x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menumbuhkan Habitat bagi Produk

Produk memerlukan habitat yang baik agar dapat meraih popularitas di tengah konsumen.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ketika Hari Raya Ied Fitri tiba, keluarga Indonesia sibuk memasak ketupat, opor ayam, sambal kentang hati, serta menggoreng krupuk udang dan emping. Di Tanah Parahyangan, bila keluarga besar ingin makan siang bersama di tempat tertentu atau biasa disebut bortram, hidangan yang disiapkan lazimnya nasi liwet, ikan mas goreng, ikan asin, ayam goreng, lalapan dan sambal, serta krupuk.

Ketupat dan opor ayam jarang disajikan saat makan sehari-hari, begitu pula dengan nasi liwet. Lebaran membuat orang langsung teringat kepada ketupat dan opor, begitu pun bortram membuat orang terpikir nasi liwet dan ikan asin. Lebaran dan bortram dapat dianggap sebagai habitat bagi ketupat, opor, dan nasi liwet.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam kajian biologi, habitat merupakan lingkungan alami yang berisi semua unsur yang diperlukan oleh organisme untuk dapat bertahan hidup. Jonah Berger, guru besar pemasaran di Wharton School, University of Pennsylvania, memakainya dalam konteks yang berbeda. Kata Berger, mirip dengan organisme, produk dan gagasan juga memiliki habitat atau seperangkat pemicu yang menyebabkan orang memikirkannya.

Gudeg punya habitat kota Yogyakarta, seperti halnya pasta memiliki habitat Itali. Tautan antara gudeg dan Yogyakarta demikian kuat, sehingga tidak ada kota lain yang memperoleh julukan Kota Gudeg, meskipun gudeg dapat dijumpai pula di kota-kota lain. Di Yogyakartalah gudeg menemukan habitat yang tepat, sebab produk makanan atau kuliner tumbuh dan berkembang sesuai dengan kultur setempat.

Habitat sangat penting bagi kesuburan pertumbuhan suatu produk atau gagasan. Bahkan, menurut Berger, habitatlah yang mendorong peningkatan popularitas suatu produk. Bandung, umpamanya, sangat bagus menjadi habitat pertumbuhan bisnis busana dan kuliner. Ketika disebut Bandung, orang langsung teringat kepada dua hal itu.

Tentu saja, itu bukan pertautan yang tiba-tiba, melainkan sudah berlangsung lama. Prinsip serupa dapat digunakan untuk hal lain yang berbeda. Kita dapat menumbuhkan habitat untuk suatu gagasan atau produk dengan menciptakan tautan baru dengan memberi stimulus pada lingkungan. Apa yang semula tidak bertautan, dengan menstimulasinya—dalam hal ini memasangkannya berulang-ulang—maka akan terbentuk tautan.

Di Bandung, bila udara dingin tengah menyapu malam, orang teringat kepada bandrek atau bajigur—minuman hangat yang dapat menolong mengusir sejenak rasa dingin. Berikutnya, begitu minum bajigur atau bandrek, ada pesan yang tersampaikan kepada kita untuk mencari kudapan pasangannya. Dulu, orang terbiasa minum bajigur atau bandrek dengan kacang rebus, ubi rebus, atau pisang rebus. Seiring waktu, ada kudapan lain yang menemani minuman ini; ada nanas goreng dan nangka goreng—inilah tautan-tautan baru yang muncul kemudian. Stimulasi memantik kreativitas yang mendorong kelahiran produk baru.

Kehadiran tautan-tautan baru ini menjadikan bandrek dan bajigur semakin populer sebagai minuman pengusir dingin. Memang ada kopi, tapi bandrek dan bajigur menawarkan cita rasa yang berbeda. Ada rasa pedas pada bandrek dan ada rasa santan dan gula merah pada bajigur. Sebagai habitat, warung-warung bandrek menjadi alternatif di tengah maraknya kedai-kedai kopi, sebab bandrek telah mengirim pesan kepada kita manakala udara dingin menyapa: “Wah, dingin-dingin begini, enaknya minum bandrek, apa lagi kalau ada nangka goreng.” (Foto ilustrasi: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler