x

Umar Kayam. TEMPO/Rully Kesuma

Iklan

Naufil Istikhari Kr

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mudik Sebagai Karnaval Keugaharian

Mudik sesungguhnya adalah kata lain dari “karnaval keugarian”.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mudik sesungguhnya adalah kata lain dari “karnaval keugarian”. Sebagai “karnaval”, mudik melumerkan sekat identitas. Semuanya cair dan tunduk pada hukum kesetaraan. “Karnaval” merupakan teori Mikhail Bakhtin (1968) untuk menjelaskan ketiadaan oposisi biner, sehingga yang tersisa adalah kesejajaran.

Mudik sangat cocok ditilik dari kacamata Bakhtinian. Sebab ia menyodorkan eksemplar kekembalian dan kesamarataan tanpa menghitung-hitung pangkat dan keududukan. Dalam Lebaran di Karet, di Karet (2002), misalnya, Umar Kayam telah menandaskan berkali-kali bahwa mudik adalah kekembalian paling dramatis ke kampung halaman yang paling dirindukan.

Di sana ada kegetiran, kegundahan atau kemusykilan-kemusykilan yang tak pernah tertuntaskan. Kalau kita simak baik-baik cerpen berjudul “Ke Solo, Ke Njati”, kita akan segera mengerti betapa mahal harga kebebasan ketika yang terpampang di hadapan tak lebih dari ketakberdayaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagaimana tidak, tokoh janda beranak dua dalam cerpen tersebut, tidak bisa pulang gara-gara bus terakhir jurusan Wonogiri yang akan ditumpanginya penuh-sesak. Ia tak mungkin berebut masuk dengan kondisi membawa dua anak yang sama-sama masih kecil. Dengan penuh penyesalan, ia harus bertahan diamuk-amuk kerinduan akan kampung halaman.

Persis di titimangsa inilah, Umar Kayam hendak mewedarkan perkara penting betapa mudik dapat melunturkan seluruh kesumpekan dan kepengapan yang berasal dari kebisingan ibu kota. Ketika ibu kota sering enggan berbagi keramahan bagi setiap orang, apalagi cuma pendatang, maka mudik menjadi istirah paling agung bagi mereka yang (masih) terpinggirkan.

Keseriusan Umar Kayam dalam melihat, merenung dan memaknai peristiwa mudik, dapat kita saksikan pada ketelitiannya melacak genealogi tradisi mudik itu sendiri. Menurutnya, mudik merupakan ritus primordial masyarakat petani Jawa sejak sebelum Majapahit yang biasanya diisi dengan kegiatan bersih-bersih kuburan dan diringi  doa-doa kepada arwah leluhur.

Sisa-sisa genealogis seperti yang digambarkan Umar Kayam masih bisa disaksikan hingga kini—meski tidak terbatas pada petani. Di pagi buta hari Lebaran, banyak sekali orang yang menziarahi kuburan, ada yang membersihkan, ada pula yang hanya sekadar yasinan atau tahlilan. Ini biasa dilakukan oleh masyarakat yang menetap di desa-desa, juga oleh mereka yang tengah mudik ke kampung halamannya.

Hal-hal demikian terangkum baik di dalam buku Kembali ke Jati Diri: Ramadhan dan Tradisi Pulang Kampung dalam Masyarakat Muslim Urban (2013). Buku kompilasi pengalaman tokoh-tokoh besar dalam menjalani puasa, mudik dan lebaran itu menghadirkan warna-warni kesaksian dan pemaknaan yang sungguh mengharukan.

Jamal D. Rahman, misalnya, dalam buku itu menulis, “Mudik adalah ritus budaya dalam siklus tahunan yang hampir semua aspeknya tak tergantikan dengan apa pun, dalam cara apa pun. Dalam mudik, orang menemukan makna pulang dalam keutuhan arti esensial dan simboliknya yang paling dalam.”

Tak jauh berbeda dari Umar Kayam, Jamal D. Rahman juga memiliki pandangan romantik terhadap mudik. Walaupun harus ditambahkan, ada momen keutuhan esensial yang hendak dicari di sana. Saya kemudian sadar, jauh di atas semuanya, peristiwa mudik merupakan pergolakan psikologis yang tidak cukup sekadar diniatkan bolak-balik dari urban ke udik.

Menurut Erich Fromm (1900-1980), ada keinginan diam-diam yang pasti dialami oleh hampir setiap manusia di dunia. Kebutuhan itu berbeda dengan kebutuhan psikologis lainnya yang bersifat gamblang. Kebutuhan jenis ini tidak terang benderang, namun sesekali menyeruak. Fromm menyebutnya: keberakaran (rootedness).

Keberakaran sejatinya adalah satu dari sekian kebutuhan psikologis manusia yang ditunjukkan psikolog kelahiran Jerman itu. Keberakaran ini bisa berbentuk fisikal semisal kembali ke akar dalam artian kampung halaman atau dapat diartikan secara psikologis dengan maksud kembali ke jati diri.  

Fromm mengajukan konsep keberakaran bertolak dari premis yang ia yakini: manusia selalu berada di dua tebing yang saling berkuasi-negasi terus menerus. Manusia sibuk bolak-balik di antara kesendirian dan kebersamaan; kemandirian dan kekerjasamaan; kehidupan dan kematian; kesempurnaan dan ketidaksempurnaan; kepuasaan dan ketidakpuasan. Dan seterusnya.  

Peristiwa mudik, jika diinsyafi sepenuh hati, dapat mengembalikan individu ke ‘akar’-nya yang hakiki, ke jati dirinya yang sejati. Namun, karnaval mudik yang semakin riuh dan formal, elemen-elemen esensial dalam mudik acapkali terlewatkan. Mudik—sebagaimana puasa yang kebanyakan sekadar menahan haus dan lapar—tak membekaskan apa-apa selain euforia.  

Terlepas dari semua itu, karnaval mudik di Indonesia tetaplah unik. Keunikan inilah yang mendorong Andre Moller menulis disertasi—dan sudah diterbitkan dalam bentuk buku—berjudul Ramadhan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting (2005). Meski fokus kajian buku ini adalah “antropologi puasa” dan bagaimana dinamika umat Islam di Jawa dalam menjalani dan memaknai puasa, Moller tidak melewatkan mudik begitu saja.

Baginya, mudik termasuk bagian terpenting dari apa yang ia sebut “Ramadhanic ritual complex”, yakni serangkaian ritus-ritus kompleks di bulan Ramadan yang dimulai pada bulan Sya’ban dan diakhiri pada bulan Syawal. Ritus-ritus tersebut dapat mengacu pada aspek spiritual sekaligus sosial. Sekalipun dalam peristiwa mudik, lebih dominan yang terakhir.

Mudik adalah kaleidoskop yang siklik. Satu tahun sekali. Di momen ini kita dapat menyusun ulang masa depan atau menyusuri kembali masa lalu. Siklus waktu dalam mudik merupakan penanda, juga pengingat untuk terus memeram tempat asal. Mudik menyimpan pesan: tak perlu kemewahan untuk merayakan kebahagiaan. Ini sekaligus menjadi alarm kritik psikososial kaum urban yang lama suntuk dengan kesumpekan.

Kecuali bagi orang-orang yang sanggup melibas jarak dan waktu ke dalam singgasana ruhani seperti laiknya kaum sufi, maka mudik secara fisik tidak ada artinya lagi. Seperti yang dilukiskan Goethe, “Ich hab mein Haus auf nichts gestelit, deshalbgehoert mir die ganze Welt.” Aku sudah putuskan untuk tidak memiliki rumah, itu sebabnya seluruh dunia adalah milikku…

 

Naufil Istikhari Kr, peneliti Psikologi di Fak. Ilmu Sosial & Humaniora, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Ikuti tulisan menarik Naufil Istikhari Kr lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler