x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menajamkan Kembali Kepekaan

Hidup yang rumit perlahan-lahan memajalkan ketajaman indera. Apakah shaum berhasil menajamkannya kembali?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ramadhan baru saja berlalu, menyisakan pertanyaan perihal apa yang saya peroleh: sekadar lapar dan dahaga ataukah kepekaan inderawi yang kembali tajam? Tak mudah menjalani puasa lebih dari sekedar ritual wajib. Tak mudah memperoleh puasa yang mencerahkan—yang membikin kita terlahir kembali, seperti yang diwartakan sejak berabad-abad yang silam.

Beragam peristiwa, suka atau tidak suka, diniatkan atau tidak, tertangkap oleh indera fisik (telinga, mata, hidung, lidah, kulit) maupun indera hati, pikiran, dan spiritual. Saban hari, sepanjang tahun, kemarahan, kekesalan, kegalauan, kerisauan, rasa iri, prasangka, dan segala yang buruk menggerus kepekaan inderawi—banyak hal jadi tampak buram di mata, seperti derau yang mengganggu gendang telinga, bau busuk yang menusuk-nusuk hidung, serta tidak mudahnya mencecap rasa manis. Apa lagi? Oh ya, tak peka pada kesusahan sesama—‘akupun tengah dibelit kesulitan hidup, maafkan’.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Puasa, pertama dan terutama, adalah latihan untuk mengenali dan mengelola kesukaran dalam segala bentuknya—‘Jika engkau ingin marah, kendalikanlah’ ‘Jika engkau bernafsu, kendalikanlah’ ‘Jika engkau nyaris putus asa, kendalikanlah’. Dengan keyakinan, penuh kesadaran, puasa menyeru bagi meningkatnya kesadaran-diri—kesadaranlah yang membedakan manusia dan bukan-manusia. Begitulah tausiyah yang saya dengar.

Dengan jeda untuk tidak menyantap makanan dan minuman, berpantang melakukan perbuatan tertentu, puasa adalah ikhtiar mengistirahatkan indera dari segala yang duniawi. Tapi ini bukan perkara lambung semata—mengosongkan lambung adalah sarana untuk membersihkan kembali hati, menjernihkan pikiran, dan memurnikan spirit yang tercemar.

Ketika teknologi mendatangkan informasi ke rumah kita bagaikan air bah yang datang gelombang demi gelombang, semakin sukar bagi indera kita untuk memilah dan memilih oleh karena kepekaannya semakin tergerus dari waktu ke waktu. Mata semakin rabun untuk membedakan yang perlu dilihat dan tidak, telinga semakin pekak untuk mampu memilah nada yang halus dari yang kasar, lidah semakin kesat untuk mencecap yang lezat ketimbang yang pahit, mata hati pun terasa kian mahal untuk berempati sekalipun orang-orang di sekitar menjerit ketakutan dan kelaparan.

Mampukah shaum menajamkan kembali kepekaaan segala indera yang diberikan bahkan sejak sebelum lahir? Mengasahnya kembali hingga tajam seperti semula? Shaum seharusnya mampu memandu kita menemukan kembali diri kita yang sejati, mengantarkan kita mudik kepada fitrah. Seharusnya memang bisa, namun shaum dalam praktik seringkali berbeda.

Jikalaupun saya sanggup menahan amarah, saya masih menyembunyikan rasa kesal. Jikalaupun saya berusaha ikhlas, tetap saja ada keengganan yang menyelinap ke sudut hati--saya tak ingin orang lain tahu, tapi Tuhan tak bisa ditipu. Jikalaupun saya percaya, mengapa masih ada keraguan—yang kupunya tinggal sedikit, mestikah kuberikan kepada orang lain? Masih saja ada yang mengganjal, seperti kerikil di telapak kaki.

Lebih dari sekedar urusan menahan lapar dan dahaga, puasa terkait pikiran dan hati—apa yang saya pikirkan, apa yang saya rasakan, apa yang saya inginkan. Shaum adalah jalan terang untuk membersihkan bukan saja lambung dan segala peranti pencernaan, melainkan juga membersihkan hati dan pikiran dari segala hal yang mengeruhkan diri. Shaum adalah ikhtiar untuk mengasah dan menajamkan kembali indera-indera yang tergerus kecemerlangannya oleh prasangka, hasrat, dengki, rasa kesal, keluh-kesah. Semestinya demikian, namun shaum dalam praktik alangkah sukarnya—banyak hal mengalihkan fokus, banyak hal menggoda konsentrasi.

Mengasah apapun membutuhkan fokus, konsentrasi, dan kontinyuitas—menciptakan keris yang hebat tak bisa secara instan, terlebih lagi menajamkan kembali segenap indera, hati, dan pikiran yang sudah tercemar oleh beragam polusi. Shaum adalah ikhtiar yang tak putus-putus untuk membersihkan diri dari debu, daki, jelaga, hingga karat yang perlahan-lahan dan tanpa rasa letih berusaha terus melapukkan hati, pikiran, dan spirit.

Saya tak tahu apakah shaum saya kali ini telah lebih dari sekedar memperoleh rasa lapar dan dahaga semata. Saya hanya bisa berharap. (foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB