x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Erdogan, Bung Karno, dan Mitologi Naga Dunia Tengah

Kudeta militer gagal mendongkel Erdogan, mirip Bung Karno . Dunia Tengah J.R.R. Tolkien bisa jadi refleksi. Tentang Hobbit melawan Naga.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lihatlah Erdogan. Namanya saja sudah bikin bergidik. Meminjam ilmu utak-atik aksara-nya (kriptografi) Dan Brown dalam Da Vinci Code, nama itu bisa diubah menjadi: E-Dragon.  Ya, Naga! Makhluk imajiner yang konon mirip ular raksasa, memiliki sayap yang bisa membelah langit, dan mengeluarkan api dari moncong mulutnya. Naga adalah simbol kekuatan dan kegarangan. 

Naga memiliki bentuknya sendiri-sendiri, tergantung mitologi mana yang ingin kita bayangkan, China atau Eropa Daratan? Menarik untuk mengulas sosok ‘Naga’ dari versi Dunia Tengahnya J.R.R. Tolkien dalam novelnya yang kemudian difilmkan oleh Peter Jackson dengan judul yang sama The Hobbit.

Seperti sebagian besar kita tahu, alksiah, sebuah kerajaan kurcaci tambang (dwarf) di Erebor yang mengandung emas, permata, hingga batu arken. Kegemilangan hidup kaum dwarf yang dipimpin oleh Raja Thror harus binasa dengan kedatangan seekor naga besar yang memporak-perandakan kerajaan yang berada di kaki Lonely Mountain. Para dwarf pun terdiaspora dan hidup nestapa. Naga besar itu pun mengambil alih Erebor dan tidur di dalam perut gunung itu. Tak ada yang berani mengusik makhluk itu dalam tidurnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka kocar-kacir diterjang cakar dan semburan api sang naga. Aliansi kaum peri pun memilih balik badan dari Erebor daripada mati konyol. Selain itu, kaum peri pimpinan Raja Thranduil sudah muak dengan ketamakan kurcaci tambang. Menggulingkan Sang Naga tidak mudah. Barisan tentara berperisasi dan berzirah yang berhadapan langsung akan dengan mudah dilibasnya. Itulah mengapa, selama bertahun-tahun, tak ada pasukan dwarf dari belahan lain, seperti Iron Hill, yang berani mendekati Erebor.

Hingga suatu kali, tanah yang dijanjikan itu pun memanggil kembali kaumnya. Thorin, putra mahkota Erebor, bersama dengan dua belas kaumnya ingin merebut kembali kegemilangan kerajaan itu dari Sang Naga. Mereka dibantu penyihir abu-abu, Gandalf, dan seorang hobbit dari Shire bernama Bilbo Baggins. Awalnya, Bilbo dianggap remeh oleh sebagian besar anggota rombongan Thorin. Hanya Gandalf yang menaruh kepercayaan besar bahwa Bilbo adalah kunci merebut Erebor.

Itulah mengapa, Thorin dan Gandalf menyusun strategi “main belakang”. Mereka membawa Bilbo si Hobbit untuk mengendap ke Erebor. Ada jalan lain di sisi gunung. Sebuah akses rahasia yang bisa ditembus. Alhasil, “menyusup” dan “menikam dari belakang” adalah cara untuk menumbangkan Sang Naga.

Dalam The Hobbit, Naga adalah manifestasi otoritarianisme. Ia membungkam kehidupan bahagia kaum kurcaci tambang. Melawan otoritarianisme, tak bisa sembarang gebuk. Apalagi, jika otoritarianisme itu ditopang oleh sebagian besar rakyat. Apalagi, jika demokrasi jua yang memberi akses bagi otoritarianisme itu sendiri.

Setelah November 1923, saat kudeta NAZI gagal, bisa dikatakan Hitler kehilangan posisinya dalam politik praktis Jerman kala itu. Momentum kembalinya Hitler dimulai ketika Jerman dilanda krisis hebat pada 1929. Dimulai dari jatuhnya bursa saham di Amerika Serikat, Jerman pun dihantam badai PHK dan kebangkrutan sejumlah bank.  Hitler pun berjanji untuk memulihkan kondisi ekonomi dan melepaskan diri dari Perjanjian Versailles –yang dianggap merugikan Jerman pascakekalahan Perang Dunia I.

Alhasil, Hitler kembali meraih popularitasnya. Menariknya, ia tetap konsisten untuk meraih kekuasaan melalui jalur demokratis: pemilihan umum. Perolehan suara partai NAZI yang dipimpinnya terus menanjak. NAZI meraih perolehan suara hingga 44 persen pada Maret 1933, setelah perolehan keterpurukan suara partai di angka 3 persen pada Desember 1924. Kuncinya, Hitler sukses meramu dua hal: nasionalisme bangsa Jerman di satu sisi, dan kebencian pada kaum Yahudi di sisi lain. Rakyat Jerman telah memilihnya (secara demokratis) lalu dunia pun terjebak pada konflik bernama Perang Dunia ke-2 yang berakhir dengan kematian  62 juta jiwa.

Semua upaya menjungkal Sang Fuhrer dari dalam berakhir sia-sia. Plot 20 Juli, misalnya. Meski usaha pembunuhan Hitler ini sanggup melukai tangan kanan sang diktator karena ledaan bom, namun ujungnya antiklimaks. Claus von Stauffenberg, Friederich Olbricht, dan Werner von Haeften pun merengang nyawa oleh timah panas. Upaya ini Kalangan militer yang membelot justru berakhir di ujung senapan. Mengapa? Hiter populer.

Kejadian yang sama berulang beberapa hari lalu.  Segelintir tentara yang mencoba meng-kup Perdana Menteri Turki Erdogan justru berakhir dengan kegagalan. Ribuan rakyat turun ke jalan untuk melawan. Tentara yang pro pemerintah dengan mudah memadamkan rencana makar itu. Rakyat bersorai. Erdogan lebih beruntung daripada Mushri dari Mesir.

Tak semudah itu menjungkalkan Erdogan yang populer dan dianggap ikon Islam dunia. Ia memiliki syarat apa pun untuk bertahan. Ia populer dan dicintai rakyatnya. Jalan yang ditempuhnya pun sah: memenangi Pemilihan Umum.

Belajarlah dari Suharto

Menjungkalkan pemimpin yang populer, harus dilakukan dari dalam tubuh kekuasaan itu sendiri. Dalam karyanya Arok-Dedes, Pramoedya Ananta Toer menggambarkan bahwa kudeta yang baik itu adalah kerja senyap, penuh rekayasa, lempar batu sembunyi tangan, lalu yang punya rencana menjadi orang terhormat yang terlihat malah menjadi korban yang ditumpas habis.

Dalam hal ini, pihak yang hendak merencanakan makar jelas harus berhitung benar. Lihatlah Sukarno, ikon yang mirip Erdogan hari ini. Bung Besar adalah ikon dunia ketiga, sekaligus perlawanan terhadap imperalisme. Di dalam negeri, ia adalah founding father. Upaya menjungkalnya banyak yang berakhir dengan kesia-siaan, mulai dari Pemberontakan PKI pada 1948 hingga PRRI Permesta. Pemberontakan terakhir bahkan secara jelas disokong oleh Amerika Serikat.

Upaya mendongkel kekuasaan Sukarno oleh Amerika ini justru menaikkan citra Bung Karno di mata dunia. Di atas mimbar Markas Besar PBB, Bung Karno pidato berapi-api. Ia menyerang Amerika Serikat. Tepuk tangan membahana, sedangkan delegasi Amerika Serikat tampak dongkol mendengar kata-kata Bung Karno.  Bung Karno takkan jatuh hanya karena Granat Cikini (1957), penembakan istana oleh MiG 17 (1960), penembakan Idul Adha, atau granat Makassar (1957). Uniknya, seperti di Turki, pelakunya adalah oknum aparat militer.

Lalu, meledaklah peristiwa Gerakan 30 September. Sukarno berada di posisi sulit karena berusaha mempertahankan PKI yang dianggap sebagai dalang penculikan sejumlah petinggi milter Angkatan Darat. Pada kesempatan ini, muncullah Suharto. Panglima Kostrad ini mengambil alih pucuk pimpinan AD. Sejak hari itu, ia memainkan perannya sebagai “Right Man on the Right Place”. Sebelumnya, Suharto tenggelam dalam kecemerlangan karier petinggi militer lain, seperti Ahmad Yani dan Abdul Haris Nasution.

Suharto tak pernah menyerang secara frontal Bung Karno. Hari itu, Bung Karno memiliki massa loyal meski deretan Brutus siap menikamnya. Suharto “seolah-olah” masih berada di belakang”Penyambung Lidah Rakyat” itu di masa-masa yang sulit sejak peristiwa Gerakan 30 September. Namun, perlahan tapi pasti ia menggebuk PKI dan meninggalkan Bung Karno. Posisinya sebagai Panglima Komando Keamanaan dan Ketertiban, juga berbekal Surat Perintah Sebelas Maret, ibarat “kerja senyap” yang disebut Pram. Bung Karno jatuh melalui Sidang Umum MPRS tahun 1967. Parlemen menolak pidato pertanggungjawabannya. Suharto menggantikannya.

Erdogan tetap populer meski membungkam kebebasan di Turki, seperti membredel media. Ia, seperti Bung Karno, adalah ikon populer sekaligus wajah Turki yang kuat. Serangan militer sporadis seperti hari kemarin, jelas bukan tandingannya. Bayangkan, ia hanya perlu berseru dan rakyat turun ke jalan. 

Kembali ke kisah Bilbo Baggins si Hobbit. Ia sungguh tak diduga menjadi kunci kalahnya Sang Naga. Dalam kisah Dunia Tengah, hobbit adalah figur yang dipinggirkan. Momen yang tepat jua yang menentukan. Siapa bilang ‘Naga’ tak bisa ditaklukkan? Tentu, melalui suksesi kepemimpinan  yang sama seperti halnya ia meraih kekuasaan: jalan demokrasi. 

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB