaaah

Blog: http://abah.me

 

Disclaimer: Saya bukan buzzer Tempo dan juga bukan konsultan salah satu Cagub DKI Jakarta

Beberapa rujukan:

"John D. Rockefeller" di Wikipedia

The Woman Who Took on The Tycoon

"Standard Oil" di Wikipedia

"Ida Tarbell" di Wikipedia

Sejarah Majalah Tempo: Konflik dan Pembredelan

Kisah Tempo yang Diberedel Soeharto dan Diultimatum Hashim

Teknik Investigasi dan Reportase di Facebook

Majalah Tempo 2001: Biografi Pembelaan Diri yang Subjektif/

Audit Forensik Petral: Mafia Migas Keruk Rp 250 Triliun

http://chirpstory.com/li/306133

What We Can Learn: 1000 Years Dutch Flood Management

"Flood control in the_Netherlands" di Wikipedia

https://twitter.com/Abaaah/status/744584745883963395

 

Baca Juga

Rockefeller, TEMPO, dan Pak Ogah (Bagian 1)

Rockefeller, TEMPO, dan Pak Ogah (Bagian 2)

Ikuti tulisan menarik Abah Raditya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler