x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengenang Futurolog Alvin Toffler (1928-2016)

Future Shock dan karya-karya Alvin Toffler lainnya telah menyita perhatian para pemimpin dan pemikir dunia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

"Change is not merely necessary to life - it is life."
--Alvin Toffler
 

Alvin Toffler akan dikenang, antara lain, karena telah menciptakan kegandrungan pada futurologi—studi masa depan, future studies—di tingkat global. Karya pertama dari triloginya, Future Shock, telah menarik minat masyarakat internasional pada tahun 1980an untuk mencoba mengerti apa yang akan terjadi di masa depan. Ini sejenis ‘peramalan’ dalam format yang lebih ilmiah.

Pemikiran Toffler ihwal perubahan-perubahan besar yang dialami masyarakat pada akhir abad ke-20 telah mengejutkan. Sebagian kritikus menganggap Toffler hanya mengumpulkan data dan informasi yang berserakan, tapi sesungguhnya ia telah berpikir keras untuk menemukan pola dari timbunan data dan informasi—connecting the dots dan menafsirkannya secara cerdas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Toffler mensintesiskan fakta-fakta dari setiap sudut dan melihat adanya konvergensi sains, kapital, dan komunikasi yang mendorong perubahan besar dan menciptakan masyarakat baru. Prediksinya mengenai konsekuensi perubahan terhadap budaya, keluarga, pemerintahan, maupun ekonomi terbilang akurat. Toffler ‘meramalkan’ tentang bagaimana perempuan dapat membeli embrio kecil, meminta dokter mencangkokkan embrio itu di uterusnya, dan melahirkan sang bayi dari rahimnya sendiri.

Perubahan-perubahan ini menantang struktur komunitas, institusi, dan bangsa yang tengah berlaku dan bakal menimbulkan gejolak. Tak pelak, ditulis pada 1970, Future Shock terjual lebih dari 6 juta eksemplar dan diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa. Toffler termasuk di antara pemikir pertama yang mengenali bahwa pengetahuanlah, bukan tenaga kerja dan bahan mentah, yang jadi sumber daya ekonomi terpenting dalam masyarakat maju.

Karya kedua trilogi, The Third Wave yang terbit 10 tahun setelah Future Shock, menjadikan nama Toffler kian menjulang sebagai futurolog atau futuris. Pada tahun 1980an ada nama lain yang juga mashur sebagai futurolog, yakni John Naisbitt berkat karyanya Megatrends (terbit 1982), tapi Toffler dapat dikata menghadirkan peta perubahan yang lebih menyeluruh dan melengkapi triloginya dengan Powershift (1990).

Toffler menjadi pemikir penting yang kerap diundang oleh banyak kepala pemerintahan. Perdana Menteri Cina Zhao Ziyang menggelar konferensi untuk mendiskusikan The Third Wave dan di negeri ini karya Toffler menempati urutan ke-2 buku terlaris, hanya diungguli oleh buku pidato Deng Xiaping—yang boleh jadi memang wajib dibaca. Ide-ide Toffler juga menarik perhatian pemimpin Soviet Mikhail Gorbachev.

The Third Wave mengandung gagasan yang mengundang perbincangan di berbagai forum global. Setelah memaparkan kondisi gelombang pertama terkait revolusi pertanian yang menggantikan budaya berburu, Toffler membahas gelombang kedua tentang revolusi industri yang bertumpu pada produksi masal, distribusi masal, konsumsi masal, pendidikan masal, rekreasi masal, hiburan masal, dan senjata perusak masal.

Toffler lalu mendiskusikan apa yang ia sebut ‘gelombang ketiga’ yang terkait revolusi berbasis komputer dan informasi. Ia ‘meramalkan’ perkembangan kloning, popularitas dan pengaruh personal computer, penyebaran internet dan email, media interaktif, televisi kabel, maupun telekomuting. Ia juga meramalkan terjadinya ‘information overload’—istilah yang hingga kini masih populer.

“Peradaban baru sedang muncul dalam hidup kita, dan orang-orang buta di mana-mana berusaha menekan kemunculannya. Peradaban baru ini mendatangkan gaya keluarga baru; mengubah cara kerja, cara mencintai, dan cara hidup; ekonomi baru; konflik politik baru; dan lebih dari semuanya ini sekaligus kesadaran yang berubah... Munculnya peradaban baru ini adalah fakta tunggal paling eksplosif dalam masa kehidupan kita,” tulis Toffler dalam The Third Wave.

Di usia hampir 88 tahun, Toffler—lelaki kelahiran New York dari pasangan imigran dari Polandia—berpulang dengan meninggalkan warisan intelektual yang menggelorakan spirit memahami perubahan masyarakat. Kendati pengritiknya berargumen bahwa tidak mungkin meramalkan masa depan, Toffler terbukti telah membubuhkan ketepatan dalam sebagian ‘ramalannya’—setidaknya ia telah memberi gambaran lebih awal tentang sosok masa depan yang bakal dihadapi umat manusia dengan memahami terlebih dulu gejala-gejalanya. (Foto: Alvin Toffler, sumber: thewrap.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler