x

Calon Presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump. REUTERS

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kian Lunturnya Soft-Power Amerika

Bila Donald Trump terpilih jadi presiden AS, Amerika semakin kehilangan “soft-power” dan tidak memperoleh legitimasi untuk memimpin dunia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di akhir masa jabatannya, Presiden Bill Clinton menyetujui Protokol Kyoto kendati mendapat tentangan kuat dari Senat Amerika Serikat. Namun, persetujuan pemerintahan Clinton itu bak pepesan kosong yang disodorkan kepada masyarakat dunia. Hanya dua bulan setelah memegang tampuk kekuasaan, pada 13 Maret 2001, Presiden George Walker Bush mengirim surat kepada empat senator Partai Republik, dan meyakinkan mereka tentang sikap oposisinya terhadap kesepakatan Kyoto. Dengan penolakannya itu Bush mengingkari janji kampanyenya untuk mengatur emisi karbon dioksida. Suara rezim baru inilah yang kemudian secara resmi mewakili sikap terakhir AS dalam isu pemanasan global.

Dengan keluarnya AS dari kesepakatan ini, kemajuan dalam mengurangi gas-gas rumah kaca menjadi sangat terbatas. Sebagian alasan penolakan AS untuk menandatangani Protokol Kyoto itu jelas: tindakan pengurangan pemanasan global akan berdampak pada biaya yang harus dikeluarkan beberapa industri penting AS, yakni mobil, minyak, dan batu bara. AS juga hanya menanggung sedikit kerugian dari pemanasan global: beberapa ahli ekonomi dan pelaku bisnis telah memperhatikan bahwa sebagian wilayah AS akan menjadi lebih baik, dengan musim semi yang lebih panjang di negara bagian yang terletak di wilayah utara. Beberapa orang dari industri minyak bahkan sudah membicarakan peluang-peluang baru yang diberikan oleh pemanasan global, yakni mencairnya Kutub Utara akan membuat minyak di bawah Laut Arktik lebih mudah dieksplorasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada akhirnya terlihat bahwa, sekali lagi, pemerintah AS lebih mengutamakan kepentingan domestiknya ketimbang kepentingan masyarakat dunia (Dan kini, dalam berbagai kampanye kepresidenannya, Donald Trump mengumandangkan slogan: America First!). Ketika seluruh dunia tetap maju dengan Protokol Kyoto, termasuk Rusia yang meratifikasi kesepakatan ini pada 22 Oktober 2004, AS justru bersikukuh menolaknya. Kesukaan AS untuk “jalan sendiri” ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, sekadar contoh, pada Desember 1977 AS menolak perjanjian Ottawa tentang larangan ranjau darat dan pada Juli 1998 negara ini menolak persetujuan pendirian pengadilan hukum internasional. Dengan penolakannya itu, AS sesungguhnya secara bertahap tengah mengikis legitimasinya sendiri sebagai negara adi daya yang memimpin dunia. AS tengah menggerogoti sendiri apa yang oleh Joseph Nye disebut sebagai “soft power” yang dimiliki negara tersebut (Lihat Soft Power: The Means to Success in World Politics).

Dalam artikel yang dimuat di jurnal Foreign Affairs edisi Mei/Juni 2004, Joseph Nye menulis tentang merosotnya soft power Amerika Serikat. Mantan asisten Menteri Pertahanan dan dekan di Harvard University’s John F. Kennedy School of Government ini memaknai istilah soft power sebagai kemampuan suatu negara untuk menarik negara lain (agar mengikutinya) melalui legitimasi kebijakan yang dibuatnya dan nilai-nilai yang mendasari kebijakan itu.

Sikap anti-Amerikanisme yang meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini, menurut Nye ketika itu (saat itu George W. Bush yang menjabat Presiden AS), merupakan bukti merosotnya soft power AS. Dalam artikel tersebut, Nye mengutip hasil jajak pendapat di 29 negara yang dilakukan oleh Gallup International bahwa kebijakan Washington menimbulkan efek negatif terhadap pandangan mereka mengenai AS. Jajak pendapat Eurobarometer menemukan mayoritas orang Eropa meyakini bahwa Washington telah merintangai upaya-upaya untuk memerangi kemiskinan global, melindungi lingkungan, dan memelihara perdamaian.

Dalam penilaian mereka yang skeptis terhadap ide soft power—termasuk waktu itu Menhan Donald Rumsfeld, AS cukup kuat untuk melakukan apa yang diinginkan dengan atau tanpa persetujuan dunia. Di mata Rumsfeld, AS sebagai satu-satunya kekuatan adi daya dunia ini tidak membutuhkan sekutu permanen; isulah yang menentukan koalisi, bukan sebaliknya.

Rumsfeld mungkin lupa bahwa apa yang dilakukan Washington setelah Perang Dunia II ialah menggunaan sumber daya soft power-nya untuk menarik negara-negara lain ke dalam sistem aliansi dan institusi yang sanggup bertahan hingga 60 tahun. Perang Dingin, menurut Nye, dimenangi oleh AS dengan strategy of containment  yang memanfaatkan soft power bersama-sama hard power. Benar bahwa AS telah pulih dari akibat kebijakannya yang tidak populer di masa lalu, seperti yang terkait dengan Perang Vietnam, namun itu terjadi pada Perang Dingin tatkala negara-negara lain masih takut kepada Uni Soviet.

AS tidak bisa menghadapi ancaman baru terorisme tanpa bekerjasama dengan negara-negara lain. Keberhasilan kerjasama itu bergantung kepada seberapa menarik tawaran yang diberikan oleh AS. Soft power, dengan demikian, bukan semata persoalan popularitas sesaat, melainkan sarana untuk mencapai hasil yang diinginkan AS. Ketika Washington memangkas sendiri nilai penting daya tariknya di luar negeri, negara ini mesti membayar dengan harga yang tinggi. Ketika AS menjadi sedemikian tidak populer, sehingga menjadi pro-Amerika tak ubahnya mendatangi kematian, para pemimpin politik negara lain enggan membuat konsesi yang menyenangkan dengan negara adi daya itu (contohnya ialah Chile, Mexico, dan Turki pada Maret 2003). Dan ketika AS kehilangan legitimasinya di mata negara lain, ketidakpercayaan pun tumbuh, dan ini mengurangi pengaruhAS dalam urusan internasional.

Sesudah Perang Dingin berakhir, orang-orang Amerika lebih berminat untuk menabung uangnya ketimbang berinvestasi dalam soft power. Antara 1989 dan 1999, anggaran United States Information Agency (USIA) turun sebesar 10 persen; sumber daya untuk misi lembaga ini di Indonesia, bangsa Muslim terbesar di dunia, dipangkas separonya. Pada saat diambil alih oleh Departemen Luar Negeri AS pada akhir dekade ini, USIA hanya memiliki 6.715 pegawai (dibandingkan dengan 12.000 pada puncaknya, pertengahan 1960an).

Selama Perang Dingin, siaran radio yang didanai oleh Washington mencapai separo penduduk Soviet dan 70 hingga 80 persen penduduk Eropa Timur dalam setiap pekan; pada saat terjadi serangan 11 September, hanya dua persen orang Arab yang mendengarkan siaran Voice of America (VOA). Jumlah pertukaran akademis dan kultural tahunan anjlog dari 45 ribu pada 1995 menjadi 29 ribu pada 2001—hanya dalam enam tahun. Soft power telah sedemikian teridentifikasi dengan Perang Dingin, padahal dengan kemajuan revolusi informasi soft power menjadi semakin penting, dan bukan sebaliknya.

Kegagalan AS yang paling menyentak, dalam pandangan Joseph Nye, ialah prioritas yang rendah dan kekurangan sumber daya yang dikerahkan untuk menghasilkan soft power. Biaya gabungan antara program-program diplomasi publik Departemen Luar Negeri dan siaran internasional AS hanya semiliar dolar lebih sedikit, atau sekitar empat persen dari anggaran urusan internasionalnya. Jumlah keseluruhannya hanya sekitar tiga persen dari anggaran militer AS. Jika Washington mengerahkan satu persen saja dari belanja militernya untuk diplomasi publik, ini akan meningkatkan anggaran diplomasi publik dan siaran internasional itu hingga empat kali lipat. Dalam kata-kata Newtonn Minow, mantan kepala Federal Communications Commission, “satu dolar untuk meluncurkan gagasan bagi setiap 100 dolar yang kita investasikan untuk meluncurkan bom.”

Di atas semua itu, menurut Nye, orang Amerika harus lebih menyadari perihal perbedaan-perbedaan budaya; suatu pendekatan yang efektif membutuhkan pandangan yang tidak picik dan kepekaan yang lebih terhadap persepsi orang luar. Langkah pertama, kata Nye, adalah mengubah sikap di dalam negeri. Orang Amerika perlu memahami dengan lebih baik bagaimana kebijakan AS di mata orang lain. Liputan mengenai wilayah dunia lainnya oleh media AS merosot drastis sejak berakhirnya Perang Dingin. Pelatihan dalam bahasa asing tertinggal. Semakin sedikit sarjana yang terlibat dalam Fulbright visiting lectureships. Untuk bisa berkomunikasi secara efektif, orang Amerika pertama-tama harus belajar mendengarkan.

Dalam konteks AS dan kebanyakan orang Amerika, “mendengarkan suara orang luar” barangkali sudah menjadi kemampuan yang sulit dipulihkan. Penyerbuan Irak tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, keterlibatan AS di Afganistan, dukungan membabi buta terhadap Israel yang sudah berlangsung puluhan tahun, dan pengabaian protes dunia terhadap penjara Guantanamo yang tidak manusiawi adalah sebagian kecil contoh yang secara gamblang memperlihatkan bagaimana Amerika menutup telinga seakan tidak mendengar protes dan jeritan penghuni bumi lainnya. Amerika berjalan sendiri sembari menafikan pandangan bangsa lain. (sumber foto ilustrasi: ) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu