x

Iklan

Ahmad Yusdi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Freddy Budiman itu Bandit, Bukan Syuhada

Pengakuan Freddy Budiman mengejutkan publik. Gembong narkoba yang telah dieksekusi mati itu, konon selama ini telah menyetor 450 miliar ke BNN. Benarkah?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa yang ada dalam pikiran anda, ketika menyaksikan ratusan pelayat mengantar jenazah gembong narkoba yang dieksekusi mati layaknya mengantar jenazah syuhada ke liang lahat? Apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada bangsa ini? Sedang sakitkah? Bagaimana seorang pelaku kejahatan yang menjual 1,4 juta butir ekstasi itu mendapatkan penghormatan yang demikian besar?

Freddy Budiman, siapa yang tak kenal nama ini. Sosoknya pernah menggemparkan dunia kejahatan di Indonesia. Ia ditahan di LP Cipinang sejak 1997 dalam kasus narkoba, nama Freddy pun menjadi langganan keluar-masuk penjara dalam kasus serupa. Pada 2009, ia ditangkap memiliki 500 gram sabu-sabu dan divonis 3 tahun 4 bulan penjara. Kemudian pada 2011, kembali ia ditangkap karena memiliki ratusan gram sabu-sabu dan bahan pembuat narkoba jenis ekstasi.

Walaupun berada di dalam penjara, penjahat satu ini terkenal sangat licin. Aparat mengendus ada yang berbeda dengan kamar penjara Freddy di LP Cipinang. Setelah digerebek, terungkap Freddy membuat pil ekstasi di dalam kamarnya. Berbagai perkakas dan bahan baku sabu ia dapatkan dari luar dengan menyuap para sipir penjara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahkan, dari dalam lapas pun Freddy masih bisa mengendalikan bisnis narkobanya hingga ke luar negeri. Dia melakukan aksi kejahatannya bersama Chandra Halim, mengimpor 1,4 juta pil ekstasi dari Hong Kong. Pil haram tersebut dikirim dari Cina pada 28 April 2012, tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 8 Mei 2012. Barang haram itu dibungkus dalam paket teh Cina sebanyak 12 kardus cokelat. Diduga, apabila paket ini lolos, dia bisa meraup keuntungan senilai Rp 45 miliar.

Setelah kasus itu terbongkar, Freddy dipindahkan ke Pulau Nusakambangan. Tapi lagi-lagi Freddy tidak kapok dan terus mengendalikan bisnis narkobanya. Bermodal telpon seluler, Freddy mengoperasikan jaringannya dengan aset mencapai miliaran rupiah.

Freddy Budiman akhirnya dijatuhi vonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar), Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dan tingkat kasasi. Berulang kali mengajukan banding dan peninjauan kembali, upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali telah diberikan, tetapi MA menolaknya. Akhirnya Freddy pun harus menghadapi eksekusi mati pada Jumat tengah malam, 29 Juli, atau Sabtu dinihari, 30 Juli 2016.

Akan tetapi, sehari jelang eksekusi matinya, publik dikejutkan dengan pengakuan Freddy Budiman yang diunggah Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) di jejaring sosial Facebook, tanggal 28 Juli 2016 jam 20.22.

Dalam unggahan yang merupakan percakapan antara koordinator KontraS, Haris Azhar dengan Freddy Budiman itu, Haris mengungkap rahasia bisnis narkoba Freddy saat mengunjunginya di Lapas Nusa Kambangan pada 2014 lalu.

Kepada Haris, Freddy mengaku bahwa ia bukan bandar, melainkan operator penyelundupan skala besar. Bosnya ada di Cina. Setiap kali akan membawa barang masuk, dia lebih dulu menghubungi polisi, Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Bea dan Cukai untuk kongkalikong. Bahkan, Freddy juga menjelaskan bahwa ia telah memberi uang Rp 450 miliar ke BNN dan Rp 90 milyar ke pejabat tertentu di Mabes Polri.

Dan yang lebih mengejutkan lagi dalam pengakuanya itu, Freddy juga menceritakan dalam aksi kejahatannya ia menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral TNI tersebut duduk di sampingnya ketika ia menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba.

Ini petikan percakapan menghebohkan antara Haris dengan Freddy yang diunggah di Facebook itu:

Cerita Busuk dari seorang Bandit

Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014)

“Pak Haris, saya bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum mati karena kejahatan saya, saya tahu, resiko kejahata yang saya lakukan. Tetapi saya juga kecewa dengan para pejabat dan penegak hukumnya.

“Saya bukan bandar, saya adalah operator penyeludupan narkoba skala besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (bos saya) ada di Cina. Kalau saya ingin menyeludupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang-orang yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga). Menurut Pak Haris berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang pasarannya 200.000 – 300.000 itu?”

Saya menjawab 50.000.

Freddy langsung menjawab: “Salah. Harganya hanya 5000 perak keluar dari pabrik di Cina. Makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya. Ketika saya telepon si pihak tertentu, ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang nitip 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang tidak. Selalu saya okekan. Kenapa Pak Haris?”

Freddy menjawab sendiri. “Karena saya bisa dapat per butir 200.000. Jadi kalau hanya membagi rejeki 10.000- 30.000 ke masing-masing pihak di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah. Saya hanya butuh 10 miliar, barang saya datang. Dari keuntungan penjualan, saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu.”

Freddy melanjutkan ceritanya. “Para polisi ini juga menunjukkan sikap main di berbagai kaki. Ketika saya bawa itu barang, saya ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya disita. Tapi dari informan saya, bahan dari sitaan itu juga dijual bebas. Saya jadi dipertanyakan oleh bos saya (yang di Cina). ‘Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?’”

Menurut Freddy, “Saya tau pak, setiap pabrik yang bikin narkoba, punya ciri masing-masing, mulai bentuk, warna, rasa. Jadi kalau barang saya dijual, saya tahu, dan itu ditemukan oleh jaringan saya di lapangan.”

Freddy melanjutkan lagi. “Dan kenapa hanya saya yang dibongkar? Kemana orang-orang itu? Dalam hitungan saya, selama beberapa tahun kerja menyeludupkan narkoba, saya sudah memberi uang 450 Miliar ke BNN. Saya sudah kasih 90 Milyar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun.

“Saya prihatin dengan pejabat yang seperti ini. Ketika saya ditangkap, saya diminta untuk mengaku dan menceritakan dimana dan siapa bandarnya. Saya bilang, investor saya anak salah satu pejabat tinggi di Korea (saya kurang paham, korut apa korsel- HA). Saya siap nunjukin dimana pabriknya. Dan saya pun berangkat dengan petugas BNN (tidak jelas satu atau dua orang). Kami pergi ke Cina, sampai ke depan pabriknya. Lalu saya bilang kepada petugas BNN, mau ngapain lagi sekarang? Dan akhirnya mereka tidak tahu, sehingga kami pun kembali.

“Saya selalu kooperatif dengan petugas penegak hukum. Kalau ingin bongkar, ayo bongkar. Tapi kooperatif-nya saya dimanfaatkan oleh mereka. Waktu saya dikatakan kabur, sebetulnya saya bukan kabur. Ketika di tahanan, saya didatangi polisi dan ditawari kabur, padahal saya tidak ingin kabur, karena dari dalam penjara pun saya bisa mengendalikan bisnis saya. Tapi saya tahu polisi tersebut butuh uang, jadi saya terima aja. Tapi saya bilang ke dia kalau saya tidak punya uang. Lalu polisi itu mencari pinjaman uang kira-kira 1 miliar dari harga yang disepakati 2 miliar. Lalu saya pun keluar. Ketika saya keluar, saya berikan janji setengahnya lagi yang saya bayar. Tapi beberapa hari kemudian saya ditangkap lagi. Saya paham bahwa saya ditangkap lagi, karena dari awal saya paham dia hanya akan memeras saya.”

Freddy juga mengekspresikan bahwa dia kasihan dan tidak terima jika orang-orang kecil, seperti supir truk yang membawa kontainer narkoba yang justru dihukum, bukan si petinggi-petinggi yang melindungi.

Kemudian saya bertanya ke Freddy dimana saya bisa dapat cerita ini? Kenapa Anda tidak bongkar cerita ini? Lalu Freddy menjawab:

“Saya sudah cerita ke lawyer saya, kalau saya mau bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak Haris bisa menceritakan ke publik luas. Saya siap dihukum mati, tapi saya prihatin dengan kondisi penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca saja di pledoi saya di pengadilan, seperti saya sampaikan di sana.”

Lalu saya pun mencari pledoi Freddy Budiman, tetapi pledoi tersebut tidak ada di website Mahkamah Agung. Yang ada hanya putusan yang tercantum di website tersebut. Putusan tersebut juga tidak mencantumkan informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat negara dalam kasusnya.

Kami di KontraS mencoba mencari kontak pengacara Freddy, tetapi menariknya, dengan begitu kayanya informasi di internet, tidak ada satu pun informasi yang mencantumkan dimana dan siapa pengacara Freddy. Dan kami gagal menemui pengacara Freddy untuk mencari informasi yang disampaikan, apakah masuk ke berkas Freddy Budiman sehingga bisa kami mintakan informasi perkembangan kasus tersebut.***

Freddie memang layak dihukum mati atas kejahatannya. Walaupun ia membuka tabir kebusukan aparat penegak hukum di negeri ini, ia tetaplah seorang bandit, bukan syuhada.

Apabila benar cerita busuk Haris Azhar ini, negara harus segera menyelidiki dan menghukum mati oknum BNN, oknum pejabat di Mabes Polri, dan oknum jenderal bintang dua TNI yang selama ini membantu dan menerima ratusan miliar dari bisnis kejahatan Freddy itu.

Negara tidak boleh kalah oleh bandar narkoba!

Foto: freddy-budiman-Khusnul-Jawa-Pos-696x355

Ikuti tulisan menarik Ahmad Yusdi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler