x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Saya Menyesap Kopi, maka Saya Ada

Mengapa pemikir hebat seperti Voltaire tergila-gila kepada kopi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Haruskah aku bunuh diri atau minum secangkir kopi?”

--Albert Camus

 

Apakah kopi membikin para filosof berpikir dengan cara berbeda? Entahlah, tapi Francois-Marie Arouet atau lebih dikenal sebagai Voltaire memperlihatkan antusiasme yang menggelegak terhadap minuman kopi. Ia disebut-sebut sanggup minum 40-50 cangkir kopi setiap hari—sungguhkah? Apakah ia terjaga sepanjang hari; ataukah kopi sudah majal untuk membuka mata Voltaire dan ia tetap mudah tidur nyenyak?

Bila tidak sedang bersama teman-temannya di Cafe de Procope, Paris, Voltaire—yang hidup antara 1699 hingga 1778—menikmati kopi di rumahnya. Di masa kopi enak masih sangat mahal, Voltaire rela mengeluarkan uang untuk mendapatkan kopi yang diimpor untuk memenuhi hasratnya akan kopi. Begitu amat menikmati kopi sehingga Voltaire mengabaikan saran dokternya untuk berhenti minum.

Apakah kopi jadi semacam bahan bakar bagi kemampuan berpikirnya, menjadi stimulan yang merangsang saraf-saraf otaknya?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kopi meluncur ke dalam perutmu dan dengan cepat terjadi keributan di sana,” kata Honore de Balzac, penulis Prancis kelahiran 1799, “Gagasan-gagasan mulai bergerak bagai batalyon Tentara Besar di medan perang, dan pertempuran pun berlangsung. Berbagai hal langsung teringat kembali dalam kecepatan penuh, mendesingkan angin. Kavaleri perumpamaan dikerahkan, artileri logika buru-buru tiba dengan kereta dan amunisi, moncongnya lurus bagai penembak jitu. Kiasan-kiasan bermunculan, kertas mulai tertutupi oleh tinta; perjuangan dimulai dan diakhiri dengan semburan air hitam, bagaikan pertempuran dengan mesiu.”

Di abad ke-19, Soren Kierkegaard juga punya ritual kopi. Kierkegaard sangat khusus dalam mempersiapkan kopi, menyiapkan gula di cangkirnya hingga munjung, kemudian menuangkan kopi hitam dan melarutkannya dengan air panas. Pesona kopi memikat filosof ini hingga ia sanggup menghabiskan 50 cangkir kopi. Kierkegaard mati muda, 42 tahun, tapi mungkin bukan karena kopi—atau justru karena kopi, yang oleh sebagian orang dianggap bagai racun yang membunuh secara perlahan?

Immanuel Kant boleh dibilang terlambat menyukai kopi. Kabarnya, filosof Kant baru menyesap kesedapan aroma dan kehangatan kafein justru di masa tuanya—dan karena itu ia tak ingin melewatkan hari tanpa kopi. Bagi Kant, minum kopi adalah pelengkap kenikmatan menyantap hidangan. “Kant punya kebiasaan minum kopi segera setelah selesai makan malam,” tulis Thomas DeQuincey dalam The Last Days of Immanuel Kant.

Bagi Scott F. Parker dan Michael W. Austin, seperti tertuang dalam buku mereka, Coffee: Grounds for Debate, di balik kerasukan kepada kopi dapat dicari alasan-alasan estetika dan etika. Secara estetis, ada pertanyaan-pertanyaan perihal subyektivitas, cita rasa, dan pengalaman: bagaimana Anda menikmati secangkir kopi, apa yang Anda rasakan, pengalaman apa yang Anda nikmati ketika mencium aromanya? Secara etis, penting untuk memikirkan dampak lingkungan dan bagaimana perlakuan terhadap para petani, terutama di Dunia Ketiga. Ketika 400 milyar cangkir kopi dikonsumsi setiap tahun di seluruh dunia, siapakah yang paling menikmati keuntungannya—Starbucks, pedagang internasional, barista, produsen kopi instan, pemilik warung kopi, atau para petani kecil?

Di dunia kita, di mana pengalih perhatian tak kunjung henti mengunjungi kita, dengan perhatian yang hanya tertuju di permukaan, kopi memainkan peran menarik. Di satu sisi, kopi mengandung kafein, dan stimulasi yang ditimbulkan dapat dimanfaatkan untuk menghidupkan hidup agar lebih hidup.

Di sisi lain, minum kopi memerlukan perhatian. Untuk minum kopi, kita menyediakan waktu untuk melakukan sesuatu yang mendatangkan kesenangan sederhana ini. Kopi yang disajikan panas memerlukan perhatian kita—kita, secara harfiah, mesti perlahan-lahan meminumnya atau lidah kita akan berkelajatan. Memusatkan perhatian seperti ini, sekalipun hanya 15 menit, kata Scott, sangat penting bagi kesehatan mental kita.

Lantas, apa alasan yang cocok bila kita menelisik secangkir kopi secara metafisika? Saya menyesap kopi, maka saya ada—begitukah? (foto ilustrasi: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler