x

Iklan

Wendie Razif Soetikno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jalan Panjang Otonomi Pendidikan

Kontroversi utama nampak di Psl 77 P ayat 2 & Psl 20 PP No.32 Th 2013 yg bertentangan dgn otonomi pendidikan di Psl 77 M ayat 1 & ayat 3 PP No.32 Th 2013

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kontroversi

Kita ini memang bangsa pelupa. Sejak saat diluncurkannya Kurikulum 2013 pada tanggal 28 November 2012 di Hotel Mega Anggrek Jakarta, kontroversi terus dikumandangkan oleh para ahli. Pakar linguistik, Prof. Dr. Bambang Kaswanti Purwo mengritik bahwa kurikulum kita mengkondisikan guru untuk berputar haluan kembali ke praktik mengajar masa 30 tahun lalu. Majelis Guru Besar ITB juga menyatakan ketidaksetujuannya pada Kurikulum 2013.

Penulis sendiri merangkum kesalahan pola pikir dan cara pandang pedagogis yang keliru pada pelaksanaan Kurikulum 2013 dalam buku “Kelirumologi Kurikulum” (206 halaman) yang di-broadcast oleh Dr Onno W. Purbo dan diubah menjadi e-book agar dapat diakses sebagai bagian dari digital library oleh Penerbit Sibuku.

Bahkan Tim Transisi pemerintahan Jokowi-JK (di mana Dr. Anies Baswedan menjadi salah satu Deputi Kepala Staf Tim Transisi yang bekerja pada Agustus-Oktober 2014), telah memutuskan untuk menata ulang kurikulum pendidikan nasional (tidak akan melanjutkan begitu saja Kurikulum 2013), sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita No.8.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Alasannya bukan karena ganti menteri, ganti kurikulum, tapi ada masalah yang lebih mendasar yaitu adanya perubahan paradigma yang menyalahi prinsip pedagogi yaitu “kurikulum sebagai salah satu pilar pendidikan nasional” yang tercantum dalam Pasal 35 ayat 2 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menjadi “kurikulum sebagai satu-satunya pilar pendidikan” yang tertuang dalam dasar hukum Kurikulum 2013 yaitu Pasal 2 A PP No.32 Tahun 2013.

Perubahan paradigma yang dahsyat ini nampak dari digantinya standar nasional pendidikan (SNP) yang menyangkut 8 pilar pendidikan, yang diubah menjadi standar kompetensi lulusan (SKL). SNP ini termaktub dalam Pasal 35 ayat 2 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas): “Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan”, yang diubah menjadi standar kompetensi lulusan (SKL) dalam Pasal 2 A PP No.32 Tahun 2013 : “Standar Kompetensi Lulusan digunakan sebagai acuan utama Pengembangan Standar Isi, Standar Proses, Standar Penilaian Pendidikan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, dan Standar Pembiayaan”.

Pergeseran makna dari SNP dimana kurikulum itu mencakup standar isi, standar proses dan standar kompetensi lulusan (SKL), yang diubah menjadi SKL yang mencakup 8 pilar pendidikan, dapat diartikan sebagai mengubah rezim standar menjadi rezim Ujian Nasional (yang berpatokan pada SKL).

Dengan kata lain, standar penilaian pendidikan dikeluarkan dari komponen Kurikulum 2013, dengan konsekuensi Kemdikbud kebingungan dalam menyusun pedoman penilaian Kurikulum 2013. Pedoman penilaian ini sampai diubah enam kali hingga mengacaukan penulisan rapor dan mengabaikan keresahan para guru serta orang tua.

Keresahan ini sudah terpantau Wapres Boediono saat mengunjungi Sekolah Dasar Negeri 01 Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis, 23 Januari 2014. Namun masalah mendasar yaitu eksklusi evaluasi dari komponen kurikulum ini tak kunjung terselesaikan. Akibatnya, pedoman penilaian yang terakhir yaitu Permendikbud No.53 tahun 2015 yang ditanda tangani Mendikbud Anies Baswedan tanggal 11 Desember 2015, masih mengandung kesalahan mendasar, yaitu mencantumkan Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal (KKM) tanpa menyinggung tentang Daya Serap, dan mencantumkan deskripsi tanpa mengupas capaian IP (Indeks Prestasi).

Harapan sempat merebak ketika muncul Surat Edaran Mendikbud No. 179342/MPK/KR/2014 yang ditanda tangani oleh Mendikbud Anies Baswedan tanggal 5 Desember 2014, yang mengijinkan sekolah untuk memilih tidak lagi menggunakan Kurikulum 2013.

Tapi seiring keluarnya Permendikbud No.160 Tahun 2014, harapan untuk penyelesaian kontroversi Kurikulum 2013 ini meredup. Kenapa ? Karena adanya tiga alasan mendasar yang sengaja diabaikan yaitu :

1. Karena pertentangan peraturan dalam dasar hukum Kurikulum 2013 tak kunjung diselesaikan, sehingga Kurikulum 2013 dan revisinya itu sebenarnya tak mungkin diimplementasikan :

  • Pasal 2 A PP No.32 Tahun 2013 bertentangan dengan Pasal 25 PP No.32 Tahun 2013
  • Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 bertentangan dengan Pasal 77 F PP No.32 Tahun 2013
  • Pasal 77 P ayat 2 PP No.32 Tahun 2013 bertentangan dengan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013
  • Lampiran Permendikbud No.64 Tahun 2013 Bab II tentang SOLO Taxonomy bertentangan dengan Pasal 5 ayat 3 PP No.32 Tahun 2013
  • Lampiran Permendikbud No.21 Tahun 2016 Bab III tentang Ruang Lingkup Materi tidak sejalan dengan Pasal 5 ayat 2 PP No.32 Tahun 2013 : “ruang lingkup materi berlaku untuk sekolah”, artinya ruang lingkup materi tidak diberlakukan secara nasional, supaya setiap sekolah dan daerah tetap mempunyai hak membuat silabus sesuai kondisi daerah (Pernyataan Mendikbud Anies Baswedan dalam Kompas, Kamis 14 Juli 2016 halaman 11)

2. Karena jajaran birokrat Kemdikbud salah memaknai dasar hukum dariKurikulum 2013, khususnya Pasal 94 b PP No.32 Tahun 2013 dimana tertera “satuan pendidikan wajib menyesuaikan dengan PP ini paling lambat 7 tahun”, yang ditafsir sebagai “semua sekolah wajib menjalankan kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, yang dikenal sebagai Kurikulum 2013 paling lambat 7 tahun”. Padahal ketentuan di atas seharusnya dibaca sebagai wajib menyesuaikan dengan ketentuan dasar hukum (PP-nya) sendiri paling lambat 7 tahun, yaitu menyesuaikan dengan Pasal 77 M ayat 1 PP No.32 Tahun 2013: (kurikulum disusun dan dilaksanakan di masing-masing sekolah : pengakuan atas otonomi guru), dan Pasal 77 M ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 (kurikulum ditetapkan oleh kepala sekolah : pengakuan atas otonomi sekolah). Sehingga seharusnya tidak ada kurikulum tunggal dan seragam secara nasional melalui pelatihan guru yang seragam secara nasional, yang bisa menghapus visi dan misi sekolah, yang menyebabkan para guru hanya menjadi robot-robot tukang mengajar, tidak tahu lagi untuk apa dan demi apa dia mengajar, abai akan hak guru untuk menyusun kurikulum dengan standar yang lebih tinggi, sebagaimana digariskan dalam Permendiknas No.24 Tahun 2006. Semuanya menjadi mekanis dan instruksional.

3. Kesalahan penafsiran ini berlanjut pada pemaknaan Pasal 4 Permendikbud No.160 Tahun 2014 dimana tertera “satuan pendidikan dasar dan menengah dapat melaksanakan Kurikulum 2006 paling lama sampaidengan tahun pelajaran 2019/2020”, yang ditafsir sebagai “semua sekolah wajib melaksanakan Kurikulum 2013 sebelum tahun pelajaran 2019/2020”.

Padahal ada banyak pasal-pasal dalam dasar hukum Kurikulum 2013 (PP No.32 Tahun 2013) yang saling bertentangan (lihat No.1 di atas) dan pada tahun ajaran 2019/2020 itu kita akan memasuki APEC 2020, sehingga sekolah-sekolah seharusnya sudah menerapkan kurikulum di atas standar baku yang ditetapkan pemerintah (beyond the standard), harus mampu menyusun modul sampai ke tingkat HOT (higher order of thinking) hingga dapat menerapkan SKS murni (bukan paket SKS) dan tersertifikasi ISO 9001:2008.

Artinya, sebelum tahun 2019/2020, sekolah-sekolah kita harus sudah siap go international, dan hal itu hanya dimungkinkan kalau guru dapat mendisain kurikulum secara digital sehingga dapat maju menerapkan sekolah digital untuk mengadopsi kurikulum yang bisa menjawab tantangan abad ke-21 (adopting the 21st Century Learning), sebagaimana diamanatkan dalam Pertemuan ke-6 SEAMEO (Organisasi Menteri-menteri Pendidikan se Asia Tenggara) di Bandung tanggal 25-27 April 2016 lalu.

Revisi Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 akhirnya direvisi pada 4 bagian penting, yaitu :

  • Penataan Kompetensi Sikap Spiritual dan Sikap Sosial pada semua mata pelajaran
  • Koherensi KI - KD dan penyelarasan dokumen
  • Pemberian ruang kreatif kepada guru dalam mengimplementasikan kurikulum
  • Penataan kompetensi yang tidak dibatasi oleh pemenggalan taksonomi proses berpikir

Namun masih ada beberapa hal mendasar lagi yang harus diperbaiki :

Pertama, Pemerintah sebaiknya hanya fokus merumuskan kebijakan (policy) pendidikan, sesuai dengan apa yang digariskan pada Pasal 38 ayat 1 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas).

Oleh sebab itu, sejak dulu pemerintah hanya menyusun Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum. Masalahnya, sampai detik ini, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum itu masih kabur.

Kendalanya terletak pada KI (Kompetensi Inti) yang tidak jelas acuannya hingga tidak terukur.

Kompetensi Inti dalam Kurikulum 2013 dan Revisi Kurikulum 2013 yang jumlahnya empat, ternyata tidak mengacu pada “EMPAT KECERDASAN DASAR dan KARAKTER” yang terangkum dalam SEIP Intelligence, karena Kompetensi Inti 1 (KI 1 : sikap spiritual) ternyata tidak diukur dengan SQ (Spiritual Qoutient) tapi dinilai dari hasil pengamatan observasi guru yang sifatnya subyektif hingga mengaburkan arti penilaian otentik. Kompetensi Inti 3 (KI 3 : pengetahuan) tidak diukur dengan IQ (Intelligence Qoutient) tapi diukur melalui pemahaman kognitif siswa hingga mengabaikan hakekat penilaian holistik.

Hal ini nampak jelas dalam Permendikbud No.23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian, dimana kolom nilai ketrampilan dan afektif serta predikatnya dihapus dari rapor (hanya ada kolom nilai pengetahuan tanpa predikat). Padahal Lampiran IV Permendikbud No.81 A Tahun 2013 tentang penilaian dinyatakan tidak dicabut dalam Permendikbud No.23 Tahun 2016.

Kompetensi Inti dalam Kurikulum 2013 dan Revisi Kurikulum 2013 ternyata juga tidak mengacu pada Core Skills dari 21st Century Learning (Kompetensi Inti dalam Kurikulum 2013 dan Revisi Kurikulum 2013 jumlahnya empat, sedangkan Core Skills dalam 21st Century Learning itu jumlahnya enam, dengan isi dan pengertian berbeda) karena Kompetensi Inti 2 (KI 2 : sikap sosial) dalam Kurikulum 2013 dan Revisi Kurikulum 2013, ternyata tidak mengacu pada Core Skills yang keempat yaitu “Menjadi Warga Negara yang Baik” sehingga KI 2 (sikap sosial) itu tidak diukur dengan CQ (Civic Quotient) tapi dinilai dari hasil pengamatan observasi guru yang sifatnya subyektif hingga mengaburkan arti penilaian otentik.

Kurikulum 2013 dan Revisi Kurikulum 2013 juga menghapus Mata Pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) di era aplikasi online dan abad digital ini sehingga jelas tidak mengacu pada Core Skills yang kelima yaitu “literasi digital”.

Mendikbud Anies Baswedan juga selalu menghembuskan perlunya kolaborasi, bukan kompetisi, padahal Kurikulum 2013 dan Revisi Kurikulum 2013 tidak mengacu pada Core Skills yang ketiga yaitu “kolaborasi dan komunikasi”.

Melihat kerancuan pemahaman dan pengukuran Kompetensi Inti, maka British Council telah mengadakan pelatihan bagi guru dan kepala sekolah soal Kompetensi Inti ini dan topik “Adopting The 21st Century Learning” juga dibicarakan dalam Pertemuan ke-6 SEAMEO di Bandung tanggal 25-27 April 2016 yang lalu, tetapi Kemdikbud tetap bersikukuh mengarang-ngarang arti Kompetensi Inti sendiri.

Kompetensi Inti (KI) ini selalu digembar-gemborkan sebagai sesuatu yang baru dalam kurikulum nasional kita yaitu pengintegrasian pendidikan karakter dalam kegiatan belajar-mengajar (KBM). Padahal dalam Kurikulum 2006 dan KTSP Bimtek (2008) sudah dikenal adanya “18 Nilai dalam Pendidikan Karakter” yang dilengkapi dengan poin frekuensi apresiasi dan pelanggarannya, yang implementasinya selalu ditanyakan dalam akreditasi sekolah. Ketentuan tentang pengamatan frekuensi tindakan murid ini memungkinkan Pendidikan Karakter di Kurikulum 2006 dapat dikomputerisasi (bukan pengamatan subyektif yang bisa bias).

Empat rumusan Kompetensi Inti (KI) dan rumusan KD (Kompetensi Dasar) tetap tidak koheren dalam Kurikulum 2013 dan Revisi Kurikulum 2013, akibatnya tetap tidak menjawab banyaknya materi yang hilang dalam kurikulum kita yang menyebabkan rendahnya score pemahaman Matematika dan IPA pada TIMSS (Trends in Mathematics and Science Study), rendahnya score pengetahuan umum dan kemampuan bernalar siswa kita pada PISA (Programme in International Students Assessment) dan rendahnya score kemahiran membaca apa yang tersirat melalui tes PIRL (Progress in International Reading Literature) (lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bab I A No.2 b untuk SD (Permendikbud No.68, No.69 dan No.70 Tahun 2013 untuk SMP, SMA dan SMK) yang diperbarui dalam Lampiran Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bab I A No.2 b untuk SD (Permendikbud No.58, No.59 dan No.60 Tahun 2014 untuk SMP, SMA dan SMK).

Materi yang hilang dari kurikulum itu misalnya mencongak pada Matematika SD untuk melatih berpikir abstrak, mendongeng untuk mengembangkan daya imajinasi dan abstraksi siswa, penggunaan buku logaritma di Matematika SMP untuk melatih siswa membaca tabel dan kamus serta data statistik, penggunaan jangka di SMA untuk menjembatani pola berpikir dua dimensi (lingkaran) menjadi tiga dimensi (bola), role playing dan debate untuk menjembatani pola pikir DM dalam Bahasa Indonesia menjadi MD dalam Bahasa Inggris, membaca komposisi musik dalam not balok pada paduan suara untuk menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan dll.

Dalam Revisi Kurikulum 2013, Kompetensi Inti 1 (sikap spiritual) dan Kompetensi Inti 2 (sikap sosial) hanya diberlakukan pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, serta PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Nilai KI 1 dan KI 2 diperoleh dari hasil pembelajaran langsung kedua mata pelajaran tersebut. Untuk mata pelajaran lain, nilai KI 1 dan KI 2 diperoleh dari pembelajaran tidak langsung.

Hal inilah yang menyebabkan KI (Kompetensi Inti) dan KD (Kompetensi Dasar) itu tidak koheren dan sampai sekarang masalah ini tidak terselesaikan (lihat 4 Perbaikan Kurikulum 2013 dalam Majalah JENDELA Pendidikan dan Kebudayaan edisi III/Juni 2016 di atas.

Empat rumusan KI (Kompetensi Inti) dalam Kurikulum 2013 dan Revisi Kurikulum 2013 juga tidak menjawab Struktur Kurikulum kita yang “membodohi” murid yang hanya berkutat pada pola pikir linier dan abai pada kesulitan anak-anak kita dalam berpikir abstrak dan sukarnya berkonsentrasi dalam waktu yang lama, karena terbiasa dengan visualisasi obyek (sejak kecil terbiasa menonton TV dan sekarang terbiasa menggunakan gawai (gadget).

Jembatan untuk ini justru dihapus dalam Struktur Kurikulum kita, yaitu melatih siswa berpikir dalam tiga dimensi melalui Ilmu Bumi Falak (astronomi), Ilmu Ukur Ruang (stereometri), Ilmu Ukur Melukis (BM), menggambar perspektif dan proyeksi, dll yang dulu pernah tercakup dalam Struktur Kurikulum MIPA tahun 1975.

Maka tugas menyusun Struktur Kurikulum itu bukan tugas main-main, harus dapat menyeimbangkan perkembangan otak kiri dan otak kanan, menjembatani pergeseran dari kemampuan visual menjadi kemampuan abstraksi dengan daya konsentrasi optimal.

Hal inilah yang belum dilakukan pada Kurikulum 2013 dan Revisi Kurikulum 2013 sehingga banyak orang tua dan anak tidak lagi melihat relevansi kurikulum dengan kehidupan sehari-hari.

Angka putus sekolah masih tinggi (Jumlah SD : 148.361, jumlah SMP : 36.425, dan jumlah SMA : 10.765, artinya banyak anak yang putus sekolah (drop out) sehingga angka partisipasi kasar (APK) tidak pernah membaik).

Belum lagi memperhitungkan kesiapan fisik anak-anak kita yang sering ke sekolah tanpa sarapan dan sekolah tidak dilengkapi dengan kantin yang memadai, tapi siswa harus mengikuti pelajaran sampai sore hari, hanya karena kita mau meng-copy pendidikan di Barat yang bersekolah selama 5 hari dengan gizi yang cukup dan fasilitas sarana serta prasarana sekolah yang lengkap.

Oleh sebab itu, mengembalikan hari sekolah menjadi 6 hari, mempunyai banyak keuntungan. Anak-anak bisa pulang jam 13.00 dan makan siang di rumah hingga mempunyai waktu istirahat yang cukup untuk dapat mengerjakan Tugas dan PR (Pekerjaan Rumah) serta dapat mengembangkan minat dan bakatnya dengan baik. Keuntungan lain, ada cukup banyak waktu untuk menambahkan materi yang hilang dalam kurikulum kita, sebagaimana diamanatkan dalam Lampiran Permendikbud No.57, No.58, No.59 dan No.60 Tahun 2014). Dan yang paling penting, pembelajaran di kelas menjadi sungguh-sungguh bersifat holistik karena pembelajaran psikomotor tidak lagi diberikan sebagai kegiatan kokurikuler di kelas (penunjang pelajaran teori), tetapi dapat diberikan sebagai kegiatan intra kurikuler di sore hari (sebagai penunjang dari kognitivisme menjadi behaviorisme atau konstruktivisme) serta masih cukup banyak waktu untuk melaksanakan kegiatan ekstra kurikuler yang bermutu di sore hari.

Kedua, Tugas kedua pemerintah adalah menentukan standar pelayanan minimal (SPM) dengan prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 ayat 1 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas). Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang akademik ini sampai detik ini belum ditentukan oleh Kemdikbud karena memerlukan pemetaan siswa seturut bakat dan minatnya (Multiple Intelligence).

Misalnya, Apa yang minimal harus dikuasai oleh siswa kelas V SD sehingga dia boleh naik ke kelas VI tanpa mengorbankan minat dan bakatnya? Artinya, kalau dia tidak menguasai bahan Matematika kelas V SD karena minat dan bakatnya ada di bidang musik, apakah dia akan dipaksa untuk mengikuti remedial sampai tuntas seperti anak yang bakat dan minatnya memang di bidang logika matematika? Apa tuntutan minimalnya sehingga anak ini tidak dikategorikan dalam anak bodoh di kelas (hanya karena dia tidak bisa Matematika dan IPA tetapi mahir dalam musik)? Hal ini belum pernah dirumuskan dalam Kurikulum 2013 dan Revisi Kurikulum 2013.

Tetapi sudah dirumuskan dalam Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2006 sehingga sekolah dapat menyusun kurikulum dengan standar yang lebih tinggi, sesuai arahan Permendiknas No.24 Tahun 2006.

Begitu juga Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) belum pernah dirumuskan dalam Kurikulum 2013 dan Revisi Kurikulum 2013. Yang ada adalah manajemen berbasis pengawas akibat perluasan wewenang pengawas seperti tertuang dalam Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No.2 b (pengawas menjadi eksekutor, regulator dan evaluator pendidikan : Pengawas Sekolah menjadi supervisor manajerial dan Pengawas Mata Pelajaran menjadi supervisor akademik bagi para guru, dengan mengerdilkan fungsi LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) menjadi sekedar administrator EDS (Evaluasi Diri Sekolah).

Keberadaan Pengawas Sekolah ini juga memangkas fungsi dan peran dari Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LPPKS) yang didirikan melalui Permendiknas No.6 Tahun 2009, yang telah melatih dan mengembangkan kapabilitas manajerial para kepala sekolah. Disamping sudah dibina oleh LPPKS, prasyarat untuk menjadi kepala sekolah juga sudah dirumuskan dengan baik dalam Permendiknas No.28 Tahun 2010. Semuanya menjadi tidak berarti dengan munculnya Pengawas Sekolah selaku supervisor manajerial, yang menjadikan kepala sekolah sebagai “bawahan” Pengawas Sekolah.

Pengawas Mata Pelajaran, sebagai pengawas penerapan dokumen kurikulum setiap mata pelajaran, pemakaian buku panduan guru, serta penggunaan buku teks (buku siswa). Bahkan Pemda melalui Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (PPO) juga merasa berhak ikut campur tangan dalam urusan pendidikan dan persekolahan karena bersandar pada multi tafsir kata “mengelola” pada “Pemda mengelola pendidikan dasar dan menengah” di Pasal 50 ayat 5 UU Sisdiknas.

Tanpa koreksi dari Presiden, pengelolaan sekolah menjadi tidak mudah karena banyak tuntutan dan campur tangan negara. Dengan adanya campur tangan itu, otonomi sekolah dan otonomi guru dalam mengembangkan visi dan misi sekolah cukup terganggu. Wajah dunia persekolahan di seluruh Indonesia menjadi sama dan seragam apapun visi dan misinya.

Maka dari itu, banyak orang kemudian mengritik persekolahan kita, yang satu menganggap kurikulumnya kurang relevan, yang lain merasa sekolah mengasingkan anak didik dari kenyataan, yang lain lagi mengatakan bahwa sekolah mengajarkan hal-hal yang ketinggalan jaman, kurang memperkembangkan intelegensi, terlalu didasarkan rasa takut melanggar arahan Pengawas, menghambat kreativitas anak, dan sebagainya. Akan tetapi dalam segalanya itu, persoalannya sebetulnya sederhana saja. Sekolah menjadi seperti itu karena kita menghendakinya demikian. Jikalau hal itu tidak berjalan dengan baik, tak ada jalan lain kecuali mengubahnya (Kaum Cerdik Pandai, Antara Ilmu dan “Ngelmu”, Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 7)

Perubahan itulah yang seharusnya dibicarakan di RNPK, bukannya mempercepat pelaksanaan Kurikulum 2013 yang kontroversial ini, tetapi bagaimana mengembalikan “roh” otonomi pendidikan, yaitu diversifikasi kurikulum dan relevansi kurikulum dalam kurikulum pendidikan nasional berbasis keunggulan lokal.

Padahal dalam Kurikulum 2006, MBS ini sudah dirumuskan dalam Permendiknas No.19 tahun 2007 tentang MBS (manajemen berbasis sekolah) yang terdiri dari 3 (tiga) dokumen yaitu Dokumen I tentang 5 bidang yang harus dibenahi dalam upaya meningkatkan mutu manajemen persekolahan yang dilengkapi dengan rincian tugas yang harus diemban oleh guru penanggung jawab tiap bidang; Dokumen II tentang penilaian proses dan evaluasi capaian tugas yang diemban sehingga kinerja sekolah dapat dirumuskan dengan baik; Dokumen III tentang audit kinerja sekolah dan audit kinerja tenaga kependidikan.

Keterpenuhan dokumen-dokumen ini memungkinkan sekolah memperoleh sertifikasi sistim manajemen persekolahan internasional melalui sertifikat ISO 9001 : 2008

Masalah Ketiga masalah penjurusan yang sudah dimulai di kelas X SMA dan tugas mengarahkan murid ke jurusan tertentu ini diserahkan kepada guru BK tanpa memetakan minat dan bakat anak seturut Multiple Intelligence. Padahal penjurusan ini akan mempengaruhi karier anak di kemudian hari. Anak yang terlanjur diarahkan ke Jurusan IPA, tetapi kecerdasan naturalisnya rendah, dikemudian hari akan sibuk membangun pabrik dengan menggusur areal persawahan yang subur. Anak yang terlanjur dimasukkan ke Jurusan IPS padahal kecerdasan logika matematikanya rendah akan cenderung memaksakan kehendak di kemudian hari (acuannya adalah “pokoknya”) : kurang mampu berargumentasi dengan jernih, dan selalu memandang pihak lain yang berbeda pendapat sebagai “liyan”.

Masalah yang membingungkan ada pada Mata Pelajaran Geografi. Mata pelajaran ini sebenarnya termasuk dalam IPA atau IPS ? Di perguruan tinggi, seperti UGM dan Unhas, Geografi ini termasuk dalam FMIPA, sedangkan di SMA dimasukkan dalam kelompok IPS. Sampai sekarang, hal ini tidak pernah dibereskan di kurikulum SMA.

Masalah yang lebih serius terjadi pada pembelajaran IPA atau IPS yang sudah dimulai sejak semester pertama di kelas X SMA : ada perpanjangan waktu satu semester dibandingkan dengan Kurikulum 2006 dan KTSP Bimtek (2008) tetapi ruang lingkup materinya justru lebih sedikit dari materi Kurikulum 2006 atau KTSP Bimtek (2008) dengan kegiatan praktikum yang sifatnya kokurikuler, bukan lagi intra kurikuler seperti pada Kurikulum 2006.

Akibatnya kegiatan praktikum hanya difungsikan sebagai kegiatan penunjang teori, bukan kegiatan pengasah bernalar halus (fine tuning). Misalnya siswa sudah diajar tentang thermometer, dan sudah tahu bahwa thermometer akan menunjuk suhu 0°C hanya bila thermometer itu dicelupkan dalam es yang sedang mencair. Namun anehnya para perawat itu selalu mengetrek-ngetrek thermometer supaya thermometer kembali ke titik 0°C. Apa mungkin? Kalau toh mungkin, pasti thermometer itu sudah rusak. Itulah sebabnya, ijazah perawat kita tidak diakui di luar negeri. Kalau membaca thermometer saja salah, bagaimana para perawat itu nanti membaca resep dokter?

Masalah penjurusan di kelas X SMA ini mengandaikan para guru SD dan SMP sudah memberi dasar dan landasan yang kuat dalam bidang IPA dan IPS sejak dini. Namun di SMP masih diajarkan IPA Terpadu dan IPS Terpadu, bukan cabang ilmu Fisika, Biologi dan Kimia sebagai suatu materi yang harus dipelajari secara mendalam, agar dapat menjadi dasar penjurusan di kelas X SMA.

Integrasi IPA dan IPS ini sudah lama disadari telah menghilangkan banyak materi penting dalam kurikulum kita (lihat Lampiran Permendikbud No.57, No.58, No.59 dan No.60 Tahun 2014). Belum lagi penghapusan mata pelajaran IPA di kelas 1, 2 dan 3 SD yang menghilangkan fungsi IPA sebagai basic knowledge dan melanggar Pasal 37 ayat 1 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) : “kurikulum wajib memuat IPA dan muatan lokal”, bukan mengintegrasikan IPA ke dalam mata pelajaran lain.

Kalau para guru di luar negeri mampu mengintegrasikan IPA ke mata pelajaran lain, karena para calon disaring dengan sangat ketat (bukan sekedar lulusan PGSD yang berasal dari SMA jurusan IPS atau SMK). Penjurusan sejak awal kelas X SMA ini sudah dipraktekkan pada Kurikulum 1968, tapi saat itu masih banyak kepala sekolah asing dan guru asing yang sangat qualified yang mengajar di sekolah kita. Misalnya Br Honoratus FIC, Sr Gerarda Maria Verhoef SPM, P. Paperzak OFM, P. J Drost SJ, Br Oswald MTB, dll. Fr Vianney BHK malah membuka museum Biologi yang pertama di Indonesia yang sampai sekarang masih terawat dengan baik.

Maka penjurusan di kelas X SMA bukan hanya harus mempersiapkan guru yang qualified, tetapi juga harus melengkapi sarana dan prasarana sekolah, seperti laboratorium kimia analisa, bedah hewan di laboratorium Biologi, laboratorium mekanika dan optik di lab fisika, lab akuntansi agar para siswa dapat belajar audit forensik, lab bahasa agar para murid terbiasa dengan jalan pikiran dan logika bahasa asing, dll, dan dana BOS tidak dihamburkan untuk membeli CCTV yang kita tidak tahu teknologinya, kalau rusak ya harus beli baru.

Masalah keempat adalah capaian “peningkatan semua aspek kualitas pendidikan terutama dalam bidang keaksaraan, berhitung dan kecakapan hidup” yang telah dirumuskan dalam Sasaran ke-6 dari Education for All (EFA), yang digaungkan dalam World Education Forum di Dakar tahun 2000 yang lalu. Hal ini diadopsi dalam Pasal 4 ayat 5 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) : “Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat”, yang dijabarkan dalam Kurikulum 2006 melalui Pasal 21 ayat 2 PP No.19 Tahun 2005 : “Pelaksanaan proses pembelajaran dilakukan dengan mengembangkan budaya membaca dan menulis”, yang diperkuat dengan ketentuan Pasal 25 ayat 3 PP No.19 Tahun 2005 : “Kompetensi lulusan untuk mata pelajaran bahasa menekankan pada kemampuan membaca dan menulis yang sesuai dengan jenjang pendidikannya”.

Berbekal kedua ayat ini, Kompetensi Dasar dan Indikator di Kurikulum 2006 sudah mengakomodir pembuatan ringkasan (resume) dari apa yang dibaca siswa, penyusunan ulasan (review) tentang bahan bacaan, timbangan sebuah buku (resensi), dan pelatihan pembuatan karya tulis (esai).

Hanya sayangnya, upaya pengembangan budaya membaca dan menulis ini dihapus dalam Kurikulum 2013 (tertulis dengan jelas : dihapus dalam PP No.32 Tahun 2013) sehingga Kemdikbud berpotensi melanggar komitmen capaian Sasaran 6 EFA dan menabrak UU Sisdiknas. Untuk pencitraan, Kemdikbud kemudian terpaksa meluncurkan proyek baru : “Program Literasi Sekolah” melalui Permendikbud No.23 Tahun 2015, suatu program yang mewajibkan siswa membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai dan pembagian jutaan buku teks ke sekolah-sekolah (bukan e-book), dimana siswa dan gurunya sudah terbiasa dengan gawai. Sehingga proyek ini tidak memenuhi aspirasi generasi Y dan tidak menunjang keberadaan perpustakaan digital (digital library) sebagai salah satu prasyarat eksistensi sekolah digital.

Alhasil, proyek ini terlepas dari konteks Revisi Kurikulum 2013 dan tujuan penataan ulang kurikulum pendidikan nasional karena tidak ada perbaikan pada Kompetensi Dasar dan Ruang Lingkup Materi.

Masalah krusial Kelima adalah masalah didaktik dimana penyusunan kurikulum itu seharusnya kontekstual, disesuaikan dengan kondisi sekolah dan situasi muridnya,yaitu kurikulum yang mengadopsi azas diversifikasi kurikulum (Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas) dan azas relevansi kurikulum (Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas) sehingga pemerintah tidak mencampuri urusan persekolahan, sesuai dengan motto Kemdikbud “tut wuri handayani” (memberdayakan dari belakang). Tidak merambah kemana-mana, sampai ke salah pemaknaan tentang taksonomi. SOLO Taxonomy yang dinyatakan dalam Lampiran Permendikbud No.64 Tahun 2013 Bab II memang tidak akan menghasilkan outcomes yang diharapkan selama guru tidak dilatih untuk membuat Silabus dan diktat sendiri.

Dalam Revisi Kurikulum 2013, buku teks siswa masih dikerjakan oleh Kemdikbud (Silabus boleh bebas dibuat oleh guru, tetapi untuk buku teks siswa : tidak ada kebebasan guru untuk menyusun sendiri atau setidak-tidaknya memilih sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi siswanya). (lihat juga rumusan kompetensi dan ruang lingkup materi yang seragam di revisi kurikulum 2013).

Terus kebablasan sampai menghasilkan aksioma : “penataan kompetensi tidak dibatasi oleh pemenggalan taksonomi proses berpikir” dalam Revisi Kurikulum 2013. Padahal penataan kompetensi dalam Taksonomi Bloom mutlak diperlukan untuk menentukan arah pembelajaran (sekedar kognitivisme, atau sampai ke behaviorisme atau bahkan sampai ke konstruktivisme) dan menentukan kegiatan pembiasaannya.

Taksonomi Bloom memang tidak dimaksudkan untuk pemenggalan proses berpikir, tapi merupakan syarat perlu untuk membuat road map penyusunan Silabus oleh guru sendiri dengan memperhatikan kondisi siswanya. Dalam taksonomi Bloom ini akan nampak bagaimana kegiatan pembelajaran akan dilaksanakan, targetnya ke mana, bagaimana target itu dicapai, sampai ke bentuk soal atau evaluasi belajarnya. Kalau Mendikbud Anies Baswedan dalam Kompas, Kamis 14 Juli 2016 halaman 11, menyatakan bahwa : “setiap sekolah dan daerah berhak membuat silabus sesuai kondisi daerah”, maka pemahaman mengenai Taksonomi Bloom mutlak diperlukan.

Kelalaian ini timbul karena kita tidak mengeksplorasi arti harafiah dan arti filosofis KTSP, sebagai kurikulum sekolah atau kurikulum lokal, hingga kita mengabaikan sejarah pendidikan kita, yaitu menengok kembali kurikulum terlengkap yang pernah kita punyai, Kurikulum 1975 dimana anak-anak masih mengenal Ilmu Bumi Falak (astronomi), Ilmu Ukur Ruang (stereometri), Ilmu Pesawat (Mekanika), Sejarah Dunia, dll tanpa menjadikannya sebagai beban belajar. Karena Kurikulum 1975 ini masih mengembangkan 6 wilayah makna yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika dan sinoptis.

Maka dalam inovasi pembelajaran dan konten, jauh lebih baik kalau kita mengacu pada filsafat perenialisme, mempertahankan yang sudah baik sebagai basic knowledge, lalu tinggal menambah bahan-bahan yang sesuai dengan perkembangan jaman.

Inilah arti hakiki dari pengembangan Silabus. Sebab bila guru mampu menyusun Silabus, maka guru dapat membuat diktat dan modul sendiri hingga memudahkan sekolah menerapkan SKS murni, sesuai tuntutan Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014. Modul ini berisi bahan-bahan dari Kurikulum 1975 dimana sains dan matematika dipahami sebagai art, bukan sekedar pengetahuan. Dimana siswa dilatih menemukan metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam administrasi politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari.

Inilah yang dimaksud dengan “penataan ulang kurikulum pendidikan nasional”. Aplikasi Nawa Cita No.8 ini adalah kembali ke Kurikulum 2006 agar guru dapat membuat Silabus sendiri dengan konten kurikulum 1975. Melalui otonomi guru ini, guru dapat menambah beberapa bahan yang sesuai dengan perkembangan jaman, tetapi dengan basic knowledge yang kokoh.

Kemudian para guru dapat mendisain kurikulum secara digital agar dapat tersertifikasi ISO 9001:2008. Dengan demikian, para guru dapat menyusun diktat dan modul sampai ke tingkat Higher Order of Thinking, lalu maju ke penerapan SKS (bukan paket SKS), sehingga penerapan e-learning berbasis multiple intelligence dan sekolah digital berbasis keunggulan lokal dapat diakselerasi, supaya ijazah anak-anak kita diakui di luar negeri pada era globalisasi ini.

Melalui jalan terjal ini, Kemdikbud dapat sekaligus memenuhi tuntutan Nawa Cita No.5 dan No.8 serta SDGs No.4

Jadi road map-nya adalah “Mengadopsi Kurikulum Abad Ke-21”, “Inovasi Pembelajaran dan Konten”, dan “Pelibatan Publik dalam Pendidikan” (harus menganggap perguruan swasta sebagai mitra pemerintah, bukan saingan yang selalu dicari-cari kesalahannya dan selalu dinomer duakan), ketiga hal yang justru dilupakan dalam pemaksaan pelaksanaan revisi Kurikulum 2013 (Kurikulum Nasional) di pertengahan Juli 2016 ini. Melalui road map itu, dunia pendidikan kita dapat bersaing di era APEC 2020.

Ujian Nasional

Sejak adanya putusan inckracht (putusan kasasi yang final dan mengikat) Mahkamah Agung (MA) No. 2596 K/PDT/2008 yang meminta pemerintah membatalkan Ujian Nasional sampai sarana dan prasarana sekolah terpenuhi dan kompetensi guru ditingkatkan, maka kredibilitas penyelenggaraan Ujian Nasional selalu dipertanyakan. 

Apalagi sejak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat  mengeluarkan aanmaning (teguran) kepada Mendikbud M. Nuh karena dianggap melalaikan putusan final kasasi MA terkait Ujian Nasional.  Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memanggil Mendikbud untuk mendengarkan aanmaning pada hari Rabu tanggal 10 April 2012, namun Mendikbud M. Nuh tetap bersikukuh untuk menyelenggarakan Ujian Nasional.   

Mendikbud Anies Baswedan yang diharapkan menjadi sosok akademisi yang taat hukum, ternyata malah terjebak dalam tataran penilaian (evaluasi) hasil belajar (tetap menyelenggarakan Ujian Nasional dengan “baju baru”) yaitu menggeser Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan siswa, menjadi Ujian Nasional sebagai penunjuk integritas sekolah, sedangkan kelulusan siswa diserahkan kepada keputusan sekolah.  Kemdikbud telah bergeser dari tataran mikro (penentu Standar Kompetensi Lulusan) berubah ke tataran maya (penunjuk  integritas sekolah, padahal yang dimaksud adalah penunjuk integritas guru penjaga tes/ujian). 

Dengan begitu ada gap antara Standar Kompetensi Lulusan yang sifatnya individual (pengukur pemahaman siswa)ke standar kejujuran lembaga yang sifatnya forensik(pengukur kecurangan sistemik).  Akibat gap ini,  timbul budaya meluluskan semua (an “everyone passes examination culture”).  Karena perubahan paradigma ini tidak diiringi dengan perubahan kesahihan (validitas) penilaian (evaluasi) hasil belajar melalui ITEMAN Tes (ANaTes dari ITB, SPS Sutrisno Hadi dari UGM atau Analisa Soal dari Disain Kurikulum Digital).  Misalnya kalau sebagian besar siswa mendapat nilai dibawah KKM (Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal), maka yang salah bukan siswanya, tapi soalnya tidak sahih (valid). Pembuat soalnya harus merevisi atau bahkan mengganti soalnya, tergantung pada Daya Pembeda, Tingkat Kesulitan dan Efektivitas Option soal. Dengan demikian, penilaian (evaluasi) hasil belajar tidak selalu hanya ditujukan untuk siswa, tanpa peduli akan kesahihan (validitas) soal-soal yang dibuat oleh Kemdikbud,  sehingga beban profesionalitas guru dalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar (KBM) tidak termonitor (sama sekali tidak menyentuh Nawa Cita No.5).

Kerancuan tentang apa yang dimaksud dengan evaluasi ini berlanjut ke Ujian Nasional SD yang sebenarnya sudah dihapus sejak jaman Mendikbud M.Nuh, karena penghapusan UN SD itu diamanatkan dalam Pasal 70 ayat 1 PP No.32 Tahun 2013 dan penghapusan Ujian Persamaan SD (Paket A) diamanatkan dalam Pasal 70 ayat 2 PP No.32 Tahun 2013, namun anehnya Ujian Nasional SD ini dihidupkan kembali oleh Mendikbud Anies Baswedan dengan “baju baru” yaitu Ujian Utama SD.   Bagaimana kalau anak SD itu tidak lulus Ujian Utama? Bukankah Ujian Paket A sudah ditiadakan ? Atau kalau seandainya lulus karena ada budaya meluluskan semua (an “everyone passes examination culture”), tapi nilainya dibawah standar, hingga tidak bisa diterima di SMP, apakah hal ini tidak berarti bahwa Ujian Utama SD itu justru memperkecil APK (angka partisipasi kasar) pendidikan lanjutan ?   

Nampak bahwa jajaran Kemdikbud mulai melupakan arti dari Wajib Belajar 9 tahun.

Maka dapat dimengerti kalau pernyataan pertama Mendikbud yang baru, Prof. Muhajir Efendi adalah akan menghentikan pelaksanaan Ujian Nasional, karena memang illegal (menentang peraturan).  Kita tunggu konsistensi Mendikbud yang baru

Kedudukan Guru

Pembentukan Ditjen Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud sebenarnya menyalahi Pasal 7 ayat 1 UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, karena pendidikan termasuk bidang kewenangan daerah, sehingga pendidik (guru) termasuk dalam lingkup otorisasi kepala daerah. 

Dalam praktiknya, desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan lainnya, kalau desentralisasi bidang-bidang pemerintahan lain berada pada pemerintahan di tingkat kabupaten/kota, maka desentralisasi di bidang pendidikan tidak berhenti pada tingkat kabupaten/kota, tetapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan.

Dalam praktik desentralisasi pendidikan itulah maka dikembangkanlah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 ayat 1 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas).  Namun yang saat ini diterapkan adalah Manajemen Berbasis Pengawas akibat perluasan wewenang pengawas seperti tertuang dalam Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No.2 b (pengawas menjadi eksekutor, regulator dan evaluator pendidikan : Pengawas Sekolah menjadi supervisor manajerial dan Pengawas Mata Pelajaran menjadi supervisor akademik bagi para guru, dengan mengerdilkan fungsi LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) menjadi sekedar administrator EDS (Evaluasi Diri Sekolah).

Keberadaan Pengawas Sekolah ini juga memangkas fungsi dan peran dari Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LPPKS) yang didirikan melalui Permendiknas No.6 Tahun 2009, yang telah melatih dan mengembangkan kapabilitas manajerial para kepala sekolah.   Disamping sudah dibina oleh LPPKS, prasyarat untuk menjadi  kepala sekolah juga sudah dirumuskan dengan baik dalam Permendiknas No.28 Tahun 2010. Semuanya menjadi tidak berarti dengan munculnya Pengawas Sekolah selaku supervisor manajerial, yang menjadikan  kepala sekolah sebagai sub ordinasi  Pengawas Sekolah.   

Pengawas Mata Pelajaran, sebagai pengawas penerapan dokumen kurikulum setiap mata pelajaran, pemakaian buku panduan guru, serta penggunaan buku teks (buku siswa). 

Tanpa koreksi dari Presiden, pengelolaan sekolah menjadi tidak mudah karena banyak tuntutan dan campur tangan negara.  Dengan adanya campur tangan itu, otonomi sekolah dan otonomi guru dalam mengembangkan visi dan misi sekolah cukup terganggu.  Wajah dunia persekolahan di seluruh Indonesia menjadi sama dan seragam apapun visi dan misinya.  Maka dari itu, banyak orang kemudian mengritik persekolahan kita, yang satu menganggap kurikulumnya kurang relevan, yang lain merasa sekolah mengasingkan anak didik dari kenyataan, yang lain lagi mengatakan bahwa sekolah mengajarkan hal-hal yang ketinggalan jaman, kurang  memperkembangkan intelegensi, terlalu didasarkan rasa takut melanggar arahan Pengawas, menghambat kreativitas anak, dan sebagainya.  Akan tetapi dalam segalanya itu, persoalannya sebetulnya sederhana saja.  Sekolah menjadi seperti itu karena kita menghendakinya demikian.  Jikalau hal itu tidak berjalan dengan baik, tak ada jalan lain kecuali mengubahnya (Kaum Cerdik Pandai, Antara Ilmu dan “Ngelmu”, Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 7) 

 Maka pembentukan Ditjen Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud itu sangat meresahkan para kepala daerah, karena Dinas Pendidikan setempat dan para Pengawas lebih berorientasi ke Pusat dari pada tunduk pada azas diversifikasi kurikulum (Pasal 36 ayat 2 UU No.20 Tahun 2013 (UU Sisdiknas) dan azas relevansi kurikulum (Pasal 38 ayat 2 UU No.20 Tahun 2013 (UU Sisdiknas) dan Dinas Pendidikan serta Pengawas setempat selalu lupa Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 yang mengusung semangat otonomi pendidikan (tidak selalu harus lurus-lurus ikut pemerintah pusat, harus disesuaikan dengan potensi daerah, kondisi sekolah dan situasi muridnya)

Anak emas

Pemberian keistimewaan kepada suatu organisasi guru mendapat sorotan yang tajam dari PGRI, FSGI, IPGI, dll    Dari pada mengistimewakan suatu organisasi guru yang memancing kontroversi, lebih baik Mendikbud yang baru mengoptimalkan peran dan fungsi BSNP sesuai Pasal 35 ayat 3 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas)

Pemberian keistimewaan juga diberikan kepada Ruang Guru, suatu bimbel online komersial, padahal masih banyak bimbel online yang lain yang mempunyai reputasi baik, seperti Primagama, zenius.net, SmartPro Education (malah gratis), dll

Kalau alasan Mendikbud Anies Baswedan ingin mendorong Ruang Guru membuat konten pembelajaran multi media, maka lebih baik Mendikbud yang baru mengoptimalkan peran dan fungsi Pustekkom Kemdikbud yang sudah berpengalaman mengelola TV Edukasi dan Radio Edukasi

 

Kesimpulan

  • Tugas Kemdikbud sebenarnya hanya dua, yaitu merumuskan Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum (sesuai amanat Pasal 38 ayat 1 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) serta merumuskan standar pelayanan minimal (SPM) berlandaskan manajemen berbasis sekolah (MBS) (sesuai amanat Pasal 51 ayat 1 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas).

Masalah perumusan Kompetensi Inti (KI) yang tidak mengacu kemana- kemana akan selalu menyulitkan rumusan tolok ukurnya.

  • Penjurusan di kelas X SMA mensyaratkan basic knowledge yang kuat. Pembelajaran IPA Terpadu dan IPS Terpadu di SMP sama sekali tidak mengacu pada pendasaran ilmu yang berkelanjutan. Apalagi penghapusan pembelajaran IPA di Kelas 1, 2 dan 3 SD, disamping melanggar UU, juga mengacaukan hakekat IPA (sains) sebagai ilmu pengetahuan yang harus dipelajari tersendiri untuk memberi landasan berpikir kritis dan solutif.
  • Nawa Cita No.5 dan SDGs No.4 memfatwakan perbaikan kualitas pendidikan nasional, yang hanya dimungkinkan bila kita menambahkan materi yang hilang dalam kurikulum kita
  • Revisi Kurikulum 2013 harus dijalankan seturut amanat Pasal 36 ayat 2 dan Pasal 38 ayat 2 UU No.20 Tahun 2003 yang dijabarkan dalam Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 : “Setiap sekolah dan daerah berhak membuat silabus sesuai kondisi daerah”. Hal ini merupakan pengakuan atas otonomi pendidikan (otonomi guru dan otonomi sekolah) yang juga diusung Kurikulum 2006 sebagaimana ditunjukkan dalam Pasal 19 ayat 3, Pasal 20, dan Pasal 52 ayat 1 butir (a) PP No.19 Tahun 2005
  • Nawa Cita No.8 mengharuskan jajaran birokrat Kemdikbud menafsir ulang arti Pasal 94 b PP No.32 Tahun 2013 dan Pasal 4 Permendikbud No.160 Tahun 2014, mengingat begitu banyaknya inkonsistensi dalam dasar hukum Kurikulum 2013 dan revisinya.
  • Dua proyek besar Kemdikbud yaitu Proyek Literasi Sekolah sebagai Penumbuh Budi Pekerti yang dituangkan dalam Permendikbud No.23 Tahun 2015 dan Proyek Guru Pembelajar (Guru melek informasi melalui internet) sama sekali tidak diperlukan bila Kemdikbud kembali menggunakan Kurikulum 2006

Kembali ke Kurikulum 2006 merupakan jalan termurah dan termudah untuk memenuhi road map pendidikan kita menuju era globalisasi dan upaya peningkatan kualitas pendidikan kita seturut Nawa Cita No.5 dan SDGs No.4

Ikuti tulisan menarik Wendie Razif Soetikno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB