x

Iklan

Kamaruddin Azis

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Nuraeni dan Transformasi Sosial di Pesisir

Perempuan inspiratif dari Cambaya Makassar ini berhasil keluar dari persoalan hidup dan menemukan cara membantu perempuan-perempuan di pesisir Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Upaya transformasi sosial tak seperti membalik telapak tangan. Ada alur spirit yang harus dipantik dan diperjuangkan, dari kehendak yang datang dari dalam diri untuk mengubah lingkungan sekitar. Seseorang yang mampu mengayun langkah dari nirdaya menjadi luar biasa hingga memberdayakan ribuan perempuan pesisir Indonesia.

Kiprah seseorang itu dapat disimak dari narasi hidup Nuraeni, orang tua tunggal bagi tiga anak yang sukses keluar dari belitan persoalan hingga menjadi inspirasi. Nuraeni yang bermakna cahaya, pengetahuan dan aura keindahan perempuan yang mau berbagi dengan ribuan perempuan lainnya, di pesisir dan pulau-pulau Indonesia.

***

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Siapa Nuraeni?

Hajjah Nurmiah ingat persis raut wajah Nuraeni kala ditinggal mati suaminya, Rusdi Ambo karena serangan jantung pada 2004. Bersama tiga anaknya yang masih belia, Nuraeni terlihat tertekan dan kelimpungan. “Masih kecil anaknya, kayak mau stres setelah suaminya meninggal,” ungkap Nurmiah, tetangga Nuraeni. Nurmiah masih ingat saat Nuraeni berkata—siapalah  yang membiayai ketiga anak saya ini ajji.

Nuraeni lahir dan besar di Kampung Pattingalloang, pesisir utara Makassar, putri pasangan Abdul Latif dan ibu Haji Pandang. “Bapak saya Bugis Maros-Pangkep, saya bersaudara enam orang, lima lainnya ada di Pangkep dan Cambaya,” kata alumni Universitas Hasanuddin angkatan 1987 jurusan Sospol dan juga lumni SMA I Bone saat ditemui pada 13 Juli 2016.

Nuraeni adalah perempuan inspiratif dari Cambaya. Dia pendiri Yayasan Fatima Az-Zahra pada tahun 2007. Pemilihan nama Fatima Az-zahra diilhami oleh nama putri Nabi Muhammad SAW. Putri yang oleh Rasulullah disebut sebagai—bidadari  yang menyerupai manusia.

Butuh waktu tiga tahun untuk Nuraeni bisa kembali bergairah menjalani kehidupan, tiga tahun setelah suaminya meninggal. Bersama Fatima Az-zahra, Nuraeni menjadi rujukan banyak pihak termasuk Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Peternakan (KP3) Kota Makassar. Nuraeni ahli betul dalam pengolahan produk perikanan dan telah mengangkat pendapatan kelompoknya. Saat ini, omzetnya tidak kurang Rp, 100 juta perbulan.

Perempuan yang lahir pada 6 Agustus 1974 ini sukses keluar dari belitan ekonomi dan status orang tua tunggal. Dia juga tampil sebagai pembaharu dan pendorong semangat berusaha bagi kaum perempuan. Nuraeni sadar betul akan derita kehidupan kaum perempuan terutama di wilayah pesisir, perempuan nirdaya dan perlu diangkat derajat sosial dan ekonominya.

Dengan unit produksi bernama Sennang, Nuraeni bersama pengurus seperti Husnawaty, Syamsiah dan Anita Satyawaty, terus giat membantu anggota kelompoknya untuk memproduksi pauk atau kudapan dari hasil laut seperti bandeng tanpa tulang, abon ikan tuna, kerupuk hingga kue-kue tradisional.  Menurut Nuraeni perempuan-perempuan pesisir Cambaya yang bernaung di kelompoknya memproduksi hingga ratusan kilogram abon dan ribuan ekor bandeng tanpa tulang.

Dengan Sennang, aspek pemasaran, hubungan masyarakat, produksi, pengembangan sumber daya manusia, pemuda hingga pembinaan orang tua lanjut usia menjadi layanannya. Kelompok ini pula yang didukung oleh Pertamina.

***

Tanggal 13 Juli 2016. Bersama saya ada Wahyu Candra pewarta dari salah satu portal berita lingkungan, Dr. Andi Tamsil dan Dr. Rustam, keduanya konsultan di proyek Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (CCDP) Kota Makassar. Nuraeni menerima kami di bangunan yang disebutnya rumah produksi. Bangunan dengan dua lantai itu berisi lemari etalase produk perikanan, buku-buku bacaan dan dokumen proposal dan laporan, freezer, dan beberapa perkakas rumah tangga. Luas bangunan itu 4x8 meter, kalau dirupiahkan nilainya mencapai tidak kurang 250juta.

“Ini tempat produksi sekaligus tempat sekolah perempuan dibiayai oleh Bank Mandiri. Tanahnya milik IWAPI yang dihibahkan ke kelompok,” terang Nuraeni, ibu dari Dinur usia 21 tahun dan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Makassar, Haidi juga kuliah sementara anak ketiganya Rusil, sekolah di pesantren.

 “Ini parut untuk menyiapkan bahan otak-otak tenggiri, produk unggulan kami dan dikirim ke rumah makan Bambu Kuning di Jalan Andalas. Sudah terhubung selama tiga tahun,” katanya menjelaskan alat yang ada di dalam bangunan itu. Selain otak-otak. Nureani dan kelompoknya juga memproduksi abon tuna yang dijual ke toko ole-ole yaitu Toko Unggul di jalan Somba Opu serta Toko Satu Sama, di Jalan Landak, Makassar.

Titik Balik

“Tahulah pak, saat suami meninggal saya sempat bingung juga. Bagaimana ini, mana anak-anak masih kecil juga,” katanya melanjutkan obrolan kami.

“Pertama kali tertarik usaha seperti ini setelah saya datang ke kantor Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Peternakan (DKP3) Makassar. Saya sampaikan apami ini yang bisa dilakukan kasihan,” katanya datar. Matanya berkaca-kaca saat menyebutkan ini.

Menurut Eni, begitu ia kerap disapa, saat pertama datang, dia belum mendapat jawaban pasti tentang kegiatan produksi tetapi dijanji tahun berikutnya. Dia hanya ikut pelatihan pengolahan produk perikanan.

“Saya beruntung bertemu orang dinas seperti Ibu Asmi, Ibu Rahma sehingga dapat kesempatan ikut kegiatan pengolahan seperti sekarang ini,” puji perempuan yang telah berkeliling Indonesia melatih ibu-ibu atau kaum perempuan mengolah hasil perikanan ini dalam 5 tahun terakhir.

“Saya melatih usaha pengolahan ini paling jauh di Raja Ampat, di Kampung Limalas. Waktu itu diajak oleh TNC,” kenangnya. Dari Papua Nuraeni terkesan dengan kesungguhan kelompok perempuan dan warga di sana yang ingin maju.

“Satu minggu di sana, dari Sorong naik speedboat selama 5 jam. Betul-betul orang Papua, alat tidak ada, listrik tidak ada, lalu kita perkuat, untuk bikin abon mereka pakai dongkrak mobil dan dikasih papan, jadilah abon. Dapat idenya dari mereka sendiri. Bagaimana kalau pakai dongkrak dan papan dan memang betul, abonnya cepat kering,” terang Eni tentang kesannya sepulang dari Raja Ampat. Ada senyum dari lekuk bibirnya.

Yang dilakukannya di Raja Ampat adalah melatih kaum perempuan membuat nugget, bakso ikan. Seingat Eni, sebelumnya,  ada 10 orang dari Raja Ampat yang berkunjung ke tempatnya di Cambaya. Kelompok yang datang dari Raja Ampat ke tempat Nuraeni bernama Embun Pagi dari Kampung Limalas, Misool Timur, Raja Ampat Selatan. Mereka belajar memproduksi abon ikan tenggiri dan difasilitasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat melalui Unit Pelaksana Teknis Dinas Kawasan Konservasi Perairan Daerah Raja Ampat bersama The Nature Conservancy (TNC).

Tentang titik-titik yang dikunjunginya selain Raja Ampat, Nuraeni telah melatih perempuan nelayan di sekitar tempat tinggalnya, di Kelurahan Cambaya, di Lakkang, di Tanjung Merdeka. Lokasi-lokasi ini adalah sasaran lokasi Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir yang dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan atas sokongan International Fund for Agricultural Development (IFAD). Ada 15 kelurahan yang menjadi lokasi program ini dan hampir semuanya telah diperkuat kapasitasnya melalui pelatihan atau workshop oleh Nuraeni.

“Yang mengesankan adalah melatih di Cambaya, di sekitar sini, para perempuan yang tidak punya usaha lalu dimotivasi hingga tergerak mau bekerja,” kata perempuan yang mengaku keahliannya ini terus diasah karena membaca buku. Keahliannya mengolah produk perikanan seperti abon ikan, bakso ikan, nugget, otak-otak tenggiri, serta ikan bandeng tanpa duri selain dari pelatihan juga karena inspirasi dari buku.

“Bulan Agustus ini saya diundang lagi ke Raja Ampat,” katanya. Ada senyum tersungging.

Selain Raja Ampat, Nuraeni pernah melatih di Kota Pare-pare dan Gorontalo, diundang oleh tim kerja CCDP di sana. “Sudah keliling Nusantara, sampai Medan, Aceh, Pekanbaru bersama Tupperware SheCan!,” kata perempuan penerima penghargaan Tupperware SheCAN! Award 2011 sembari tersenyum. Dia didapuk atas dedikasinya memberdayakan perempuan di kampung nelayan. Capaian yang menurutnya dimulai dengan serba sulit.  

Peduli perempuan

Hari-hari Nuraeni ke depan nampaknya akan sibuk membagikan ilmunya, pengetahuannya dan pengalamannya keluar dari persoalan sosial dan ekonomi. Disebut sosial sebab niat mulianya adalah melepaskan perempuan pesisir dari jeratan tengkulak yang menguras isi laci-laci usaha nelayan kecil termasuk perempuan. Niat yang mendapat tantangan hebat dari tengkulak itu, alasannya Nuraeni telah merusak sistem sosial ekonomi yang telah lama bercokol di pesisir Makassar.

Untuk meningkatkan kapasitasnya sebagai penganjur perubahan bagi perempuan, Nuraeni tak hilang ide, dia bergabung dengan sekolah politik perempuan. Dia mendedikasikan rumah produksi itu untuk menjadi tempat belajar bagi perempuan-perempuan pesisir.

“Biar perempuan kuat dan maju toh,” ujar tulang punggung sekolah Pelopor Keadilan Baji Pa’mai yang didukung oleh LBH-APIK Makassar, sebuah organisasi pengayom dan pemberdayaan hukum perempuan.

Fungsi dan komitmen Nuraeni dalam pemberdayaan perempuan pesisir itu telah menyita perhatian banyak sponsor seperti Pertamina dan Bank Mandiri. Para sponsor ini menyiapkan sarana prasarana seperti freezer tempat dia menyimpan bandeng tanpa tulang, bakso dan produk olahannya. Bukan hanya itu, oleh Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI), rumah produksinya telah dijadikan pusat pelatihan dan pemberdayaan pesisir. Demikian pula Kementerian Kelautan dan Perikanan, menjadikan lokasinya sebagai pusat pelatihan mandiri kelautan dan perikanan (P2MKP) Fatima Az-zahra Kota Makassar

Saat kami datang, rumah keluarga Nuraeni sedang dipugar, rumah seluas 18 x 20 meter peninggalan orang tuanya siap dibangun atas jerih payahnya selama ini. Yang mengesankan, Nuraeni tak menikmati hasil perjuangannya itu sendirian, dia juga mendedikasikan waktu dan uangnya untuk membantu perempuan lanjut usia atau keluarga nelayan yang meninggal dunia.

“Kelompok kami juga membantu lansia, kalau ada anggota keluarga nelayan meninggal kita yang siapkan kain kafannya,” ujar penerima Danamon Award, penghargaan British Council hingga Nobel (domestik) pembangunan bersama Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah. Dia menerima penghargaan Nobel ini di Hotel Clarion Makassar.

Kiprah Nuraeni menjadi unik dan menarik, selain karena berbekal pengetahuan sarjana Sosial Politik, dia juga memperluas cakrawalanya pada pemahaman dan pengorganisasian perempuan di pesisir.

“Saat ini banyak kekerasan seksual di pesisir, ada penelantaran lansia, pelayanan publik yang buruk. Tidak bisa hanya satu saja yang diselesaikan jadi harus didoorng perubahan pola pikir, Perempuan masih mengalami banyak kasus seperti itu, mana suami lumpuh layu karena penyelaman misalnya,” paparnya.

Kiprah Nuraeni tidak hanya berdampak pada peningkatan ekonomi perempuan namun sekaligus meningkatkan citra positif wanita di lingkungan yang didominasi pria. Wanita yang tangguh dan tahan banting. Inilah yang beda.

***

Nuraeni tak lupa atas fasilitasi yang diberikan oleh DKP3 Kota Makassar. Karenanya dia dengan sukarela selalu siap untuk membagikan ilmunya, menjalarkan semangat perubahan di lingkar perempuan pesisir. Selain pelatihan-pelatihan seperti disebutkan di atas, Nuraeni juga menjadikan Koperasi Fatima Az-zahra sebagai muara kelompok-kelompok binaan CCDP-IFAD Kota Makassar.

“Kami sangat terbuka untuk dijadikan mitra kelompok-kelompok itu dan sedia berbagi pengetahuan, apa saja,” katanya dengan mata berbinar.

Sebelum kami mohon diri, Nuraeni memberi pernyataan pamungkas. “Melalui pelatihan kerja yang diberikan kepada wanita, ini cukup efektif untuk meningkatkan rasa percaya diri mereka. Mereka mampu bersaing dengan kaum pria. Dengan keahlian serta kontribusi ekonomi yang disumbangkan para wanita tersebut kaum pria akan lebih bersimpati dan menghormati. Juga tidak lagi menganggap remeh kaum wanita,” kuncinya.

Betul, hingga kini, Nuraeni telah mendarmabaktikan kapasitasnya untuk kaumnya, untuk kelompok-kelompok dan komunitas di sekitarnya. Bukan hanya di Cambaya Makassar, tetapi dari Raja Ampat di Papua sampai Aceh di Sumatera. Sebuah transformasi sosial yang luar biasa dari perempuan yang sempat dirundung duka mendalam karena kehilangan suami.

Inspiratif bukan?

 

Tebet, 31 Juli 2016

Ikuti tulisan menarik Kamaruddin Azis lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu