x

Presiden ke-3 Republik Indonesia, BJ Habibie dan produser film Manoj Punjabi bersama sejumlah pereran film Rudy Habibie berpose bersama jelang syuting film tersebut di Jakarta, 24 Maret 2016. TEMPO/Nurdiansah

Iklan

Silmy Karim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Eyang Habibie dan Arah Rancang-bangun Teknologi Pindad

Habibie mewanti-wanti agar kami jangan terlena dan merasa segala hal A to Z bisa dikerjakan sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sore Bersama Eyang Habibie

Lebaran 1437 H kali ini terasa istimewa. Presiden ketiga Republik Indonesia B.J. Habibie, yang belakangan ini getol minta dipanggil "Eyang", membuka pintu rumahnya yang asri di kawasan Sersan Bajuri, Bandung, untuk kami, para pelaku BUMN Industri Strategis (BUMNIS). Eyang datang dengan mindset dan spirit layaknya si Rudy muda, yang pada 1950-an menjejakkan kakinya di Aachen, Jerman, untuk belajar menjadi perancang pesawat terbang buatan Indonesia, "Badan saya boleh tua, tapi jiwa dan semangat saya tetap muda. Di sisa usia ini, saya harus tetap menjadi inspirasi yang menggerakkan perubahan di Tanah Air bagi anak dan cucu kita semua," katanya.

Itulah Habibie. Tetap dengan gaya bicara dan gesture yang khas, dua bola matanya yang ekspresif, juga kumis tipisnya. "Menu utama" sore itu sejatinya bukanlah sederet penganan dan minuman yang menjadi suguhan, melainkan saat Habibie memulai acara dengan peringatan yang kerap ia ulang-ulang: "Kita jangan mengandalkan kekayaan alam semata. Bangsa yang besar ini harus mampu membangun teknologi dan mandiri agar tercapai nilai tambah untuk kesejahteraan anak negeri."

Kami pun dibawanya ke khazanah Eropa, yang belakangan ini mengalami gejolak ekonomi luar biasa. Ia sebutkan bahwa Yunani, Spanyol, dan Portugal mengalami tingkat pengangguran cukup serius. Bandingkan dengan Jerman, dengan sekitar 1,1 juta imigran terdidik yang sebagian besar menetap di sana karena adanya proses penciptaan nilai tambah melalui inovasi dan rancang-bangun teknologi yang bisa mereka ekspor ke seluruh dunia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kekhawatiran di atas pun berlaku untuk Indonesia. "Kita ini memiliki penduduk 250 juta jiwa. Mesti ada grand strategy dengan visi jangka panjang untuk bisa memperkuat kemandirian teknologi dan industri yang berdampak pemerataan kesejahteraan bangsa kita."

Pemerataan kesejahteraan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ini pekerjaan raksasa. Habibie menuturkan, ia benar-benar mengalami proses penyerapan nilai serta indoktrinasi dari pikiran-pikiran besar Soekarno agar Indonesia bisa menjadi bangsa yang mandiri dan sejahtera. Dalam konteks penguasaan teknologi ini, ia pun hakulyakin dapat menerjemahkan visi besar sang Proklamator.

Caranya? Kami pun mencoba menimpali beberapa pikiran strategisnya. Eyang membuka resepnya: penciptaan lapangan kerja melalui man hours, yang timbul dari proses kreasi dan pengembangan teknologi tersebut. Namun Eyang mewanti-wanti agar kami jangan terlena dan merasa segala hal A to Z bisa dikerjakan sendiri. "Bagi pekerjaan ke perusahaan lain di Tanah Air."

Jadi, di mata Habibie, BUMNIS, seperti Pindad, PAL, dan Dirgantara Indonesia, sebaiknya berfokus pada desain, rancang-bangun teknologi, dan sistem integrasinya. Proses manufaktur dan pekerjaan fisik dari pembuatan sebuah rancang-bangun teknologi bisa mengandalkan perusahaan lain di dalam negeri yang kita tuntun untuk bisa deliver sesuai dengan desain BUMNIS sebagai lead integrator-nya.

Bahkan, dalam proses perumusan transfer teknologi, jika bermitra dengan perusahaan global pun, mesti dipastikan dan dijamin adanya kesempatan yang diberikan kepada putra-putri terbaik Indonesia untuk bisa berpartisipasi. "Saya tidak bicara siapa yang memiliki perusahaan. Yang lebih penting untuk kita pelajari dan kuasai adalah proses pengembangan teknologi tersebut di dalam negeri."

Dalam hal pengadaan alat utama sistem persenjataan, misalnya, Eyang menilai Indonesia mesti lebih percaya pada kemampuan rancang-bangun, riset, dan pengembangan teknologi alutsista yang dikembangkan di Tanah Air. "Perlu waktu memang, tapi mesti dimulai dan tidak boleh berhenti."

Dalam konteks Pindad, sebagai pengembang matra darat dalam strategi pertahanan nasional, Eyang mendorong lahirnya tank-tank baru. "Jangan beli barang bekas, ya. Bikin sendiri, kuasai teknologi terbaru untuk melahirkan mesin perang yang lebih cocok untuk kondisi alam Indonesia." Eyang mengkritik keras pembelian tank, yang salah satu alasannya karena negara tetangga sudah memiliki sejumlah tank yang sama. Ia mengingatkan bahwa anggaran yang dibelanjakan pemerintah untuk alutsista dari Eropa bisa dipakai untuk membangun industri pertahanan dalam negeri.

Habibie memahami ada tarik-menarik. Pendu­lum­nya selalu berada di antara pilihan jangka pendek dan visi jangka panjang. Menurut Eyang, kepentingan jangka pendek ini kerap melekat dengan pencari rente dan komisi. "Yang kalian hadapi dan yang kalian lawan masih sama dengan yang Eyang alami. Jangan menyerah, bangkit untuk masa depan Indonesia yang mandiri."

Di titik ini, mendadak raut muka Eyang sedikit keruh ketika bicara soal nasib BUMNIS pada pengujung krisis moneter 1997. Dulu, ada menteri yang sudah tidak mau lagi mendengar sejuta alasan rasional yang mendasari perlunya Indonesia memiliki kemandirian industri strategis. "Dia hanya mendengar apa yang didiktekan IMF. Padahal, akibatnya kita mengalami kelambatan penguasaan teknologi dan industri. Beberapa orang terbaik kita pergi ke luar negeri."

Mendiang Ainun, sebagai pengisi sakit hatinya, membuat Eyang tenang dan tetap berpikir konstruktif. "Ainun memiliki wisdom. Dia bilang, 'Sudahlah, Rudy, kamu bisa bangun lagi dan bisa kembali berkontribusi dari berbagai aspek untuk bangsa Indonesia. Jangan menyerah untuk Indonesia.'"

Habibie pun menjalankan saran pujaan hatinya. Semangat untuk berinovasi tetap terjaga. Hasil perjuangan inilah yang belakangan menghadirkan rancangan terbaru, yakni R80, pesawat penumpang berkapasitas 80-90 orang dengan jarak jelajah hingga 1.000 mil.

Di ujung percakapan, kami pun tergelitik untuk bertanya, bukankah dulu Eyang juga di pucuk pimpinan negeri? Apa kendalanya membangun kemandirian industri strategis? Habibie tersenyum lebar. Ia tahu arah pertanyaan tersebut, yang tanpa ragu dijawabnya: "Kita tidak cuma bisa mengandalkan seorang presiden. Hari ini, misalnya, kita mengeluh cuma ke Presiden Jokowi. Bukan itu saja solusinya. Penguasaan teknologi dan kemandirian industri strategis ini persoalan bersama. Diperlukan lebih banyak 'Jokowi' dan 'Habibie' lain."

Sore hari itu, udara dingin mulai membekap kawasan di atas Bandung tersebut. Kami mohon diri kepada sosok senior yang tidak kunjung menyerah untuk membangun negerinya sebagai kampiun teknologi dan industri itu.

Silmy Karim, Direktur Utama PT Pindad

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 29 Juli 2016

Ikuti tulisan menarik Silmy Karim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB