x

Iklan

yon bayu wahyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Arcandra, antara Brutus dan Lemahnya Tim Presiden

Presiden harus diselidiki apakah sudah mengetahui atau belum status kewarganegaraan Arcandra Tahar sebelum dilantik menjadi Menteri ESDM

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar memiliki kewarganegaraan ganda. Hal itu sudah diakui banyak pihak termasuk Menkum HAM Yasonna Laoly. Persoalannya sekarang, apakah kasus ini membuktikan lemahnya tim dalam (inner circle) Presiden Joko Widodo atau memang ada brutus di lingkar istana?

Dari pemberitaan selama ini publik tahu disodori fakta proses pengangkatan Arcandra sebegai Menteri ESDM berlangsung sangat cepat. Setelah sempat berdiskusi beberapa kali terkait persoalan minyak dan gas (migas), Presiden langsung kesengsem dengan pemikirannya. Pada reshuffle jilid II kemarin, pria berusia 45 tahun itu pun resmi menjaid bos di di Kementerian ESDM.

Namun belakangan Arcandra diketahui memiliki paspor Amerika Serikat. Dengan memegang paspor itu, secara logika Arcandra berstatus warga negara AS. Denga kata lain Arcandra sudah bukan warga negara Indonesia lagi. Bahwa lulusan Institut Teknologi Bandung itu masih memegang paspor Indonesia atau tidak melepas status warga negara Indonesia, itu soal lain. Sebab konstitusi kita mengharamkan kewarganegaraan ganda. Bila ada warga negara Indonesia mengangkat sumpah menjadi warga negara lain atau memiliki paspor negara lain, tanpa diminta pun, otomatis gugur status kewarganegaraan Indonesia-nya sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 huruf  (f) dan (h) UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Tentu Arcandra memiliki hak untuk kembali menjadi warga negara Indonesia. Namun ada beberapa hal yang harus dipenuhi sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 9 UU No 12/2006 tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah ketika dipanggil oleh Presiden untuk memangku jabatan menteri, Arcandra sudah mengajukan kembali kewarganegaraan Indonesia-nya,  masih perlu ditelusuri. Namun jika pun hal itu sudah dilakukan, tetap saja proses pengangkatannya sebegai menteri tidak “sah” karena melanggar UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, khususnya Pasal 22 ayat 2 huruf (a) yakni Untuk dapat diangkat menjadi Menteri, seseorang harus memenuhi persyaratan sebagai warga negara Indonesia.

Dari fakta-fakta yang selama ini beredar di media, sebenarnya perdebatan sah atau tidak sahnya pengangkatan Arcandra sebagai Menteri ESDM sudah selesai. Arcnadra harus mengundurkan diri. Meski hal itu tidak serta-merta akan menghapus “coreng hitam” di istana, namun langkah itu lebih bijak dibanding akan menjadi beban Presiden di masa mendatang. Arcandra harus mengakui kepada publik jika dirinya “tidak jujur” kepada Presiden terkait kewarganegaraannya. Sebab, meski tidak sempat ditanyakan oleh Presiden, secara etika Arcandra harus melaporkan posisi kewarganegaraannya. Minimal hal itu ditulis dalam curriculum vitae sehingga bisa menjadi bahan pertimgangan Presiden.

Kasus Arcandra setidaknya membuka mata publik betapa lemahnya tim dalam Presiden. Kasus salah tulis kepanjangan  BIN dan KPK beberapa waktu lalu, sudah fatal. Kini muncul lagi kesalahan yang sama terkait administrasi pemerintahan dengan skala kesalahan  yang lebih besar. Sudah saatnya Presiden bersikap tegas untuk membenahi orang-orang di sekitarnya karena kesalahan-kesalahan itu selalu menyasar dan merendahkan wibawa istana.

Presiden juga harus mulai mewaspadai tim di sekitarnya yang mungkin saja berwatak brutus. Siapa yang mengenalkan Arcandra kepada Presiden? Siapa yang kemudian merekomendasikannya sebagai menteri? Mengapa orang itu tidak meneliti latar belakangannya terlebih dulu terhadap seseorang yang akan direkomendasikan kepada Presiden? Sebab menurut ekonom Faisal Basri- dalam blognya, Arcandra bersahabat dengan Darmawan Prasodjo, yang merupakan salah satu deputi Kepala Staf Presidenan sejak dijabat Luhut Binsar Panjaitan. Dengan posisinya itu, Darmawan dengan leluasa bisa memberikan second opinion kepada Presiden, khususnya di bidang ESDM. Jadi kuat dugaan nama Arcandra sampai ke meja Presiden atas peran Darmawan.  

Teori jika kasus Arcandra “dinaikkan” oleh mafia migas yang tidak ingin usahanya diutak-atik, atau oleh faksi tertentu yang kehilangan pijakan usai reshuffle kabinet kemarin, adalah cerita lain. Terlepas siapa yang berkepentingan dengan terjungkalnya Arcandra dari kursi Menteri ESDM, namun satu hal yang dipahami bersama, kita hidup dalam negara yang mengedepankan hukum. Ada konstitusi yang harus dipatuhi semua pihak. Kita tidak boleh permisif terhadap pelanggar konstitusi, terlebih hal itu dilakukan oleh pejabat. Jika ingin bekerja, mendarmabaktikan tenaga dan pemikirannya untuk negara, jangan dilakukan dengan cara menabrak konstitusi. Konsekuensinya sangat serius jika karena seseorang dinilai baik dan bersih lantas diperbolehkan melanggar konstitusi, menabrak peraturan perundang-undangan yang ada. Ingat, bangun negara ini harus mungkin berdiri selama masih ada konstitusi yang dipatuhi oleh rakyatnya.  Jika seluruh rakyat sudah mengabaikan, tidak tunduk lagi pada konstitusinya, maka robohlah bangunan negara itu.

Presiden berhak untuk membentuk kabinet yang solid untuk mewujudkan Nawa Cita-nya. Presiden diperkenankan untuk mengangkat siapa saja untuk menjadi pembantunya. Namun Presiden tidak bisa melanggar sumpah jabatannya untuk memegang teguh amanah dan tunduk serta menjalankan konsitusi yang berlaku. Jadi dalam kasus ini, Presiden juga harus diselidiki apakah sudah mengetahui atau belum status kewarganegaraan Arcandra sebelum dilantik menjadi menteri.***

 

Ikuti tulisan menarik yon bayu wahyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler