x

Umat Muslim membaca Al Quran saat melakukan Itikaf di Masjid Istiqlal, Jakarta, 2 Juli 2016. Pada 10 hari terakhir bulan Ramadan, warga muslim mendatangi masjid untuk meningkatkan ibadahnya. TEMPO/Fajar Januarta

Iklan

Syafiq Basri Assegaff

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Seandainya Saya Naik ke Langit

Banyak hadis Nabi yang menegaskan bahwa tugas sosial kemasyarakatan (atau muamalah) punya kedudukan yang amat penting.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika melihat banyaknya teror yang terjadi belakangan ini, muncul pikiran mbeling ini. ‘Ketimbang sibuk ngurusin dunia yang banyak disalahpahami orang yang mengaku beragama, tidakkah lebih baik seorang hamba berusaha beribadah sebaik-baiknya, sehingga bisa ‘naik ke langit’ mencapai derajat amat tinggi agar bisa meniru langkah Nabi SAW untuk mencapai tempat termulia di sisi Tuhan?’

“Wah, seandainya saya bisa begitu, setelah diberi kesempatan naik ke langit, bagaikan sebuah mi’raj, begitu maka saya tidak akan turun ke bumi,” kata kawan saya yang sedang belajar jadi pesuluk ala seorang sufi, ”Karena saya telah mencapai puncak tertinggi yang mungkin hanya bisa dibayangkan seorang hamba Tuhan.”  

Ah, tentu saja kami mimpi. Kami juga keliru. Meski kekeliruan itu tidak separah absurditas (baca: kesalahan fatal) pikiran para teroris (yang mengira dirinya mati syahid lalu ‘naik’ ke surga dan ketemu bidadari), tetapi itu bukan tujuan penghambaan kepada Tuhan. Sesungguhnya Islam justru mengajarkan seorang muslim harus ‘turun’, ia mesti ‘membumi’. Fungsinya sebagai anggota masyarakat adalah hal yang sangat penting, karena Islam tidak datang hanya mengajarkan zikir dan doa – apalagi kalau sampai tujuan zikir (cara beragama)-nya melenceng dan menyesatkan hingga merugikan orang lain atau membunuh yang tidak berdosa.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ulama mengatakan bahwa Nabi saw diutus untuk menyempurnakan akhlak, yakni mengatur manusia, bukan hanya menjelaskan halal dan haram, menyuruh yang baik, melarang yang buruk (amar ma’ruf nahi munkar), melainkan juga, yang tidak kalah penting, adalah membebaskan manusia dari penderitaan dan belenggu yang memasung kebebasan mereka.

Itulah sebabnya banyak hadis Nabi saw yang menegaskan bahwa tugas sosial kemasyarakatan (atau muamalah) punya kedudukan yang amat penting dibandingkan ibadah mahdhah (ritual) seperti solat, puasa dan haji.

Jalan Lurus

Dengan demikian, barulah seorang Muslim bisa mendapat petunjuk kepada ‘jalan yang lurus’, sebagaimana yang selalu diucapkan melalui bacaan Al-Fatihah dalam solat. Dalam setiap puncak permohonan hamba kepada Tuhan ketika solat itu kita mengatakan, “Tunjukilah kami ke jalan yang lurus. Yakni jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat, bukan (jalannya) mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat (dhalliien).”

Berbeda dengan kata ‘thariq’ atau ‘sabil’ yang keduanya juga berarti ‘jalan’, di dalam surat Al-Fatihah itu sengaja Allah memilihkan kata ‘ash-shiraath’ untuk ditempeli kata ‘mustaqiim’—karena sesungguhnya ada banyak ‘jalan’, tapi hanya ada satu jalan lurus. Bila jalan lain yang tidak lurus merupakan jalan setan – baik itu berupa setan berhala, mau pun setan materi seperti kekuasaan, dan harta yang tidak halal – maka, kata Allah di bagian lain Al-Qur’an, jalan penyembahan kepada Allah sajalah yang merupakan jalan yang lurus.

Barangkali, dalam suasana mudik seperti sekarang kita bisa analogikan bahwa ‘jalan lurus’ itu semacam jalan tol, jalan bebas hambatan – yang mulus, tidak berkelok-kelok, dan anti macet. Jalan yang lurus itu adalah juga jalan yang paling dekat, sebagaimana dibuktikan melalui ilmu ukur  bahwa ‘jarak terpendek dari dua buah titik adalah garis lurus yang menghubungkan keduanya’.  Maka, kalau jaraknya terpendek, berarti garis (atau jalan) yang lurus itu, adalah jarak yang terdekat.

Secara spiritual sejatinya Tuhan telah memberitahukan hal itu, yakni bahwa Dia adalah dekat. Dan jalan terdekat mencapai-Nya adalah lewat jalan lurus. Tuhan menegaskan: … maka sesungguhnya Aku dekat; Aku menjawab doa orang yang berdoa ketika dia menyeru kepada-Ku dan mengimani-Ku, sehingga mereka berjalan di jalan yang benar.  Oleh karena itu, kata-Nya di tempat lain, “Serulah Aku, Aku akan menjawabmu. Sesungguhnya mereka yang arogan terhadap ibadah kepada-Ku, maka akan segera masuk neraka dalam kondisi hina-dina.

Ini sangat berbeda dengan mereka yang tidak beriman kepada-Nya, karena mereka ini ‘akan dipanggil dari tempat yang jauh.., alias ‘jalan yang jauh’.  Pada bagian lain, di Surat Thaha (81) Dia mengatakan, bagi siapa pun yang berada di ‘jalan yang jauh’ itu murka Allah akan turun, dan sesungguhnya dia akan ‘binasa’.

Thabathabai (Tafsir Al-Mizan) mengatakan bahwa kita kemudian bisa memahami bahwa secara harfiah kata ‘binasa’ berarti ‘jatuh’ – yakni situasi yang dialami mereka yang mengambil jalan setan, atau jalan kemusyrikan, karena kata ‘kemusyrikan’ itu sama dengan kata ‘tersesat’.

Memang Al-Quran memandang kemusyrikan (politeisme) sebagai kezaliman, dan menganggap kezaliman sebagai kesesatan. Mereka yang beriman dan’tidak memadukan iman mereka dengan kezaliman’, maka mereka itulah yang akan mendapatkan keselamatan (aman), dan mereka itulah orang-orang yang ‘mendapat petunjuk yang lurus’ atau hidayah (QS.Al-An’am 82).

Berhubung keimanan bisa saja tercampur dengan ‘kotoran kezaliman dan ketidakadilan’, maka bisa saja terjadi munculnya penguasa  (atau secara umum juga teroris seperti ISIS) yang mengaku Muslim tapi berlaku zalim, membunuhi orang yang tidak berdosa, dan memecahbelah umat. Maka tidak heran juga ada orang yang sudah puasa, naik haji, dan sebagainya, tapi masih bertindak sewenang-wenang kepada orang lain, korup, atau memiliki hati yang kotor, kedengkian dan arogansi.

Tidak Arogan

Dari ayat-ayat itu, ulama menyimpulkan bahwa agar bisa berjalan ke ‘puncak-puncak yang tinggi’ seorang hamba tidak boleh arogan (dalam penghambaan diri) kepada-Nya. Inilah jalan orang yang mendapat berkah, petunjuk atau naungan dari Allah. Mereka ini orang-orang yang mendapatkan nikmat Allah – an’amta ‘alaihim. Para ulama menegaskan bahwa ‘nikmat’ yang dimaksud tentulah bukan sekedar ‘kesenangan’ duniawi yang  rendah dan fana seperti harta, tahta dan kekuasaan. Sebab, bila itu yang dimaksud, artinya kita minta dijadikan seperti Firaun, Saddam Husein, atau raja-raja kaya yang tiran. Yang dimaksud mereka ‘yang diberi nikmat’ adalah orang-orang yang dekat dengan Tuhan seperti Nabi saw, dan keluarga (Ahlul Bait)-nya yang suci, sahabat Nabi yang terpilih, dan orang-orang saleh. Dalam pikiran penulis, mereka itulah orang yang imannya tidak berpadu dengan kezaliman, yang dalam impian kawan tadi, mereka yang punya potensi untuk mi’raj ke hadirat Ilahi.

Agar bisa tetap konsisten dalam ‘jalan tol’ itu, setiap Muslim minimal mengulangi permohonannya itu 17 kali sehari semalam. Pengulangan ibadah itu tidak lain demi menunjukkan kerendah-hatian kita, karena manusia selalu bisa terjerumus ke dalam jalan yang tidak lurus atau tersesat. Demikian pula, hal itu sebagai pesan kita kepada Tuhan bahwa kita tak ingin jadi orang yang arogan – agar Allah mau mengijinkan kita memasuki ‘pintu’ petunjuk-Nya. Sebab, ‘…pintu-pintu langit tidak akan dibuka untuk mereka yang tinggi hati (arogan)… dan mustahil mereka masuk surga hingga menerobosnya seekor unta ke dalam lubang jarum (QS. Al-A’raf 40). Sampai di sini kita lalu bertanya, tidakkah para pelaku teror itu tergolong orang yang arogan; dan tidakkah mereka, seandainya mereka melakukan solat, memahami tujuan solat dan makna bacaan di dalamnya?

Walhasil, setiap Muslim biasa ‘naik’ secara spiritual ke ‘tempat-tempat yang tinggi’, tapi juga ‘turun’ secara fisik ke bumi di tengah masyarakat untuk melanjutkan tugas para Nabi. Alih-alih dari mencelakakan orang lain, ia justru memperbaiki masyarakatnya, setelah ia memperbaiki dirinya lebih dulu antara lain lewat latihan rohani seperti solat dan puasa. Ia selalu menjaga diri dan lingkungannya agar tetap berada di ‘jalan tol’ Tuhan, dan tak ingin sesat atau menyesatkan. Mereka tidak arogan, sehingga tidak merasa paling benar sendiri dan mau memaafkan kesalahan orang lain.

Sebagaimana para Nabi – yang rata-rata berasal dari rakyat kecil dan anti penguasa zalim – alih-alih dari merugikan pihak lain, mereka justru membebaskan orang lain dari kesulitan, menegakkan keadilan, anti kezaliman dan korupsi, serta memasukkan rasa bahagia pada orang lain. Artinya mereka menjunjung akhlak, sesuai kata Nabi saw, ”Sesungguhnya aku diutus (ke bumi) demi menyempurnakan akhlak manusia.”

 

Syafiq Basri Assegaff, Pengamat Masalah Sosial Agama, dan Peneliti di Paramadina Public Policy Institute, Jakarta

Ikuti tulisan menarik Syafiq Basri Assegaff lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler