x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Membaca itu Asyik

Membaca sebuah karya akan mengasyikkan bila bukan hanya mencerdaskan otak, tapi juga mengayakan batin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ketika saya membaca The Brief History of Seven Killings karya Marlon James, sangat boleh jadi saya merasakan pengalaman yang berbeda dari Anda saat membaca karya yang sama. Begitu pula tatkala saya membaca Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo, saya mungkin menyerap misteri yang berbeda ketimbang Anda. Sebuah karya, pada akhirnya, dapat melahirkan pembacaan yang beraneka.

Saya membaca sebuah buku dari sudut pandang, pengalaman, dan pengetahuan saya, begitu pula Anda membaca buku yang sama lewat sudut pandang, pengalaman, dan pengetahuan Anda. Lebih dari alasan kognitif, membaca buku—novel, cerita pendek, puisi, bahkan juga sejarah dan sains—melibatkan unsur-unsur lain kemanusiaan kita: emosi, ingatan dan kenangan, serta hasrat. Dalam soal inipun, manusia menyimpan keragaman yang membuahkan keragamaan pengalaman membaca.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila hanya bertumpu pada pikiran sebagai cara memahami sebuah karya, tanpa melibatkan emosi, ingatan, dan kenangan, membaca buku tidak akan menyenangkan. Bahkan, tanpa kesenyawaan dan keterlibatan kita sebagai pembaca, membaca buku tidak akan mengasyikkan. Membaca buku bukanlah pengalaman rasional semata, melainkan juga pengalaman emosional—membuat kita berempati, marah, kesal, gembira, atau bersedih.

Ketika saya membaca The Tao of Physics karya fisikawan Fritjof Capra, saya seolah mengembara di jagat penuh misteri—jagat fisika dan jagat spiritual. Dalam beberapa konteks, pengalaman seperti ini mungkin tidak sepenuhnya kita dapatkan tanpa ikhtiar yang lebih. Misalnya, ketika kita sedang membaca buku teks sains, kendatipun bila kita mampu, kita dapat menemukan keindahan di dalam persamaan-persamaan Maxwell ataupun Boyle Gay-Lussac.

Membaca buku bukanlah perkara rasionalitas semata, sebab akan terasa kering dan kita tak akan menyerap kekayaan yang menguar dari karya itu. Lebih dari mencerdaskan, membaca buku mengayakan batin lewat sensasi-sensasi yang ditangkap lebih dari sekedar melalui indera fisik. Ada keterlibatan yang membangkitkan kesenyawaan kita sebagai pembaca dengan buku yang kita baca.

Masing-masing kita sebagai pembaca, dengan latar belakang yang berbeda-beda sebagai manusia, berpotensi menyerap kekayaan yang menguar dari hasil renungan seorang penulis. Di situlah kekuatan dan kekayaan sebuah buku: mencerahkan batin dan pikiran kita sebagai pembaca secara unik. Pencerahan itu mungkin menguatkan, membuat kita skeptis, atau mengacaukan keyakinan dan pemahaman kita sebelumnya. Inilah barangkali risiko pembacaan yang mungkin kita jumpai.

Mungkin saja membaca karya Haruki Murakami suatu ketika pernah menjadi trend. Sebagian orang bertanya-tanya: mengapa banyak anak muda yang membaca beberapa karya Murakami, nyaris pada saat yang bersamaan? Apakah ini kegemaran baru agar tidak tertinggal dalam percakapan-percakapan? Kecenderungan atau bukan, tidaklah teramat penting. Lebih penting dari itu ialah semakin banyak orang menyukai aktivitas membaca—mula-mula barangkali mengikuti apa yang jadi kegemaran banyak orang, tapi siapa tahu itu membuka jalan bagi kebiasaan membaca yang mengayakan.

Sebagian orang mungkin hanya membaca karya fiksi, sebagian orang lainnya hanya berkutat pada buku-buku sains atau teknologi, lainnya menyukai sejarah dan antropologi, sebagian orang lain melahap semuanya. Tak jadi soal. Lebih penting dari semua itu ialah membaca buku seyogyanya mengayakan kemanusiaan kita. (foto: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler