x

Iklan

Djulianto Susantio

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pelestarian dan Komunitas

Mengingat masih banyak pengrusakan terhadap warisan arkeologi, komunitas pelestari sejarah dan budaya harus diberi peran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ditinjau dari katanya, arkeologi berasal dari gabungan archaeos (purbakala) dan logos (ilmu). Disiplin ini mempelajari manusia masa lampau berdasarkan warisan-warisan yang mereka tinggalkan, dengan tujuan merekonstruksi kehidupan manusia dan budaya manusia masa lalu. Dunia arkeologi sendiri dibagi ke dalam empat masa, yakni Prasejarah, Hindu-Buddha, Islam, dan Kolonial.

Karena memiliki masa yang sangat jauh ke belakang, maka warisan-warisan yang masih berada di dalam tanah juga tidak terbilang jumlahnya. Itulah sebabnya banyak kendala dihadapi oleh arkeolog-arkeolog zaman sekarang. Kendala itu berupa tenaga manusia yang terbatas, perlengkapan penelitian yang belum canggih, dana penelitian yang kurang memadai, dan lain-lain.

Ironisnya, ketika kendala itu masih belum mampu ditanggulangi, berbagai aktivitas yang merusak bahkan menghancurkan sisa-sisa peradaban masa lampau, justru semakin menjadi-jadi. Pencurian arca dari situs arkeologi, penyelundupan artefak ke mancanegara, pembongkaran bangunan bersejarah demi kepentingan ekonomi, dan penghancuran bata-bata berusia ratusan tahun di situs Trowulan, merupakan contoh kecil dari sederetan pelecehan yang kerap dialami dunia arkeologi sejak lama.

Ilmu arkeologi jelas masih kurang dihargai. Sebaliknya, benda-benda arkeologi justru semakin diperebutkan dengan segala cara karena memiliki nilai komersial tinggi. Sebelum tumbuhnya arkeologi sebagai ilmu pada abad ke-19, arkeologi memang bermula dari kegemaran mengumpulkan barang antik (antiquarian).  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Arkeologi, bukan saja harus menghadapi masyarakat awam yang kurang memedulikan warisan masa lalu, tetapi juga harus berhadapan dengan pemerintah provinsi/kota yang kurang tegas menindaklanjuti aturan hukum. Terbukti sejak bertahun-tahun lalu bangunan-bangunan lama, terutama peninggalan zaman penjajahan, dihancurkan dengan dalih ‘demi pembangunan’. 

Banyak bangunan kuno di kota-kota besar tersingkir tanpa bisa dicegah, untuk digantikan bangunan modern yang dianggap ‘lebih bermanfaat ekonomis’.  Begitu pula ketika Undang-undang Benda Cagar Budaya (UUBCB) diberlakukan sejak 1992, yang kemudian diperbarui lewat UUCB 2010, tetap saja bangunan bersejarah dihancurkan tanpa dapat dicegah.

Benda-benda arkeologi gencar diburu karena kolektor barang antik semakin tumbuh subur, seiring semakin tingginya status sosial mereka. Semakin banyak barang yang ditawarkan balai-balai lelang internasional, memberi gambaran bahwa bisnis benda-benda kuno selalu menggeliat.

Upaya pelestarian situs arkeologi yang dilandasi kaidah-kaidah keilmuan baru muncul pada 1970-an.  Menurut UUCB 2010 tercakup ke dalam pelestarian adalah pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Upaya pelindungan situs dan tinggalan arkeologis tercermin dari berbagai istilah yang kerap dipergunakan, antara lain arkeologi penyelamatan, arkeologi konservasi, dan arkeologi preservasi.  Istilah-istilah tersebut secara umum bisa dikatakan tercakup dalam Arkeologi Publik.

Istilah Arkeologi Publik pertama kali dikemukakan oleh McGimsey dalam bukunya, Public Archaeology (1972). Konsep dasarnya adalah masa lalu itu milik siapa saja. Karena kita tidak bisa mengingkari masa lalu, maka kita selalu berkepentingan dengan masa lalu. Namun hal ini tentunya bukan berarti siapa saja boleh mencemarkan warisan-warisan masa lalu.

Tujuan arkeologi tercakup ke dalam banyak hal sesuai dengan tugas setiap institusi. Tugas yang paling berat adalah mencari, menyelidiki, dan meneliti. Yang juga berat adalah merekonstruksi, baik rekonstruksi fisik bangunan maupun rekonstruksi sejarah kuno. Tugas selanjutnya adalah menyajikan temuan-temuan arkeologi kepada masyarakat, yakni di dalam museum (kalau bendanya berukuran kecil) atau di taman purbakala/museum lapangan (kalau bendanya berukuran besar).

Mengingat masih banyak pengrusakan terhadap warisan arkeologi, komunitas pelestari sejarah dan budaya, harus diberi peran. Mereka pun perlu dilibatkan dalam kegiatan inventarisasi dan registrasi cagar budaya di masing-masing wilayah.

Pelestarian merupakan hal yang sulit karena warisan-warisan arkeologi bertebaran di mana-mana, termasuk pelosok wilayah dan perbukitan. Betapa pun kalau sudah ada partisipasi aktif masyarakat, pelestarian akan meminimalisasi pelecehan atau pengrusakan warisan masa lalu.***    

 

DJULIANTO SUSANTIO, Pemerhati Sepurmu (Sejarah, Purbakala, Museum)

 

Ikuti tulisan menarik Djulianto Susantio lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB