x

Sejumlah pekerja seks komersial (PSK) duduk di depan tempat hiburan malam di kawasan Dadap, Kabupaten Tangerang, 4 Maret 2016. Tempat hiburan malam yang juga menjadi sarang lokalisasi tersebut rencananya akan digusur pemerintah Tangerang pada awal M

Iklan

Paulus Mujiran

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Seks, Kolonial, dan Kemerdekaan

Sejak jaman kolonial sampai sekarang urusan seks tidaklah sederhana. Lokalisasi prostitusi seperti Dolly atau Kalijodo hanya dipindahkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Urusan seks merupakan urusan yang pelik sehingga negara pun perlu terlibat di dalamnya. Sejak jaman kolonial sampai sekarang urusan seks tidaklah sederhana. Banyak pejabat berdalih mampu menutup lokalisasi prostitusi seperti Dolly di Gang Jarak Surabaya atau Kalijodo di Jakarta Barat sebenarnya mereka tidak menutup hanya memindahkan ke tempat lain. Di tempat lain tidak kalah menjadi persoalan yang juga pelik.

Bisnis jasa pelayanan seks secara terorganisir sudah tumbuh semenjak zaman Hindia Belanda ketika industri seks secara terorganisir tumbuh dan berkembang. (Hull 1997 : 3). Branconier, A. De dalam buku Het Prostitutie-vraagstuk in Nederlandsch-Indie (1933) krisis ekonomi hebat yang melanda dunia pada tahun 1930 berimbas pada aktifitas perekonomian termasuk sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan.

Akibatnya muncul berbagai masalah menyangkut upaya tetap mendapatkan penghasilan dalam kondisi serba sulit itu. Salah satunya muncul aktivitas prostitusi di sentra-sentra perekonomian yang goyah. Kondisi ini ditunjang banyaknya laki-laki bujangan yang dibawa pemerintah kolonial untuk menjadi tentara dan bekerja di perkebunan. Selain disebabkan jumlah perempuan Eropa dan China lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah prianya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

John Igleson dalam Prostitution in Colonial Java (1986) pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pemerintah Hindia Belanda memandang perlu penyegaran dan hiburan bagi tentaranya yang merantau dan memberi kesempatan pergi ke pelacuran. Berkembang suburlah bisnis pelacuran di tanah jajahan. Mengikuti hukum bisnis permintaan dan penawaran banyak perempuan mencari pekerjaan dengan masuk dunia prostitusi.

Namun prostitusi yang berkembang membuat pemerintah kolonial kewalahan. Lantas pada tahun 1852 dikeluarkan aturan yang mengatur perempuan publik (untuk menyebut pekerja seks) ditempatkan di tempat khusus dan memperoleh perawatan khusus ketika terkena penyakit kelamin. Pengawasan ketat pun mulai dilakukan.

Hayu Adi Darmarastri dalam Keberadaan Nyai Batavia dalam Lembaran Sejarah Volume 4 No 2 2002 campur tangan pemerintah kolonial menyebabkan prostitusi berkembang pesat. Kesulitan ekonomi terutama yang melanda rakyat pribumi mendorong perempuan terjun dalam bisnis prostitusi dengan imbalan uang. Pada zaman Jepang prostitusi dan komersialisasi seks berkembang dengan pengawasan yang sangat ketat.

Pramodya Ananta Toer dalam buku Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (2001) menulis, “Begitu saya naik kapal saya terus disambut tentara Jepang. Ia tertawa dan dengan lancing, ia menggerayangi tubuh saya. Saya menjerit ketakutan tetapi tak ada yang menolong saya. Saya diciumi terus dan dipondongnya saya ke dalam kamar..Saya menangis. Tiap-tiap saya menangis dia malah datang lagi dan diulanginya perbuatan itu..dan saya pingsan lagi. Begitu terus sampai saya tidak bisa menangis lagi”.

Namun demikian pekerja seks bukannya tanpa peran dalam kemerdekaan Indonesia. Di masa perang kemerdekaan mereka pernah menjadi anggota partai, laskar bahkan kata-katanya jadi alat propaganda melawan penjajah. Dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, Sukarno membuktikan pentingnya peran wanita tuna susila. “Pelacur adalah mata-mata paling baik di dunia. Dalam keanggotaan PNI (Partai Nasional Indonesia) di Bandung terdapat 670 orang perempuan pelacur dan mereka adalah anggota yang paling setia dan patuh”.

Selain menjadi mata-mata keberadaan mereka membantu mendapatkan senjata dari pemerintah Hindia Belanda. Robert Cripp dalam Para Jago Kaum Revolusioner Jakarta menyebut para wanita tuna susila Senen menyelundupkan senjata kepada Laskar Rakyat Jakarta Raya terdiri dari tujuh pasukan inti dengan tingkat kekuatan beragam dan tersebar di Kota Karawang.

Negara mengatur seks warganya pernah dilakukan pemerintah kolonial dengan Surat Keputusan Gubernur tanggal 15 Juli tahun 1852 No 1 mengenai peraturan untuk menanggulangi penyebaran prostitusi. Juga Besluit Gubernur Jenderal tanggal 21 Januari 1874 No 14 tentang Peraturan pemberantasan prostitusi. Di era Orde Baru bisnis prostitusi pun terus berkembang, bahkan sudah menjadi seperti rahasia umum sebagian diantaranya menjadi semacam jamuan tamu pejabat ketika berkunjung ke daerah.

Moamar Emka dalam buku Sex n’ City Jakarta Undercover (1997) bisnis seks Jakarta yang tidak saja berkait kelindan dengan seks semata tetapi juga berhubungan erat dengan dinamika politik. Di era modern ini seks dan perempuan bahkan tampil sebagai pelicin bisnis atau gratifikasi. Sekali lagi bisnis itu rupanya tidak akan pernah mati dan terus memerlukan campur tangan negara. Karena itu usia bisnis seks yang sudah berabad silam sepertinya tak mudah mengenyahkan dari kancah republik. (Paulus Mujiran, Penulis).

 

Ikuti tulisan menarik Paulus Mujiran lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler