x

Iklan

Ahmad Yusdi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

2+2=5, Jokowi-Ahok pun Melesat di 2019

Jika semua orang meyakini sesuatu, apakah sesuatu tersebut lantas menjadi benar?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Adegan dalam Film "Two and Two" - Foto: www.youtube.com

Anda adalah seorang murid SD, ketika guru matematika anda memaksa anda serta murid lainnya untuk menerima sebuah kebenaran konyol bahwa 2+2=5, apa reaksi anda?

Guru anda menggunakan otoritasnya memaksa seluruh murid membenarkan perhitungannya itu. Bahkan disertai ancaman akan membunuh siapa pun yang menolaknya. Anda akan patuh seperti murid-murid lain menerima doktrin yang anda yakini salah itu? Atau menolak, karena anda yakin 2+2=4?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kisah ironis di atas saya ambil dari sebuah film pendek “Two and Two” besutan Babak Anvari, sineas Iran yang tinggal di Inggris. Film yang terinspirasi dari slogan “dua tambah dua sama dengan lima” dalam novel “Nineteen Eighty-Four” karya George Orwell itu, menceritakan tentang anak-anak sekolah yang dipaksa untuk menelan suatu fakta yang tidak dianggap benar oleh otoritas yang berkuasa.

Dogma yang jelas-jelas salah namun dipaksakan untuk dipercayai, sama seperti slogan-slogan palsu lain yang dicanangkan dalam ‘kebenaran kolektif’ pada kehidupan kita sehari-hari. Kalimat-kalimat menjijikan yang terlanjur melekat seperti “uang adalah segalanya” atau “korupsi bukan kejahatan memalukan,” kalimat ini bertentangan dengan "dua tambah dua sama dengan empat". Kebenaran yang jelas namun sudah tidak cocok lagi dalam budaya kita kini yang pragmatis.

Kisah teladan Bung Hatta yang tidak menggunakan kekuasaanya untuk keuntungan pribadi menjadi cerita aneh dan menggelikan di masa kini. (Baca: http://indonesiana.tempo.co/read/80641/2016/07/07/ahmad.yusdi28/seharusnya-bung-hatta-dan-keluarganya-kaya-raya). Hatta menjadi sosok asing dan “dua tambah dua sama dengan empat” tidak masuk dalam logika pemikiran elite bangsa ini sekarang. Bukan perkara memalukan apabila seorang pejabat negara, apalagi seorang wapres, menggunakan jabatannya demi keuntungan pribadinya. Padahal, yang namanya korupsi, ya, tetap korupsi. Meskipun sistem dibuat melindunginya.

Masih jelas dalam ingatan kita peristiwa Munaslub Golkar yang berlangsung beberapa bulan lalu. Dan, sudah menjadi rahasia umum bahwa pemilihan ketua Golkar tak pernah sepi dari suap atau politik uang. Jumlahnya bisa mencapai ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah.  

Akan tetapi, munaslub menentukan keberlangsungan rezim yang berkuasa sekarang. Keberhasilan Setya Novanto merebut kursi Ketum Golkar adalah masa depan politik Jokowi. Selain politik uang 'bicara', semuanya tak lepas hasil kerja keras Menkopolhukam Luhut Panjaitan.

Tak bisa dipungkiri Novanto berhutang budi kepada Luhut yang sukses melobi para elite Golkar agar tak memilih Ade Komarudin sebagai Ketum. Padahal Akom didukung Wapres Jusuf Kalla, yang memiliki sumber dana sangat besar mengingat di belakangnya ada jaringan bisnis Kalla Group dan Bosowa Group.

Novanto sendiri jelas memiliki banyak uang karena dia adalah pengusaha besar dan sudah lama menjadi rekan bisnis bos Mulia Group Djoko S Tjandra, buron terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali yang kabur ke luar negeri sejak 2009 lalu. Novanto butuh Golkar untuk menjadi beking politik bisnisnya.

Popularitas Novanto sendiri sangat rendah akibat kasus ‘papa minta saham’ sehingga tak mungkin menjadi capres. Banyak pengamat meprediksi skenario Luhut dalam Pilpres mendatang, karena tak ada tokoh andalan, akhirnya Golkar melamar Jokowi agar menjadi kadernya sebelum dimajukan sebagai capres.

Strategi ini tak lepas dari kenyataan bahwa hubungan antara Luhut dan Jokowi di satu pihak dengan Megawati sangat buruk. Komunikasi mereka dengan Ketum PDIP tersebut sangat minim. Para pendukung Megawati bahkan tak segan menyebut Luhut sebagai penumpang gelap. Maka tak aneh bila nanti PDIP menolak untuk mencalonkan Jokowi dalam Pilpres 2019.

Bagi Luhut, Jokowi adalah orang paling tepat untuk menjadi presiden RI. Maklum, keduanya sudah lama menjadi rekan bisnis. Luhut adalah bos Toba Sejahtera Group. Putra Sulung Jokowi, Gibran Rakabuming, adalah adalah presiden direktur PT Rakabu Sejahtera, salah satu wood based industry yang berorientasi ekspor dengan pasar utama Amerika Serikat. Toba Sejahtera kini memiliki sekitar 51% saham Rakabu sehingga memasukkannya sebagai bagian dari Toba Sejahtera Group.

Berlatar belakang bisnis semacam itu, tak ada yang aneh bila nanti Luhut dan Novanto berduet untuk menggolkan Jokowi menjadi Capres 2019. Dengan Ahok sebagai Cawapresnya. Apabila popularitas keduanya tetap tinggi seperti sekarang ini, pasangan Jokowi-Ahok bakal terlalu sulit untuk dikalahkan. 

Luhut dan Novanto adalah realitas politik bangsa ini, dimana kekuatan uang adalah segalanya. Dan frase “dua tambah dua sama dengan lima” dianggap sebagai sebuah kelumrahan dalam dinamika perpolitikan kita. Tokoh protagonis dalam novel Orwell, Winston Smith, menggunakan frase "dua tambah dua sama dengan lima" untuk menggunakan pikiran sebagai fakta. Smith mempertanyakan, jika semua orang meyakini sesuatu, apakah sesuatu tersebut lantas menjadi benar?

Sebuah pertanyaan yang nantinya juga akan timbul di benak rakyat Indonesia, jika pasangan capres 2019 Jokowi-Ahok yang awalnya dilahirkan dari sebuah sistem politik uang dan korupsi, apakah lantas keduanya dapat dikatakan bersih dari praktik korupsi?

Dalam hal ini, Ivan Turgenev menulis dalam salah satu puisinya di Poems in Prose: "Apapun yang diminta seorang manusia, ia pastinya meminta keajaiban. Setiap doa bisa diartikan seperti ini: Tuhan yang Maha Agung, kabulkanlah dua tambah dua tidak sama dengan empat."

Sindiran serupa juga muncul di kata-kata terakhir Leo Tolstoy saat dipaksa kembali menganut aliran Gereja Ortodoks Rusia: "Bahkan di lembah bayang-bayang kematian, dua tambah dua tidak sama dengan enam."

Ikuti tulisan menarik Ahmad Yusdi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler