x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Angsa Hitam Muncul di Nice?

Mengapa ada yang berpikir untuk menghantamkan truk ke kerumunan orang?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Aksi teror yang tak kalah mengerikan kembali mengejutkan, hanya beberapa bulan sejak serangan ke Gedung Bataclan, Paris, November 2015. Bukan peledakan bom bunuh diri maupun serangan bersenjata, melainkan srudukan truk besar ke kerumunan orang. Sejauh ini, lebih dari 80 orang meninggal. Angsa hitam sepertinya kembali muncul, kali ini di Nice, Prancis, 14 Juli 2016.

Cara berpikir seperti apa yang membuahkan ide untuk mengekspresikan teror seperti itu: menghantamkan truk besar ke kerumunan orang. Tanpa belas kasihan. Pelaku tidak melakukan aksi teror yang lazim. Pelaku memilih cara yang tidak terduga dengan dampak yang ekstrem, seperti halnya pelaku yang menabrakkan pesawat ke gedung kembar pencakar langit, WTC, di New York, 11 September 2001. Siapakah yang berpikir untuk melakukan aksi sekeji itu—sekalipun itu teror?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Peristiwa angsa hitam terjadi di luar ekspektasi reguler kita, sebab tidak ada peristiwa di masa lampau yang dapat memperingatkan kita tentang kemungkinan terjadinya peristiwa seperti itu. Angsa hitam dicirikan oleh ketidakpastian, setidaknya orang belum pernah memikirkannya hingga hal itu terjadi.

Dunia pernah dikejutan oleh serangan gas sarin di kereta bawah tanah Tokyo pada 20 Maret 1995. Duabelas orang tewas, 54 orang sakit parah, dan lebih dari 980 orang terdampak--jumlahnya mungkin lebih banyak dari yang tercatat. Kelompok Aum Shinrikyo, yang didirikan oleh Shoko Asahara, melakukan aksi yang belum pernah dilakukan kelompok teroris lain. Dunia kian terkejut ketika polisi menemukan kultur Anthrax dan Ebola di markas Aum Shinrikyo.

Teror, sebaga angsa hitam atau bukan, selalu absurd dan melawan rasionalitas dalam menyelesaikan persoalan. Tapi para pelaku teror barangkali memang setuju dengan kata-kata “Saya percaya pada teror karena teror itu absurd”. Sejak dalam pikiran, teror dengan tujuan-tujuan apapun sungguh absurd—melakukan perlawanan terhadap kekuasaan dengan menjadikan publik sebagai sasaran. Bagi mereka, inilah cara yang paling mudah untuk menarik perhatian.

Publik adalah warga yang tidak bersenjata, tidak terlatih, dan tidak siaga. Pelaku teror tak peduli semua itu, dan sesungguhnyalah mereka memang tidak menghendaki perlawanan dari target. Teror tak memilih sasaran yang sepadan—apalagi lebih kuat, melainkan target yang tak siap, tak waspada, tak mampu bereaksi cepat. Layakkah ini disebut keberanian?

Aksi teror menjadi absurd karena bertentangan dengan ide-ide yang diklaim tengah diperjuangkan oleh pelakunya. Dalam banyak aksi teror, para korban adalah medium untuk menyampaikan pesan kepada otoritas. Dengan menjadikan warga masyarakat sasaran utama serangan teror, para pelaku ingin menyebarkan kengerian, kecemasan, ketakutan, dan kegelisahan—dan mereka berpikir, aksi ini akan memancing respon yang mereka inginkan dari otoritas. Nyatanya, tak selalu berhasil.

Para pelaku teror barangkali mengklaim menuntut keadilan, melakukan pembalasan atas apa yang mereka sebut penindasan, namun menjadikan warga masyarakat sebagai sasaran aksi teror adalah absurditas yang nyata. Warga bukanlah representasi pemerintah dan pemerintah tak selalu mewakili kepentingan warga. Di banyak negara, pemerintah mungkin lebih mewakili kepentingan para elite politik dan elite bisnis.

Aksi-aksi ini absurd karena menghindari simbol-simbol otoritas sebagai sasaran langsung. Boleh jadi, hanya sedikit aksi teror yang menjadikan simbol otoritas dan kekuasaan sebagai target. Salah satunya yang terkenal ialah aksi kelompok Brigate Rosse (Brigade Merah) yang menculik dan menyandera Aldo Moro sejak 16 Maret 1978 dan akhirnya membunuh Perdana Menteri Italia itu pada 9 Mei 1978.

Pada masanya, peculikan Aldo Moro adalah peristiwa angsa hitam. Namun, Brigade Merah mungkin tak menyangka aksi penculikan ini membangkitkan soliditas bangsa Italia. Pamor Brigade Merah meredup, kehilangan orientasi, dan akhirnya menjadi sejarah. Entah karena sejarah ini, pelaku teror menghindari kontak langsung dengan simbol-simbol otoritas dan menjadikan publik medium yang mudah dipermainkan. Dan, mungkin saja, mereka memikirkan angsa hitam baru. (sumber foto: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler