x

Terjepit karena Brexit

Iklan

Wahyu Dhyatmika

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Akhir Mimpi Eropa?

Keterkaitan antara politik dalam negeri Inggris dan penampilan tim sepak bola mereka juga tak kalah unik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Wahyu Dhyatmika
 

Wartawan Tempo

Perhelatan Piala Eropa kali ini digelar di tengah perdebatan panas seputar Brexit. Tak kurang dari 33 juta warga Inggris Raya memberikan suara dalam referendum pekan lalu. Hasilnya: kubu Brexit, mereka yang mendorong Britania meninggalkan Uni Eropa, menang dengan selisih tipis. Inggris membuat sejarah dengan menjadi negara pertama yang keluar dari blok ekonomi berpengaruh itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Banyak yang menyesalkan keputusan ini. Proyek Uni Eropa dibangun sejak akhir 1950-an, di atas puing sisa perang dunia yang meluluh-lantakkan Benua Biru. Keputusan untuk membangun sebuah blok ekonomi sosial dan politik bersama sejak awal memang bertujuan mengurangi secara drastis potensi konflik antar-negara di kawasan yang sudah dua kali memicu perang dunia itu.

Dan mereka berhasil. Lihatlah Eropa sekarang. Sisa-sisa perseteruan besar di sana pada awal abad lalu kini hanya terasa di lapangan hijau. Ketika Jerman berhadapan dengan Polandia, di babak penyisihan grup C Kamis dua pekan lalu, lebih dari 70 ribu penonton di Stade de France, Paris, masih bisa merasakan ketegangan di antara kedua negara itu. Tapi kedua tim bermain sportif dan pertandingan berakhir imbang tanpa gol. Suporter Polandia dan Jerman pun bersalaman seusai laga, tanpa berujung kericuhan.

Damainya pertandingan itu adalah pencapaian yang tak boleh dianggap remeh. Pada Perang Dunia Kedua, Polandia adalah negara pertama yang diserbu Nazi Jerman pada September 1939. Tanpa peringatan, Hitler mengerahkan 1,5 juta tentaranya untuk menginvasi tetangganya dalam sebuah Blietzkrieg yang mematikan. Akibat serangan itu, Prancis dan Inggris menyatakan perang kepada Jerman, dan perang besar pun dimulai.

Sekarang, 23 tahun setelah Traktat Maastricht yang menandai dimulainya proyek Eropa bersatu, Inggris memutuskan keluar. Lalu, apakah dengan demikian mimpi Uni Eropa menjadi pusat kemakmuran ekonomi, perdamaian, dan peradaban dunia bakal terusik? Apakah pertarungan Jerome Boateng, palang pintu tangguh Jerman, versus bintang Polandia, Robert Lewandowski, bakal tumpah ke jalan-jalan seperti puluhan tahun lampau, ketika tentara kedua bangsa itu berhadap-hadapan dengan bedil terhunus?

Mudah-mudahan tidak. Tapi sejarah Piala Eropa tak pernah bisa dipisahkan dari politik kawasan di benua itu. Ketika pertama kali digelar di Prancis pada 1960, ada 17 negara yang lolos kualifikasi. Tapi Inggris, Jerman, Belanda, dan Italia menolak ikut. Rusia (waktu itu masih Uni Soviet) menggondol trofi juara, tapi kemenangan mereka terasa pahit karena Spanyol menolak berhadapan dengan negara itu di babak perempat final.

Keterkaitan antara politik dalam negeri Inggris dan penampilan tim sepak bola mereka juga tak kalah unik. Tiga wilayah yang menjadi pilar Kerajaan Inggris (United Kingdom), yakni Inggris (England), Wales, dan Irlandia Utara, masuk 16 besar. Hanya Skotlandia yang tak ikut ke Prancis. Mereka semua memilih berlaga di kancah internasional dengan empat bendera berbeda, dan menolak bergabung membela satu panji Britania Raya.

Ada yang bilang, sepak bola adalah olahraga yang paling menarik di muka bumi karena identitas kelompok, suku, dan bangsa bisa berbenturan dengan ganas, tanpa harus memicu perkelahian sesungguhnya di kehidupan nyata. Kita semua berharap Brexit dan perpecahan Uni Eropa tak mengubah hal itu.

Ikuti tulisan menarik Wahyu Dhyatmika lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler