x

Ratusan pemudik berjalan menuju gerbong Kereta Api (KA) Ekonomi Progo rute Yogyakarta - Jakarta di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, 10 Juli 2016. Arus balik pemudik pengguna jasa transportasi Kereta Api diperkirakan mencapai puncaknya pada 10 Juli ka

Iklan

Paulus Mujiran

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Urbanisasi dan Ketimpangan Desa Kota

Urbanisasi berpangkal dari sulitnya mencari pekerjaan layak di desa. Mereka menjadikan kota sebagai sumber harapan baru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Salah satu problem khronis yang menyertai arus balik Lebaran adalah fenomena urbanisasi. Saat balik para pemudik membawa serta keluarga, saudara, kawan, kenalan untuk bersama-sama mengais mimpi di kota. Kota menjadi tempat tujuan paling favorit. Padahal mimpi itu tak seindah kenyataan. Secara statistik urbanisasi dikategorikan dua macam. Pertama, mereka yang berasal dari kalangan pendidikan rendah SD, SMP dan SMA dan  kedua, kalangan berpendidikan lebih tinggi yakni pendidikan sarjana.

Urbanisasi berpangkal dari sulitnya mencari pekerjaan layak di desa. Mereka menjadikan kota sebagai sumber harapan baru. Mereka yang nir keterampilan dan berpendidikan rendah hanya akan menjadi beban di kota karena tidak terdapat kontribusi mereka dalam pembangunan kota. Mereka pun akhirnya jatuh di sektor informal yang membebani pemerintah kota. Beda halnya dengan mereka yang berlatar belakang pendidikan tinggi peluang lebih tersedia untuk pembangunan di kota.

Dalam konteks ini sebenarnya urbanisasi menjadi pilihan rasional bagi penduduk dalam usaha mendapatkan penghasilan yang lebih baik dibandingkan dengan waktu di desa. Ini menjadi bukti kian enggannya generasi muda menekuni sektor pertanian atau cangkul-mencangkul. Budaya kerja kasar ini telah digantikan dengan proses migrasi ke kota. Berbagai kajian membuktikan serendah-rendahnya jenis pekerjaan yang dilakukan pendatang di kota senantiasa mendapatkan penghasilan lebih baik dibandingkan waktu di desa.

Pekerjaan di desa identik dengan kerja bakti dan gotong-royong sulit menghasilkan uang. Desa dengan segala ketertinggalannya tidak pernah berkembang. Akibatnya selain perekonomian berjalan stagnan mereka yang bertahan di desa cenderung bertahan dalam kehidupan subsisten alias pas-pasan. Kota lah bagi orang desa merupakan barometer sukses dan meraih mimpi. Apalagi banyak cerita sukses (succes story) yang dibawa pulang pemudik dengan mimpi-mimpi yang memikat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di kalangan orang Jawa juga dikenal ungkapan “nek arep dadi wong ya kudu lungo” (baca=jika ingin menjadi orang ya harus pergi). Mereka yang hanya bertahan di desa dan menikah dengan tetangga sering dipandang sebagai kurang jantan dan hanya menantikan warisan dari orang tua. Akibatnya, tidak ada keinginan membangun desa. Mereka yang pintar dan berketerampilan memilih merantau ketimbang bertahan di desa yang tidak menjanjikan masa depan. Meski dengan begitu urbanisasi juga berdampak melumpuhkan pedesaan karena kehilangan sumberdaya produktif.

Beberapa penelitian mencatat sektor pertanian akan mengalami gerontokrasi karena hanya mereka yang lanjut usia dan kurang produktif yang bekerja di sektor itu. Dengan lahan yang makin sempit dan kurangnya tenaga kerja produktif sektor pertanian pasti lama kelamaan akan mati. Makin kurang menariknya sektor pertanian berarti ada kematian negeri agraris ketika pada saat bersamaan banyak produk pangan tergantung dari impor.

Daya tarik kota memang menggiurkan. Pekerjaan pendatang di kota seperti menjadi pemulung, tukang semir sepatu, tukang parkir, pengumpul barang bekas dan pengemis pendapatan tetap dua tiga kali lipat dibandingkan menjadi petani atau buruh tani di desa. Dengan adanya kecenderungan seperti itu logika ekonomi berlaku, urbanisasi menjadi pilihan paling rasional di tengah sulitnya mencari penghasilan di desa.

Proses perpindahan penduduk yang mendadak dalam sekejap dan tidak terkendali pada akhirnya membawa preseden buruk bagi pembangunan perkotaan. Urbanisasi lebih kerap memunculkan masalah baru di perkotaan. Masalah kemiskinan di pedesaan hanya berpindah tempat menjadi masalah sosial baru di perkotaan. Celakanya pendekatan yang ditempuh kota hanya dengan operasi yustisi kependudukan (OYK) yang dampaknya tidak siginifikan dalam menekan kaum pendatang yang berbondong-bondong ke kota. OYK hanya memberi efek jera dalam jangka pendek tetapi tidak menyelesaikan akar persoalan karena motivasi utama orang berurbanisasi tidak pernah dapat dituntaskan.

Urbanisasi berakibat kualitas hidup pendatang menjadi minim. Sebagian besar dari mereka akhirnya hidup secara subsisten. Kondisi ini pada gilirannya hanya memindahkan persoalan kemiskinan dari desa ke kota. Peralihan tenaga kerja yang pindah dari desa ke kota tidak mampu di tampung di dalam sektor formal yang mengakibatkan deformasi atau menurunnya kualitas dan bentuk pendapatan. Kondisi ini bukan karena lonjakan permintaan akan jasa di sektor industri melainkan disebabkan ketidakmampuan sektor industri menyerap tenaga kerja.

Masalah sosial pun kemudian mengemuka. Problem anak jalanan, gelandangan, pengemis, pekerja seks komersial dan terciptanya kantong-kantong kemiskinan di kota menjadi dampaknya. Menjamurnya pemukiman kumuh perkotaan dengan sanitasi yang buruk dan kesehatan berkualitas rendah justru menjadi malapetaka bagi pendatang. Ini akibat kota tidak lagi memiliki daya dukung memadai dalam penyediaan perumahan, lapangabn kerja, air bersih, akses pendidikan dan kesehatan secara layak.

Ketidakjelasan identitas juga menyebabkan mereka tidak mampu mengakses layanan kesehatan ketika sakit. Karena lapangan pekerjaan di kota tidak semudah yang dibayangkan akhirnya orang memilih cara instan dan tidak halal dalam memperoleh penghidupan. Dari sebab itu tidak usah bermimpi hidup di kota kalau memang tidak punya pendidikan dan keterampilan yang memadai. Sebab daya tampung kota sudah tidak memadai lagi menerima kehadiran pendatang.

Urbanisasi menjadi keniscayaan yang tidak terelakkan ketika pekerjaan beragam hanya tersedia di kota. Caranya sederhana pemerintah harus menyejahterakan rakyatnya terutama yang berada di desa. Ketimpangan ekonomi desa harus dijembatani dengan pembangunan pro pedesaan. Saatnya pemerintah tidak hanya membangun hanya terpusat di kota-kota besar tetapi arahkan akses juga untuk ke desa. Pemerintah terutama di daerah harus ada gerakan membangun desa. Apalagi ada Undang-Undang No 6 Tahun 2014 yang berpeluang membangun desa secara lebih sungguh-sungguh.

Perangkat desa memang harus dididik agar dengan anggaran yang besar itu mampu mensejahterakan rakyat. Dana besar tidak hanya untuk infrastruktur tetapi juga diarahkan untuk pembangunan manusia, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Karena itu harus ada kerjasama dengan pemerintah tempat asal kantong-kantong kaum urban ini. Urbanisasi bukan soal distribusi pendapatan dan penyediaan lapangan kerja.

Urbanisasi adalah berawal dari kebijakan pembangunan yang tidak pro pedesaan. Melupakan pembangunan di sektor pertanian, perikanan, peternakan yang menjadi andalan pedesaan hasilnya kini kita nikmati membanjirnya kaum urban ke kota. Sementara desa hanya menjadi kawasan yang kering kerontang karena tidak ada lagi yang bisa diharapkan.

Pembangunan yang hanya bertumpu dan terpusat di kota harus diarahkan ke desa agar penduduk desa tidak terdorong melakukan urbanisasi. Ketertinggalan desa 180 derajat dari kota justru menghasilkan pembangunan yang timpang. Harus ada solusi bagaimana agar setiap arus balik tidak berbondong-bondong penduduk desa membanjir ke kota dan menjadi beban kompleks perkotaan.

Paulus Mujiran, pengamat sosial, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang 

Ikuti tulisan menarik Paulus Mujiran lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler