x

Iklan

Naufil Istikhari Kr

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kerto yang Murung: Menapaki yang Tersisa dari Sultan Agung

Mungkin telah banyak yang lupa, atau bisa jadi tidak tahu, di Dusun Kerto, dahulu kala adalah pusatnya Jawa. Di sini, Sultan Agung pernah bertakhta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mungkin telah banyak yang lupa, atau bisa jadi tidak tahu, di Dusun Kerto, dahulu kala adalah pusatnya Jawa. Itu terjadi pada awal hingga pertengahan abad 17. Sekarang, Dusun Kerto hanyalah dusun kecil yang terpencil, jauh dari kemegahan.

Tapi di Kerto ada situs. Orang-orang menyebutnya Situs Kerto. Di situs itu hanya terdapat dua onggokan batu yang tak terlalu besar, hitam, seperti kubus, yang pinggirnya diukir sederhana dengan ceruk persegi di bagian atasnya. Di bawahnya terhadap susunan ubin atau batubata yang ditata rapi. Batu itu terletak di lokasi yang berdekatan. Selebihnya, tak ada lagi.

Dua bongkah batu itu menjadi saksi. Saksi bisu dari masa silam, yang telah menyerah pada sejarah. Kita nyaris tak akan merasakan apa-apa di sana. Selain mungkin udara sejuk karena dikelilingi rumpun bambu, pohon kelapa, dau daun-daun pisang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi kesejukan itu tak mungkin sempurna. Persis di sisi timur situs, yang sekarang berupa jurang agak dalam, dipenuhi sampah-sampah. Penduduk setempat memanfaatkan jurang itu sebagai lahan pembuangan sampah.

Di Kerto… Sampah dan sejarah berdiam di tempat yang sama. Sejarah di masa silam. Sampah di masa sekarang. Sampah lamat-lamat menggusur ingatan tentang sejarah. Mungkin karena situs bersejarah itu terlalu kecil dan tidak meyakinkan. Orang-orang tak mungkin merawat batu seukuran kardus kecil, sekalipun itu datang dari masa silam.

Ini sebuah anomali, tentu.

Atau jangan-jangan, orang-orang yang berbekal kesadaran sejarah lalu bercapek-ria mengunjungi dua bongkah batu bisu di Kerto itu, juga termasuk bagian dari anomali. Buktinya, ketika saya mendampingi—sekaligus menjadi juru kunci KW karena ditodong oleh inisiator acara: Raden Mas Bigul—teman-teman Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Jogja ke Kerto, setibanya di sana, beberapa di antara mereka bilang: “Di sini kita mau apa?”; “Cuma ini yang mau kita lihat?”; “Di sini ndak menarik untuk foto-foto!”

Maklum, mereka anak-anak baru. Anak-anak yang begitu lahir ke dunia langsung disambut kamera dan euforia. Begitu dewasa, mereka tidak lagi mudah mendapat gizi baik dari tayangan-tayangan televisi.

Saya beruntung masih sempat menikmati tayangan bergizi di masa kecil. Sebuah laga bersambung Misteri Gunung Merapi. Film yang disutradarai L. Sudjio ini lamat-lamat membangunkan imajinasi saya tentang Mataram. Ada banyak tema-lema yang masih lekat dalam memori saya, misalnya, “Mak Lampir”, “Sultan Agung”, “Kompeni”, “Lindu Aji”, “Naga Welang”, “Telik Sandi”, “Kiai Ageng Linggarjati”, “Kiai Jembar Jumantoro” dan seterusnya.

Bagi penikmat berat Misteri Gunung Merapi seperti saya, Situs Kerto ibarat piringan hitam yang datang dari masa silam untuk menayangkan kembali masa-masa kejayaan Mataram. Saya serasa mengalami de javu.

Jujur, berkat Misteri Gunung Merapi-lah akhirnya saya berkenalan dengan karya-karya H.J. de Graaf (bersama Th. Pegeaud), sejarawan kondang dari Belanda yang paling serius meneliti Kerajaan Mataram. Misteri Gunung Merapi telah merangsang gairah membaca saya di bidang sejarah Mataram.

Apa yang digambarkan film itu tidak seratus persen sejarah.Tetapi bagian-bagiannya menurut saya memiliki arti penting yang layak ditonton berulang-ulang. Misteri Gunung Merapi bukan sekadar cerita tentang Mak Lampir. Di situ ada kisah-kisah kebesaran Sultan Agung dari Mataram.

Lalu saya teringat Lindu Aji, sang telik sandi nomor wahid di bumi Mataram, yang ditugaskan Sultan Agung dari Kerto menuju tanah Pasundan. Dengan kode-kode rahasia yang mustahil dipahami orang-orang saat ini, Lindu Aji membawa pesan yang dititahkan Sultan Agung kepada sekutu-sekutu terbaiknya.

Lindu Aji membawa Naga Welang—keris bertuah yang hanya dimiliki oleh orang-orang penting di Kerajaan Mataram. Naga Welang lebih dari sekadar keris. Ia simbol, tanda, artefak sakral yang hendak menegaskan supremasi Mataram di tanah Jawa. Hanya orang-orang kepercayaan Sultan Agung yang mempunyai Naga Welang.

Saya tidak menemukan nama Lindu Aji di buku H.J. de Graaf, yang telah diterjemahkan menjadi Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (1986). Tapi di situ ada nama Tumenggung Alap-Alap, pemimpin pasukan Mataram ketika merebut Lumajang dan beberapa kadipaten lainnya di Jawa Timur.

Saya ingat betul, karena kesaktian dan ketangkasannya, Lindu Aji mendapat julukan di bumi Mataram dengan sebutan “Alap-Alap Laut Kidul”. Sangat mungkin Tumenggung Alap-Alap yang dimaksud H.J. de Graaf adalah Lindu Aji dalam film Misteri Gunung Merapi.

Dengan menempatkan H.J. de Graaf sebagai pemandu utama, mari kita pelan-pelan menyelam ke masa silam.

***

1 Oktober 1613. Raja ketiga Mataram meninggal dunia sewaktu berburu di Krapyak. Gelar anumerta diberikan kepadanya: Panembahan Seda Ing Krapyak—pangeran yang meninggal di lapangan perburuan. Raja yang memiliki nama kecil Raden Mas Jolang itu merupakan putra Panembahan Senapati yang keempat dari istri yang berasal dari Pati. Masa pemerintahannya cukup singkat antara 1601-1613.Dan makamnya terdapat di Kota Gede bersama Ki Ageng Gede Pemanahan dan Panembahan Senapati.

Menjelang wafat, Panembahan Seda Ing Krapyak menunjuk puteranya, Raden Mas Rangsang, sebagai penggantinya. Penunjukan itu agak mengejutkan karena sedari awal Raden Martapuralah yang digadang-gadang menjadi pengganti. Raden Martapura adalah adik kandung Raden Mas Rangsang.

Untuk menghindari kekacauan, Ki Adipati Mandaraka dan Pangeran Purbaya (dua orang penasihat kerajaan) secara formal bersepakat mengangkat Raden Martapura sebagai raja, tetapi kemudian segera dilimpahkan kepada Raden Mas Rangsang. Itu terjadi antara lain karena kala itu usia Raden Martapura baru 8 tahun, sedangkan Raden Mas Rangsang 20 tahun. Siasat pemindahan kekuasaan berlangsung damai dan lancar.

Raja yang juga memiliki nama kecil Raden Mas Jatmiko itu kelak bergelar Senapati Ing Alaga atau Sultan Agung.

Tahun 1613-1622. Di tahun-tahun ini, Sultan Agung memerintahkan pembangungan keraton baru kepada para pekerja dari Pajang. Keraton itu terletak di Dusun Kerto, sekitar 10 kilometer ke arah selatan Kota Gede. Sembari menunggu keraton baru selesai, Sultan Agung sementara waktu menjalankan roda pemerintahannya di Kota Gede. Pembangungan itu terus berlanjut hingga 1622. Di tahun inilah Sultan Agung mulai mendiami istana barunya di Kerto.

Seorang Belanda bernama Jan Vos mengunjungi Mataram. Ia menceritakan dengan detail kedatangannya di keraton. Pertama ia harus melewati alun-alun yang sangat luas dan dipagari kayu-kayu bermodel wajik. Di kanan kiri alun-alun terdapat bangsal yang dipayungi pohon-pohon beringin besar. Bangsal paling besar terdapat di sisi barat, tempat parkir kuda-kuda miliki pembesar kerajaan.

Untuk sampai ke Bangsal Kencana, tempat Sultang Agung bertakhta, Jan Vos harus melewati berlapis-lapis pintu yang dijaga abdi dalem. Di antara pintu-pintu itu masih terdapat ruangan lapang yang biasa ditempati abdi dalem dalam keadaan duduk melingkar di tanah tanpa alas. Pintu masuk ke Bangsal Kencana terbuat dari kayu besar yang dipenuhi ukiran. Dinding persegi yang tersambung ke pintu juga terbuat dari kayu balok tebal-tebal. Singgasana Sultan Agung juga terbuat dari kayu-kayu tebal yang dipenuhi ukiran-ukiran berseni tinggi.

Keraton harus memiliki kolam pemandian. Tak terkecuali di Kerto. Kolam dibangun di sisi timur dengan panjang sejauh ‘satu tembakan’ dan memiliki kedalaman 1,8 meter. Di tengah-tengah kolam terhadap pulau kecil, tempat Sultan Agung memandangi istri-selirnya bermandi-ria.

Di masa-masa itu pula, pada 1620, Sultan Agung melakukan ekspansi pertamanya ke luar, yaitu dengan melakukan percobaan merebut Surabaya. Tapi usahanya memasuki jalan buntu. Percobaan kedua dilakukan pada 1621, tetapi nasibnya sama dengan yang pertama. Baru pada serangan ketiga pada 1622, Surabaya mulai melemah, meski secara definitif tetap belum tertaklukkan. Sebanyak 80.000 prajurit Mataram dilaporkan mengepung Surabaya.

Surabaya begitu kuat karena dibantu oleh Belanda. Di sana sudah banyak berdiri pos-pos penting Belanda. Namun antara 1623-1624, Mataram sudah menduduki Surabaya.

Tahun 1624. Sembari Tumenggung Alap-Alap mengawasi Surabaya, Sultan Agung mengerahkan pasukannya melintasi Selat Madura. Tujuannya adalah menaklukkan Madura. Untuk pertama kalinya, Mataram yang agraris mampu menyeberangi laut. Ini sebuah prestasi, tentu. Tetapi jangan dilupakan bahwa Surabaya telah lemah waktu itu dan angkatan laut Belanda sudah menyerah di Gresik. Jadi masuk akal jikalau Adipati Sujanapura dengan mudah mengomandoi pasukan Mataram ke Madura.

Tapi sesungguhnya tidak mudah. Pendaratan pertama gagal, karena langsung disambut dengan perlawanan oleh pengeran-pangeran di Madura. Pasukan Mataram kembali ke tengah laut untuk menyusun ulang strategi. Lalu pendaratan kedua dilakukan pada saat air pasang di malam hari. Usaha ini berhasil. Keesokan harinya, pasukan Mataram berperang dengan orang-orang Madura sampai 12 jam. Dua kekuatan sama-sama kelelahan. Belum ada yang menang dan kalah.

Pada malam harinya, 400 tentara Madura pilihan mendatangi kemah Adipati Sujanapura. Mereka mengajak adu tanding. Banyak pasukan Mataram yang meninggal. Sementara Adipati Pamekasan menantang Adipati Sujanapura duel hingga dua-duanya tewas. Ini merupakan serpihan sejarah di mana prototipe tentang carok memiliki dasar yang kuat dalam sejarah Madura. Adipati Pamekasan memberi contoh bagaimana carok itu harus dilakukan dengan jantan, dengan duel: satu lawan satu.

Karena kekalahan besar itu, Sultan Agung mengirimkan pasukan tambahan, dengan Tumenggung Wiraguna sebagai panglima. Pada episode inilah, Madura mengalami kekalahan. Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep ditaklukkan. Menurut cerita lisan yang beredar, kemenangan Mataram tak lepas dari bantuan Ki Juru Kiting, seorang pertapa dari Mataram, anak Adipati Mandaraka, yang dengan kesaktiannya mampu melipatgandakan kekuatan pasukan Mataram.

Tetapi perlawanan itu tidak mudah. Sebab pasukan Madura sangat gigih. Sumber-sumber Belanda menyebutkan: perempuan-perempuan Madura ikut berperang melawan Mataram. Beberapa laki-laki yang takut berperang dibunuh oleh perempuan-perempuan perkasa itu. Bahkan barisan istri dari para suami yang tengah berperang tidak rela suaminya pulang sebelum mencapai titik penghabisan. Lebih heroik lagi, istri-istri tersebut akan membunuh suaminya yang memilih menyerah pada Mataram. Tidakkah ini merupakan prototipe klasik emansipasi wanita Madura yang, dua abad berikutnya, disuarakan Kartini jua?

Setelah Madura kalah, pasukan Tumenggung Wiraguna membawa ribuan tawanan ke Mataram. Salah satu di antara tawanan itu adalah Raden Prasena, putra penguasa Madura barat, yang waktu itu masih kecil. Sultan Agung tertarik dan membesarkan Raden Prasena. Ketika dewasa, Sultan Agung menikahkan Raden Prasena dengan putrinya dan diberi gelar Pangeran Cakraningrat I. Kemudian iadiangkat menjadi penguasa Madura.

Tahun 1628-1629. Tahun ini merupakan detik-detik paling melelahkan bagi Sultan Agung. Raja Mataram yang terkenal anti-Belanda ini memulai serangan pertamanya ke Batavia, namun gagal. Usaha kedua dilakukan satu tahun berikutnya, tetapi juga tidak membuahkan hasil. Belanda di Batavia terlalu tangguh untuk pasukan Mataram. Daerah yang paling dekat dengan Batavia dan dikuasai penuh oleh Mataram adalah daerah Matraman sekarang, tak jauh dari Menteng. Dari kata Mataramlah, nama Matraman berasal. Tetapi itu tidak berarti apa-apa karena pusat kekuasaan Belanda adalah Batavia, yang dalam kenyataannya tidak berhasil ditaklukkan oleh prajurit Mataram.

Tahun demi tahun berlanjut. Sultan Agung tidak berhenti melakukan ekspansi. 1635-1636 menaklukkan Padepokan Giri yang kritis terhadap Mataram. 1636-1640 berlanjut ke tenggara untuk menaklukkan Blambangan. Semua itu berhasil dilakukan dengan tanpa memperoleh kesulitan berarti.

1641 adalah titimangsa di mana Sultan Agung sudah letih, uzur dan tak sanggup lagi bertaruh dengan waktu. Itulah saat-saat Sultan Agung memerintahkan patihnya untuk membangun makam buat dirinya di puncak bukit Imogiri. Sultan Agung ingin berbeda dari leluhurnya yang dimakamkan di Kota Gede. Dan ia memang tidak sama. Pencapaian yang didapatkan Sultan Agung jauh melampaui leluhurnya itu. Maka pantas jika akhirnya ia memutuskan agar dirinya dibaringkan di tempat yang tinggi.

Imogiri dipilih tak lain karena Sultan Agung kecewa. Kecewa terhadap rencana pertamanya yang gagal. Awalnya Sultan Agung memilih Girilaya sebagai tempat untuk makamnya. Tetapi Pangeran Blitar, sang arsitek makam, meninggal lebih awal dan terpaksa dimakamkan di Girilaya. Sultan Agung tidak mau dimakamkan di situ. Karena di puncak yang tinggi itu, ia tidak ingin didahului oleh siapa pun. Karena itu, dipilihlah Imogiri sebagai opsi kedua. Dan benar, di Imogiri, ia menjadi raja pertama yang dimakamkan di situ.

Februari 1646. Sultan Agung wafat dengan tenang di istananya di Kerto—setelah, konon, dua tahun sebelumnya diramalkan oleh Nyi Roro Kidul: seorang ratu penguasa alam gaib Laut Selatan yang dipercaya sebagai istri bergilir raja-raja Mataram sejak Panembahan Senapati bercinta tiga hari tiga malam dengannya. Dan konon, Sultan Agung sering mengunjungi istri gaibnya itu di Pantai Selatan.

***

Kini, setelah hampir 400 tahun berlalu, setelah nyaris empat abad Sultan Agung terbaring syahdu, yang tersisa hanyalah duaonggok batu—membisu. Di sekitarnya hanya jurang yang dipenuhi sampah. Mungkin dulu itu kolam pemandian.Tempat di mana Sultan Agung menyaksikan dan merayakan sesuatu yang paling purba dari manusia.

Di Situs Kerto, saya diam. Sejenak. Saya mengajak teman-teman membayangkan dalam imaji mereka bagaimana Raden Prasena dibesarkan; tawanan dari Madura disiksa, dipenjara, dihukum mati; atau bagaimana kemudian rekonsialiasi tercipta antara Mataram dan Madura—barangkali di antara mereka ada yang termasuk leluhur kita.

Selebihnya: hanya nostalgia.

Kita masih bisa merasakan aura kebesaran Sultan Agung di Imogiri. Tapi tidak di Kerto. Kerto adalah tempat yang murung—jauh dari imajinasi besar tentang Sultan Agung. Kita mungkin tidak akan percaya, di sekitar batu hitam itu, kaki Sultan Agung pernah berdiri, menunjuk langit, merajai Jawa, lalu memerintahkan penaklukan-penaklukan… ke Batavia… ke Madura…

Ikuti tulisan menarik Naufil Istikhari Kr lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler