x

Ilustrasi membaca buku. Shutterstock.com

Iklan

Hana Panggabean

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Batu Sandungan Publikasi Ilmiah Akademikus

Jumlah publikasi Indonesia masih jauh di bawah publikasi negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Publish or perish adalah ungkapan yang menunjukkan pentingnya publikasi bagi kalangan akademikus. Publikasi ide atau karya ilmiah akademikus adalah napas kehidupan keilmuan di universitas yang bermuara pada kemajuan masyarakat. Akademikus yang berhenti menulis berarti tamat pula riwayat pengembangan keilmuannya.

Sayangnya, kebiasaan publikasi belum tumbuh subur di perguruan tinggi Indonesia.

Jumlah publikasi Indonesia yang tercatat oleh SCImago Journal and Country Rank, lembaga pemeringkat jurnal internasional, dalam periode 1996–2008 adalah 39.719 buah. Jumlah itu jauh di bawah publikasi negara tetangga, seperti Singapura (215.553), Malaysia (181.251), dan Thailand (123.410).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kondisi ini memprihatinkan karena tingkat publikasi selalu menjadi salah satu ukuran kualitas perguruan tinggi dunia. Sejalan dengan itu, kualitas perguruan tinggi di Indonesia belum mampu menembus peringkat global yang membanggakan. Belum lama ini Times Higher Education, majalah terkemuka Inggris yang rutin menerbitkan peringkat perguruan tinggi dunia, mempublikasi peringkat 200 perguruan tinggi terbaik di Asia. Satusatunya perguruan tinggi Indonesia yang masuk adalah Universitas Indonesia (peringkat ke181–ke190). Posisi itu masih jauh di bawah perguruan tinggi negaranegara jiran, seperti Singapura (peringkat pertama dan kedua) dan Malaysia (peringkat ke70).

Jelaslah, kualitas perguruan tinggi kita perlu mendapat perhatian. Salah satunya dengan meningkatkan jumlah dan kualitas publikasi dosen.

Minimnya jumlah publikasi Indonesia bukannya tidak disadari oleh para pengambil kebijakan. Dalam perhitungan angka kredit untuk kenaikan jenjang karier dosen yang dikeluarkan pada Oktober 2014, publikasi menjadi komponen terpenting. Sistem jenjang karier dosen di Indonesia bersifat terpusat dan dihitung berdasarkan sistem kredit (kum). Semakin tinggi jenjang karier yang akan dicapai, semakin besar pula bobot kum publikasi. Tidak tanggungtanggung, komponen publikasi menjadi komponen yang dominan (minimal 45 persen) jika ingin meraih gelar guru besar. Untuk itu, pemerintah dan sejumlah universitas besar memberikan pendanaan riset dan insentif demi mendorong jumlah dan kualitas publikasi nasional.

Tapi, dorongan peraturan dan kebijakan pendanaan itu tidak sertamerta mendorong gairah publikasi. Sebuah survei dilakukan tim riset penulis pada akhir 2015 terhadap 120 dosen yang mewakili seluruh fakultas di sebuah perguruan tinggi swasta papan atas untuk mengetahui jumlah publikasi dalam tiga tahun terakhir. Mereka berusaha mengungkap masalahnya. Ternyata hampir separuh dosen hanya menghasilkan 1–2 publikasi.

Apakah wajar jika seorang dosen diharapkan menghasilkan setidaknya satu publikasi ilmiah dalam setahun? Apa yang menjadi pokok masalahnya? Untuk itu, Knowledge Sector Indonesia (KSI) dan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (UAJ) mengkaji hambatan publikasi di perguruan tinggi. Studi dilakukan selama Agustus 2015 hingga Maret 2016 dan melibatkan 169 partisipan, dari staf hingga pimpinan universitas. Studi ini menemukan setidaknya tiga persoalan.

Pertama, tuntutan untuk meningkatkan publikasi tidak diikuti dengan kebijakan pengurangan beban mengajar. Kewajiban publikasi ditambahkan di atas kewajiban mengajar. Bagi sejumlah dosen yang sudah terampil meneliti dan menulis, hal ini tidak menjadi masalah. Tapi, tidak demikian bagi dosen yang belum terbiasa, apalagi dosen pemula. Mayoritas dosen juga mengakui lebih mudah mengajar daripada meneliti, apalagi menulis untuk publikasi.

Kedua, sejalan dengan masih kuatnya tuntutan pengajaran, perguruan tinggi juga mengalokasikan dukungan administrasi dan teknologi, terutama untuk proses pengajaran. Dukungan yang sama kuatnya untuk kegiatan penelitian dan publikasi masih belum tersedia.

Ketiga, meskipun sejumlah dosen memandang pentingnya komponen publikasi untuk kenaikan karir, pengurusan kelengkapan dokumennya rumit. Penyiapan kelengkapan dokumen itu menuntut ketekunan dan ketelatenan. Hampir separuh dari 100 dosen UAJ menyatakan pengurusan jenjang karier menjadi tidak menarik karena beban administratifnya.

Kesimpulannya, syarat publikasi dalam jenjang karier dosen dan dukungan dana saja belum bisa membangkitkan dosen dari lesu darah publikasi. Upaya ini masih harus didukung dengan komitmen lanjutan, seperti menyiapkan pengaturan yang seimbang antara beban pengajaran dan penelitian atau publikasi, melatih keterampilan mengelola beban kerja pada dosen, serta dukungan administratif dan sistem yang memadai. Hal penting yang tidak boleh terlupakan adalah mengatasi masalah klasik yang mendasar, yaitu senantiasa meningkatkan kapasitas dosen untuk melakukan penelitian dan publikasi berkualitas. Tanpa langkah lanjutan konkret dan mendukung, kebijakan mengaitkan publikasi dan jenjang karier dikhawatirkan justru menjadi kontraproduktif dan malah menghambat karier dosen.

Hana Panggabean, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Kamis, 14 Juli 2016

Ikuti tulisan menarik Hana Panggabean lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler