x

Iklan

Fadly Rahman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jeroan dan Martabat Bangsa

Kebijakan pemerintah mengimpor jeroan adalah wujud dari perendahan martabat bangsa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Fadly Rahman[1]

Beberapa tahun lalu, dua orang jurnalis spesialis food, wine, dan travel asal Rusia, Anatoly Gendin dan  Vicktor Khabarov berkunjung ke kota Bandung. Saya didampingi seorang pihak dari Kedutaan Besar Indonesia untuk Rusia, bersantap di sebuah restoran Sunda. Dua orang jurnalis itu terkesima bercampur heran dengan cukup banyaknya sajian jeroan alias isi perut hewan (babat, usus, limpa, dan hati) disajikan di meja. Wajar mereka begitu terkesima dan heran.  Pasalnya di negaranya sana, jeroan hanya dikonsumsi untuk pakan hewan.

Maka itu, sungguhlah amat memalukan keputusan pemerintah terkait impor jeroan. Pasalnya, tahun lalu, Menteri Pertanian pernah sesumbar akan menutup keran impor jeroan; alasannya jeroan bukanlah makanan untuk dikonsumsi manusia dan mengimpornya sama dengan merendahkan martabat bangsa. Tapi pernyataan sang menteri itu ambigu dengan pernyataan Direktur Utama Perum Bulog, bahwa mengkonsumsi jeroan merupakan bagian dari kultur masyarakat Indonesia (bisniskeuangan.kompas.com). Pernyataan di atas makin diamini pernyataan mantan Menteri Perdagangan, bahwa kebijakan impor jeroan adalah untuk melayani masyarakat. Alasannya, permintaan dan minat masyarakat dan industri terhadap jeroan cukup banyak (tempo.co).  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memang, jika berbicara perihal jeroan, peminatnya mulai dari masyarakat umum hingga  industri makanan terbilang banyak di Indonesia. Tengok saja, tempat-tempat makan mulai dari kaki lima hingga rumah-rumah makan tidak sedikit yang menyajikan menu-menu berbahan baku jeroan, misalnya soto babat, sate usus dan beragam olahan jeroan lainnya. Dan bagi para penikmatnya, ada kenikmatan tersendiri saat menyantap jeroan. Meski mereka juga memafhumi bahwa menyantap olahan dari isi perut hewan ini bisa memantik sumber penyakit serius sebut saja kolesterol, serangan jantung, dan darah tinggi.

Tidak Layak Konsumsi

Lantas, jika jeroan adalah sumber penyakit, mengapa masih saja tetap dinikmati? Sejarawan kuliner Prancis, Madeleine Ferrières dalam bukunya (2002) Histoire des peurs alimentaires du Moyen Âge à l’aube du XXe siècle (Sejarah Makanan Berbahaya pada Masa Abad Pertengahan hingga Paruh Abad 20), mengkategorikan jeroan sebagai bagian dari makanan yang tidak lazim dikonsumsi oleh manusia. Dalam banyak kasus, makanan yang tidak lazim untuk dikonsumsi manusia biasanya dimakan ketika masa-masa sulit, misalnya pada masa paceklik para petani di India makan daging tikus sawah; pada masa perang, para tawanan perang masa Pendudukan Jepang makan daging tikus dan kucing; dan ketika sekarang ini harga harga daging melonjak tinggi, kerap didapati kasus adanya oknum pedagang nakal yang mengganti bakso berbahan baku daging sapi dengan daging celeng atau tikus.

Artinya, sebagaimana diteliti oleh Ferrières, bahan-bahan makanan yang tidak lazim, biasanya dipakai dan dikonsumsi ketika manusia dalam keadaan terdesak dengan keadaan (misalnya ekonomi atau paceklik) dan sedikit di antaranya karena alasan selera semata. Dalam buku De Geneesheer in Nederlandsch-Indië (Kesehatan di Hindia Belanda, 1884), C.L. van der Burg menjelaskan bahwa jeroan adalah organ hewan yang sangat sulit dicerna oleh tubuh. Wajar van der Burg berkata begitu, sebab isi perut adalah saluran perlintasan sisa-sisa makanan atau tepatnya tempat di mana kotoran menempel.

Maka itu dalam Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1849 no. 52 Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan 18 pasal aturan dan kebijakan terkait pemotongan sapi dan kerbau. Salah satunya pasal 9 tentang regulasi larangan penjualan daging yang ditutupi gemuk atau lemak. Bagi tukang jagal dan pedagang yang melanggar aturan itu, maka pemerintah akan menjatuhkan sanksi bagi mereka. Tujuan pemerintah kolonial menerbitkan aturan tegas itu karena berhubungan dengan temuan-temuan di lapangan, seperti adanya hewan-hewan ternak yang dipotong secara tidak layak dan juga kualitas daging tidak layak jual. Kelayakan daging untuk dijual berkorelasi dengan kelayakan untuk dikonsumsi oleh para konsumennnya. Jadi wajar jika lemak dan jeroan hewan masuk dalam daftar hitam niaga bahan makanan pada masa kolonial. Pemerintah ingin menjamin kelayakan konsumsi pangan yang berkualitas baik itu dapat bersinergi dengan kualitas kesehatan warganya.   

Lain Dulu, Lain Sekarang

Jika itu keadaan kebijakan pada masa kolonial, maka keadaan masa sekarang justru adalah kebalikannya. Alih-alih seharusnya menurunkan harga daging agar terjangkau masyarakat, pemerintah malah melakukan impor jeroan yang justru hanya akan menjadi masalah, mulai dari kesehatan hingga martabat bangsa di mata negara lain. Mengingat jika merujuk pada data, rata-rata konsumsi daging masyarakat Indonesia saat ini masih hanya berkisar 12,9 kg/tahun/kapita. Sedangkan FAO mematok standar rata-rata konsumsi daging masyarakat dunia idealnya 41,9 kg/tahun/kapita. Imbasnya, jika menilik hitungan survey The World’s Healthiest Countries versi Bloomberg Rankings tahun 2012, Indonesia hanya berada di peringkat 90 dari 145 negara tersehat di dunia. Kita jauh kalah di bawah Singapura yang menempati urutan ke-1 dan Malaysia ke-51 sebagai negara tersehat di dunia; di mana di kedua negara jiran itu harga daging berkisar Rp50.000 – 55.000/kg di tingkat ritel. Berbeda dengan harga daging di Indonesia yang saat ini masih berkisaran Rp120.000 – 130.000/kg.  

Dengan mencermati data di atas, hendaknya pemerintah dapat belajar dari sejarah dan juga dari negara jiran tentang bagaimana seharusnya pemerintah menjamin kualitas bahan makanan yang layak dikonsumsi bagi masyarakat. Fokuslah pada upaya penurunan harga daging agar masyarakat dari lapis bawah juga dapat menikmatinya; bukan justru “menyuapi” dengan jeroan yang hanya akan merendahkan martabat bangsa.

(Sumber foto: www.varia.id)

[1] Sejarawan kuliner dan pegiat food studies.  

Ikuti tulisan menarik Fadly Rahman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB