x

Gloria Natapraja Hamel saat diizinkan bergabung bersama Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) pada upacara penurunan bendera di Istana Merdeka, Jakarta, 17 Agustus 2016. Gloria menjadi sorotan akibat status kewarganegaraannya. TEMPO/Subekti.

Iklan

Victor Rembeth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jungkirbalik dan Harapan : Menatap Tahun ke-72 Indonesia

Untuk Gloria dan jutaan anak perempuan seumurmu

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

            Hari-hari menjelang detik-detik peringatan Proklamasi ke-71 Republik Indonesia adalah jam-jam penuh kebingungan bagi kebanyakan dari kita. Ketika semua media sosial sejak Sabtu pagi, lima hari menjelang 17 Agustus, menggelontorkan polemik yang berkembang menjadi tawuran psikis, maka martabat lembaga eksekutif Negara sedang diuji dengan kisruhnya pemilihan seorang menteri akibat status kewarganegaraannya.

            Seakan sebuah takdir karena terbaliknya angka keramat 17 yang dirayakan pada tahun ke-71, roller coaster penjungkirbalikan opini terus menggerus kepercayaan publik terhadap pengambilan keputusan tata kelola Negara. Ada rasa lucu, marah dan sedih bergayut di hati anak-anak bangsa, karena seakan figur Arcandra menjadi model hero to zero yang siap dijadikan peluru meluluhlantakan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya.

            Indonesia benar-benar dikooptasi oleh berita utama sengkarut pilihan politik yang bahkan mengalahkan berita-berita membanggakan tiap tahun perihal para penerima penghargaan sebagai putra-putri terbaik bangsa.  Di tahun terbaliknya 17 menjadi 71 ini, berita headline di berbagai media adalah skandal seorang anak bangsa yang dihujat, dibela dan dijadikan komoditas pertarungan antar faksi pencari panggung keuntungan politik. Selama tiga hari menjelang saat keramat, Ibu Pertiwi mungkin lebih menangis melihat kondisi bangsa yang terbelah dan penuh pertarungan absurd.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Pidato kenegaraan Kepala Negara yang menyajikan keberhasilan Negara dalam bidang keamanan, ekonomi dan berbagai aspek juga tidak bisa menenangkan akan membaiknya kondisi bangsa. Apalagi sebuah doa dinaikkan sesudah pidato Presiden dengan nuansa yang belum pernah ada sebelumnya. Doa yang dinaikkan sang anggota DPR ini dimulai tentang menjauhkan pemimpin yang khianat pemberi janji palsu, dan diakhiri dengan meminta taubat dimana kalau tidak bertaubat akan digantikan oleh yang lebih baik.

            Benar-benar, hari-hari yang menjadikan bingung, ketika para politisi dan pemimpin bangsa menggunakan ruang publik untuk saling bertikai dengan diskursus yang saling menyerang. Dukung kanan dan kiri sebagai pengejawantahan kebebasan berpendapat adalah hal yang wajar dalam alam demokrasi. Namun hujatan dan pembelaan yang sudah menghadirkan kebingungan pada semua elemen bangsa adalah sikap yang perlu dikaji ulang ketika justru pekikan Soekarno-Hatta dan perjuangan para pendahulu bangsa patut dikenang dalam suasana tahunan yang magis bagi bangsa ini.

            Memasuki pagi 17 Agustus ada setitik asa berkembang ketika kampung-kampung, rumah-rumah ibadah dan kebanyakan elemen masyarakat dari Merauke sampai Sabang bergeliat menyambut peringatan tahunan dengan kemasan yang meriah. Bendera, baju merah putih, perlombaan dan berbagai tradisi berbasis komunitas tetap diperagakan melupakan hingar bingar politik yang disemburkan oleh para elit.  Semua juga terkesima dengan upacara detik-detik Proklamasi di Istana, selain upacara serupa di lembaga dan kampung masing-masing yang merekonstruksi ingatan, sejarah dan kebanggaan bangsa.

            Daya magis 17 Agustus ternyata masih ada untuk menyelamatkan bangsa. Hal itu makin nampak bukan hanya dalam keceriaan di setiap sudut negeri, baik itu kota maupun desa, baik itu pasar rakyat maupun mal, baik itu gunung, maupun pesisir pantai, tapi juga terikut dalam takdirnya sebagai hari lahir bangsa ini. Siang menjelang sore adalah saat-saat sang Ibu Pertiwi menunjukkan kuasa magis keibuannya. Ia tidak tega melihat bangsa ini hancur dalam keterhempasan pertikaian yang tidak jelas. Menjelang sore ia tunjukkan tuahnya, memberi harapan baru bagi bangsa ini.

            Adalah Gloria Natapradja Hamel, salah satu anak dari sang Pertiwi yang dipakai oleh pemilik negeri ini untuk menghadirkan harapan baru. Ketika sebagai seorang anak perempuan, harus menjadi korban dari berbagai kebijakan administratif Negara yang baku dan diimbuhi dengan pengambil kebijakan yang kaku, maka ia malah menjadi pembawa harapan sang Ibu Pertiwi.  Dalam kebingungan, tangisan dan kefrustrasian salah satu anak manis bangsa, Indonesia mendengar, Indonesia meghampiri dan Indonesia memeluknya.

            Ketika ia hampir saja menjadi Arcandra dalam detik-detik angka jungkir balik Proklamasi, Gloria berbalik menjadi model zero to hero.  Sebagai anak bangsa yang masuk dalam hitungan kelompok rentan, perempuan yang belum dewasa, yang sering menjadi korban pelecehan dan sulit untuk mencari keadilan dari bejatnya sistem patriarkal birokratis yang kerap terjadi di negeri ini, ia hadir membawa harapan. Ketika tangisannya didengar, Gloria bukan saja mewakili dirinya sebagai anak perempuan dari ayah dan ibunya, tetapi ia telah menjadi representasi ribuan anak-anak perempuan rentan di tengah bangsa.

            Ketika dorongan untuk memproklamasikan bangsa ini oleh  tiga anak-anak muda geng “Menteng 31” dengan memaksa Soekarno-Hatta untuk tetap menghidupkan harapan untuk melakukan Proklamasi pada 16 Agustus 1945, maka seorang anak perempuan bangsa di tahun 2016 telah mampu menjadi seorang yang melahirkan harapan baru bagi bangsa ini. Ketika ia tidak mau tinggal diam menjadi korban, ketika ia juga meyakini akan kebangsaan dan kecintaan akan tanah airnya, maka ketika itu ia telah mampu memompa sebuah harapan baru: Semangat kebangsaan masih bisa hidup bagi siapapun, bahkan di hati seorang anak perempuan muda yang rentan jadi korban.

            Tiba tiba ketika Magrib menggayut langit Indonesia pada petang hari ini, bukan kekelaman yang terhampar, tetapi justru harapan untuk berani masuk dalam kegelapan. Hadirnya Gloria, secara harafiah berarti mulia, memantik harapan  ke depan. Ia menjungkirbalikkan perayaan 17 tahun dari sesuatu yang sekadar tradisi menjadi sesuatu yang “mulia” dan magis.  Kehadirannya dalam gemuruh pemberitaan peringatan Proklamasi di tahun ini memutarbalikkan pendekatan Negara yang kerap sudah tidak lagi memanusiakan.

            Gloria adalah jawaban doa Pak Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin dalam upacara tahun ini yang mendoakan agar kita sebagai bangsa “memerdekakan manusia adalah memanusiakan manusia itu sendiri”. Indonesia memiliki harapan akan masa depan yang lebih baik. Indonesia memiliki harapan untuk memanusiakan manusia-manusia, dan sudah tentu sudah dimulai oleh Presidennya justru pada saat kita memperingati tahun keterbalikan dari angka 17. Adalah baik ketika Harapan ini diteruskan, kemanusiaan terus dijadikan basis pengambilan keputusan dan kebangsaan dirawat dengan santun dalam pemartabatan.

            "Totally without hope one cannot live. To live without hope is to cease to live”,  demikian kata teolog pengharapan Jurgen Moltmann yang memberi bara api pengharapan bagi kita semua di tahun 2016. Indonesia masih ada, dan kemanusiaan masih ada. Dalam diri seorang anak gadis muda ia hadir dan mengingatkan, menghentak dan menyadarkan. Jayalah Indonesia, kuatlah anak-anak perempuan Indonesia, berharaplah terus untuk kebaikan. Terimakasih Ibu Pertiwi untuk kembali melindungi bangsa ini dalam suka dan dukanya. Dirgahayu 71 tahun Indonesia!

Victor Rembeth

Ciater, Ba’da Magrib 17 Agustus 2016

Utk Gloria dan jutaan anak perempuan seumurmu...

Ikuti tulisan menarik Victor Rembeth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler