x

Sejumlah remaja mengaji Alquran secara bersama-sama saat gelaran Nusantara Mengaji di Masjid Raya, Makassar, 8 Mei 2016. Kegiatan nusantara mengaji yang diikuti sejumlah santri madrasah, pondok pesantren, masjid dan majelis taklim se kota Makassar b

Iklan

ibnu Burdah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pendidikan Karakter Islami

Citra karakter yang dipandang sebaliknya, padahal itu sangat positif dan merupakan kekayaan “batiniah” bangsa, tidak dicantumkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menetapkan 18 nilai yang menjadi pilar pendidikan budaya dan karakter bangsa (Hajriyanto Y. Thohari, 2013). Rumusan itu dibuat sebagai respon terhadap kondisi masyarakat di Indonesia yang dinilai masih jauh dari gambaran hasil pendidikan yang kita inginkan sebagaimana dirumuskan oleh UU Sisdiknas tahun 2003 pasal 3.

Nilai-nilai yang telah dirumuskan itu adalah; relijius, toleran, cinta damai, bersahabat, demokratis, jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, gemar membaca, menghargai prestasi, peduli lingkungan, peduli sosial,  semangat kebangsaan, cinta Tanah Air, dan bertanggung jawab.

Penulis meyakini, 18 nilai itu merupakan pilar-pilar yang dikristalkan dari dasar, falfasah, dan kearifan bangsa Indonesia melalui proses yang sungguh-sungguh dan memadai. Nilai-nilai itu merupakan karakter ideal yang ingin diperjuangkan bangsa Indonesia (baca Kemendikbud) khususnya melalui pendidikan. Apakah ke-18 nilai itu telah mencerminkan “cita-cita karakter” yang diinginkan bangsa Indonesia? Kita memerlukan kajian lebih mendalam untuk membuktikan hal itu.

Penulis berpendapat, citra karakter yang ingin dikembangkan itu seharusnya juga mengadopsi “kekuatan karakter” yang diyakini telah nyata dan manifes dalam sejarah perjuangan dan kehidupan bangsa Indonesia. Inilah catatan penting yang perlu disematkan kepada perumusan 18 nilai atau karakter dari tim Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu. Ke-18 karakter itu memang nampak sebagai hasil dari perasan terhadap dasar, falsafah, dan nilai-nilai bangsa, tetapi ada kesan kuat para perumus hendak membawa cita-cita “karakter” bangsa ini ke arah karakter-karakter yang bertipe maju, progresif, dan aktif. Ciri-ciri itu sepertinya sebagian telah dimiliki dan menjadi citra ideal dari karakter masyarakat Barat (baca Eropa Barat dan Amerika). 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Implikasinya, citra karakter yang dipandang sebaliknya, padahal itu sangat positif dan merupakan kekayaan “batiniah” bangsa, tidak dicantumkan. Di antara karakter yang seharusnya ada itu antara lain adalah karakter penuh rasa syukur,sabar, dan rendah hati kepada sesama. Kesan sekilas dari ketiga karakter itu memang kurang progresif, bahkan terkesan pasif sehingga itu kemudian tidak dimasukkan. Akan tetapi, tiga hal ini sesungguhnya merupakan kekuatan “pertahanan” yang sangat penting bagi mentalitas bangsa Indonesia sekaligus penciri pentingnya. Sejarah perjuangan bangsa dalam waktu panjang dan mental bangsa akhir-akhir ini saat menghadapi rangkaian bencana telah menunjukkan itu semua.

Kita akhir-akhir ini dikepung oleh rangkaian bencana alam dan non alam. Akibat dari bencana antara lain adalah kerusakan dan kehancuran yang menyebabkan kepedihan dan kesedihan luar biasa. Semua terjadi di luar harapan dan perencanaan. Orang Barat konon mudah sekali jatuh mental akibat sesuatu yang sedikit saja meleset dari perencanaannya terjadi. Fakta beberapa tahun terakhir memberikan banyak kesaksian mengenai kuatnya mentalitas bangsa dalam menghadapi kenyataan di luar rencana itu, bahkan sesuatu yang sangat tidak diinginkan itu. Bencana yang menimpa ternyata justru menunjukkan jati diri bangsa ini yang begitu kuat menghadapi kesulitan. Pada momen-momen tertentu, para sukarelawan asing konon terkagum dengan mentalitas sebagian bangsa ini yang demikian kuat dalam menghadapi kepahitan. Dalam konteks itu, karakter sabar sungguh amat dibutuhkan.

Catatan perjuangan para pahlawan kemerdekaan bangsa ini juga demikian. Mereka bukan hanya gigih (aktif mengupayakan tercapainya tujuan/aktif), tetapi juga sabar (kuat menahan berbagai penderitaan/ pasif-bertahan). Itulah yang membuat perjuangan mereka tak mudah padam dalam waktu panjang. Dan itu pulalah kekayaan bangsa ini yang pernah ada, pernah mengantarkan bangsa Indonesia kepada kemerdekaan, dan potensial masih ada dan bisa dipupuk di masa sekarang. Apakah kita kemudian akan membuangnya begitu saja dari daftar karakter yang ingin kita bangun untuk bangsa ini?

Mengenai penuh rasa syukur, kita mengenal dengan baik lagu berjudul syukur yang antara lain berisi syair “dari yakinku teguh- hati ihlasku penuh- akan karuniamu”. Saya pribadi merasa tergetar dan dapat khusyu’ menghayati lagu yang seolah lahir dari lubuk hati bangsa itu. Orang lain mungkin juga mengalami hal yang sama. Kita juga dengan mudah memperoleh pesan semakna dengan itu dalam teks-teks kebangsaan kita “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” dalam awalan pembukaan UUD 1945. Saya meyakini sepenuhnya bahwa pernyataan dalam teks lagu dan pembukaan UUD 1945 itu tidaklah kosong. Ia mencerminkan suasana batin mendalam bangsa ini akan rasa bahagia yang mendalam atas tercapainya kemerdekaan dari penjajahan.

Rasa syukur juga menjadi kekuatan mentalitas bangsa kita saat-saat menghadapi kesulitan dan bencana. “alhamdulillah saya tidak apa-apa” kata yang banyak saya dengar beberapa hari setelah bencana gempa Yogya 2006 yang saya juga termasuk di dalamnya. Rasa syukur itu bukan pasif. Akan tetapi, ia secara batiniah sangat aktif yaitu mengkoordinasikan seluruh diri agar menerima yang terjadi dan mensyukuri yang masih ada. Itu sungguh kekuatan luar biasa positif bangsa kita.

Apakah kita lalu akan berupaya membuang kedua karakter penting itu yang telah manifes dan “berguna” bagi bangsa ini yaitu penuh rasa syukur dan sabar dengan alasan ini terkesan condong kepada pasivitas? Dengan pertimbangan pentingnya dua hal itu sebagai pertahanan “batiniah” bangsa ini sekaligus rendah hati sebagai penciri bangsa, saya mengusulkan menambahkan ketiga pilar tersebut untuk menambah 18 karakter yang telah ditetapkan oleh Kemenerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (Artikel ini pernah dipublikasikandi Gorontalo Pos). Wallau ‘alam.

Dr. Ibnu Burdah, MA, adalah dosen UIN Sunan Kalijaga, guru ngaji, dan penulis buku 1. Pendidikan Karakter Islami untuk anak SD/ SMP/ SMA, 2. Kristal-Kristal Cinta  Para Filsuf, Sufi, dan Nabi. 3. Metode Baca al-Qur’an ramah Anak Iqra’ Tartila. 4. Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah. 5. (Dunia) Islam  Kontemporer. 6. Bahasa Arab (untuk Hubungan) Internasional. 7. Segitiga Tragedi Tanah Palestina. 8. Wajah Baru Yahudi Orthodox vs Zionisme Zionisme. 9. Puisi-Puisi Nakal dari Pesantren: Setengah Humor Setengah Cendekia. 10. Konflik Timur Tengah, Aktor Isu dan Dimensi Konflik. 11. Mutiara-Mutiara Hikmah Kebahagiaan Sejati.

 

Oleh Dr. Ibnu Burdah, MA

Penulis Buku Pendidikan Karakter Islami SD,SMP, SMA

 

 

 

Ikuti tulisan menarik ibnu Burdah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB