x

Iklan

bimo wiwoho

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dini

Tidak ada yang berhak menuntut surga, terutama bagi mereka yang belum mendapat restu dari orang-orang di sekitarnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Suatu hari aku bertanya kepada seorang kawan. Tanpa salam ataupun mukadimah.  “Dalam sudut pandang Islam, apa tujuan kita hidup di dunia ini?”

 “Untuk mendapat rida Tuhan, Bim,” jawabnya. 

Dia menjawab dengan mantap. Tanpa berpikir. Tanpa mengira aku memberi pertanyaan seraya melempar jebakan yang tidak kasat mata. Memang tidak ada jebakan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku membalasnya dengan diam. Dia pun tidak menanyakan mengapa aku bertanya demikian tanpa ada basa-basi. Kami tidak lanjut bicara.

Sebetulnya aku ingin menanyakan lebih lanjut perihal jawaban kawanku tersebut. Tetapi, aku lebih suka berburu penafsiran orang lain terlebih dahulu. Lalu, membicarakannya secara objektif dengannya agar tidak ada yang mendominasi pembicaraan.

Niatku untuk memikirkan tujuan hidup setelah mendapat literatur ternyata pupus. Aku dituntut untuk mengolah nalar sedini mungkin, yaitu saat berkendara pulang ke rumah. Mulanya tidak ada niat untuk memikirkan di waktu tersebut. Tetapi, walau bagaimanapun, jalan raya saat jam-jam sibuk mengandung banyak inspirasi. Kadang menyentil kita untuk lekas berpikir. Ya, yang aku maksud adalah tingkah penggunanya. Bukan jalan rayanya.

Seorang manusia yang mengendarai sepeda motor tanpa lampu, menyalipku dari sebelah kiri dengan kecepatan tinggi. Aksinya sungguh berbahaya. Aku kaget bukan kepalang dibuatnya. Bagaimana tidak, aku berkendara di sebelah kiri jalan yang sudah dekat dengan trotoar. Terlebih, aku pun sedang dihanyut lamunan kosong. Parahnya lagi, dia berpakaian rapi seperti ingin menghadiri pengajian yang dipimpinnya. Tentu bukan helm, melainkan peci yang ada di kepalanya. Geram terbit sedikit dalam benak. Mungkin karena aku lebih terbiasa melihat orang berbaju loreng yang bertingkah serupa. Atau mungkin karena aku belum sempat mengucapkan walaikumsalam.

Tingkah dan identitas yang dikenakannya membuatku berpikir konyol. Mungkin, baginya, ngebut itu adalah ibadah. Semakin ngebut, semakin dekat dengan Tuhan. Tetapi, aku perlu berterima kasih kepadanya. Tingkah manusia yang aku tidak tahu di mana dulu dia bersekolah tersebut, juga menggiringku untuk mengingat ucapan Nabi Muhammad.

Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi sesamanya.

Kurang lebih demikian agar mudah dipahami maknanya. Kupikir, ini berkaitan dengan tujuan hidup dalam Islam menurut kawanku tempo hari.

“Apakah pengendara motor yang membahayakan keselamatanku itu berhak atau akan mendapat rida Tuhan?” tanyaku kepada cemberutnya langit yang tampak dari balkon.

Aku tidak menunggu jawaban, karena akan ada saatnya pertanyaanku dijawab. Aku lalu mencoba meraba-raba dengan nalar untuk menjawab pertanyaanku sendiri. Setelah beberapa saat, dengan mantap aku menjawab, “tidak”.

Bagaimana mungkin, seseorang akan mendapat rida Tuhan jika orang-orang di sekitarnya tidak senang dengan perangai dan tingkah lakunya.  Aku berpendapat demikian setelah menjadikan kata-kata Nabi Muhammad sebagai suatu filter untuk mencapai tujuan hidup yang dimaksud kawanku. Dari filter tersebut, aku mendapat semacam syarat. Orang yang akan mendapat rida Tuhan adalah mereka yang sudah mendapat rida sepenuhnya dari sesamanya di dunia.

Aku sedikit puas karena ada yang terpuaskan di dalam benak. Mungkin karena aku merasa bebas untuk menafsirkannya. Dinilai subjektif? Tak apa. Aku tidak pernah gentar diberi stempel terlalu subjektif dalam menafsirkan sesuatu. Terutama segmen agama. Toh, sekeras-kerasnya kita berpikir untuk menafsirkan segala hal yang berkaitan dengan agama, hasilnya sudah tentu subjektif. Kita tidak pernah tahu apa makna yang sebenarnya. Justru yang menurutku kurang baik adalah memasung akal pikiran saat mencari tahu segala hal yang berkaitan dengan kebaikan.

Beberapa hari kemudian, aku bertemu kawan yang sempat menjadi orang ketiga di tulisan ini. Tanpa salam dan tegur, dia bertanya, "bagaimana, Bim?".

"Aku belum punya pertanyaan lagi," jawabku. Dia manggut-manggut seraya tersenyum.   

Ikuti tulisan menarik bimo wiwoho lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu