x

Orang tua mengantar anaknya bersekolah di di SD Sabang, Bandung, Jawa Barat, 18 Juli 2016. Hari pertama sekolah, sesuai anjuran Mendibud, para orang tua banyak yang mengantar anaknya sekolah. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

Darmaningtyas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Murid Memenjarakan Guru

Pola pendidikan lama akan menuai reaksi berbeda ketika diterapkan pada "Generasi Digital".

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejumlah guru berseragam Persatuan Guru Republik Indonesia membentangkan spanduk bertulisan "Orang tua yang anaknya tidak mau ditegur guru di sekolah silakan didik sendiri, bikin kelas sendiri, buat rapor dan ijazah sendiri". Spanduk itu dibuat sebagai bentuk solidaritas mereka terhadap para guru yang masuk bui karena diadukan oleh murid atau orang tua murid dengan tuduhan menganiaya, seperti yang dialami Nurmayani, guru biologi SMP Negeri 1 Bantaeng; dan Muhammad Arsal, guru pendidikan agama Islam SMP Negeri 3 Bantaeng, di Sulawesi Selatan. Nurmayani masuk penjara lantaran menghukum muridnya dengan cara mencubit, sementara Muhammad Arsal menghukum dengan memukul. Dua orang tua murid yang dihukum tersebut tidak terima, lalu mengadu ke polisi.

Dukung-mendukung di media sosial pun tidak terelakkan, baik mendukung guru maupun orang tua. Setahun terakhir, reaksi terhadap guru yang memberikan hukuman fisik kepada murid dan berujung laporan ke polisi hingga berakhir di pengadilan cukup banyak. Ini menunjukkan bahwa ada masalah dalam relasi antara murid dan guru di sekolah yang perlu diselesaikan agar tidak berkepanjangan pada masa mendatang.

Apa yang menimpa Nurmayani, Muhammad Arsal, dan lainnya itu bukan sekadar problem pedagogis, melainkan lebih merupakan problem sosiologis. Kaitannya adalah perubahan relasi sosial dalam masyarakat yang tidak lagi menjadikan guru sumber rujukan untuk ilmu pengetahuan, informasi, keteladanan, maupun inspirasi. Guru dianggap sebagai sekadar pekerja dalam suatu industri sekolah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Secara pedagogis, yang dilakukan Nurmayani dan lainnya itu sama dengan guru mereka sewaktu mereka duduk di bangku sekolah lebih dari 20 tahun lalu. Saat mereka sekolah dulu dan mendapatkan hukuman sejenis, reaksi yang muncul adalah sadar bahwa mereka bersalah dan karena itu harus berubah menjadi lebih baik. Komentar Mohammad Mahfud Md., mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, bahwa dulu orang tua berterima kasih kepada guru yang menghukum anaknya, itu benar adanya. Secara sosiologis, guru pada saat itu masih menjadi rujukan tunggal untuk perubahan sosial dan sumber informasi.

Para murid yang patuh kepada guru dapat mencapai keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Mereka inilah yang disebut sebagai "Generasi Kertas Pensil". Generasi ini patuh sekali kepada guru karena guru adalah sumber rujukan tunggal untuk pengembangan ilmu pengetahuan, informasi, keteladanan, dan inspirasi.

Namun, pola pendidikan yang sama akan menuai reaksi berbeda ketika diterapkan pada "Generasi Digital". Generasi ini tidak lagi menjadikan guru sumber rujukan tunggal, tapi sekadar formalisme untuk mendapatkan nilai atau ijazah. Sumber rujukan mereka amat beragam: SMS, WhatsApp, Facebook, Instagram, Google, dan lainnya. Mereka akan lebih mematuhi petunjuk sumber-sumber rujukan baru tersebut daripada guru. Terlebih guru yang tidak melek teknologi.

Murid-murid generasi tersebut berharap guru dapat mengikuti alam pikir dan kehidupan mereka, bukan sebaliknya. Generasi mereka memang berbeda. Alam pikir dan lingkungan sosialnya pun berbeda.

Agar persoalan yang menimpa Nurmayani dan Muhammad Arsal tidak terus terulang, diperlukan perubahan tatanan yang lebih baik, yaitu mampu meminimalkan konflik antara guru dan orang tua murid. Proses pembuatan aturan di sekolah mutlak perlu melibatkan murid dan komite sekolah agar siswa merasa turut memiliki aturan tersebut. Kecenderungan di sekolah-sekolah negeri selama ini adalah aturan itu dibuat secara sepihak oleh sekolah. Murid tinggal melaksanakannya. Aturan yang demikian cenderung menumbuhkan kesadaran semu pada murid.

Berbeda misalnya bila aturan tersebut dibuat bersama-sama dengan semua murid, yang tentu akan menimbulkan rasa kepemilikan yang tinggi untuk mematuhinya. Dalam pembuatan aturan sekolah bersama itu, sudah harus jelas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh guru terhadap murid, begitu pula sebaliknya.

Tatanan lain yang perlu diubah adalah proses pembelajaran. Guru, yang tidak lagi menjadi sumber rujukan tunggal, tidak perlu lagi menjejali murid dengan beragam teori atau rumus-rumus yang harus dihafalkan. Guru cukup menunjukkan peta kehidupan yang akan dijalani murid pada masa mendatang. Murid dipersilakan memilih jalan sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. Pembelajaran yang instruktif-indoktrinatif tidak relevan lagi diterapkan. Sebaliknya, model pembelajaran yang memberdayakan murid untuk mengembangkan daya kritis, kreativitas, dan inovasi lebih dibutuhkan sehingga tidak perlu lagi ada hukuman. Yang dibutuhkan dari seorang guru adalah kemampuan memotivasi murid tanpa murid merasa dipaksa. Orang tua juga harus bijaksana, tidak boleh lebay dalam menyikapi laporan anak atas perlakuan guru kepada mereka.

Darmaningtyas, Penulis Buku Pendidikan yang Memiskinkan

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 19 Juli 2016

Ikuti tulisan menarik Darmaningtyas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB