x

Presiden Joko Widodo memberikan arahan saat membuka Musyawarah Nasional (Munas) IV ADKASI di Jakarta, 17 Desember 2015. Dalam sambutannya, Presiden meminta anggota ADKASI ikut memantau dan mempercepat penggunaan anggaran daerah. TEMPO/Aditia Noviansy

Iklan

Bhima Yudhistira Adhinegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mandeknya Belanja Daerah ~ Bhima Yudhistira Adhinegara

Data yang dirilis oleh pemerintah pusat menyebutkan bahwa serapan anggaran di beberapa daerah sangat jauh dari target. Mengapa?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kabar gembira naiknya pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2016 sebesar 5,18 persen ternyata terlepas dari campur tangan pemerintah daerah. Saat pemerintah pusat menggelontorkan aneka kebijakan untuk membangkitkan gairah perekonomian nasional, pemerintah daerah justru berlomba menimbun uang di bank. Ada kesenjangan kebijakan antara pusat dan daerah dalam persoalan ekonomi yang merugikan banyak pihak, termasuk masyarakat dan pengusaha.

Data yang dirilis oleh pemerintah pusat menyebutkan bahwa serapan anggaran di beberapa daerah sangat jauh dari target. Hingga Juni ini, anggaran yang belum terpakai sebesar Rp 214 triliun. Per 31 Maret 2016, serapan anggaran hanya 8 persen di tingkat kabupaten/kota dan 8,3 persen di level provinsi. Di sisi lain, target yang ingin dicapai adalah 20 persen. Adapun Provinsi Jawa Barat, walaupun berada di atas rata-rata nasional, tetap jauh dari pencapaian ideal. Jawa Barat berada di posisi ke-14, dengan serapan anggaran 10 persen, kalah jauh dibanding Provinsi Lampung (16 persen) dan Jawa Timur (17 persen).

Masalah timbunan dana pemda di bank ini sebenarnya berasal dari dua faktor utama. Pertama, adanya ketakutan kriminalisasi bagi pejabat di daerah sehingga banyak proyek yang sengaja ditunda. Kepala daerah tidak mau mengeluarkan anggaran karena bisa ditangkap KPK. Alasan ini lemah karena sudah ada aturan untuk melindungi kepala daerah dari kriminalisasi, asalkan taat prosedur. Kedua, alasan yang sifatnya lebih teknis, seperti ketidaksesuaian perencanaan program dengan realisasi di lapangan yang membuat lelang akhirnya tertunda. Hal ini juga yang membuat Presiden geram dalam rapat pembahasan TPID (Tim Penanggulangan Inflasi Daerah) beberapa waktu lalu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Enggannya pemerintah daerah dalam menurunkan anggaran tentu tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah pusat yang ingin segera menggenjot perekonomian. Di level pusat, sudah ada 12 kebijakan untuk menggerakan sektor riil, mendukung gairah dunia usaha, dan membangkitkan kembali UMKM. Namun, jauh panggang dari api, rupanya ada keengganan atau boleh disebut kemalasan daerah untuk sejalan dengan program pemerintah pusat tadi.

Akibat kurang sinergisnya pemerintah pusat dan daerah tecermin dari kinerja perekonomian saat ini. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2016, yang tumbuh 5,18 persen lebih, disebabkan oleh realisasi investasi yang meningkat karena adanya sentimen Brexit dan tax amnesty. Adapun dari sektor pertanian berkontribusi besar lebih karena pergeseran panen raya yang seharusnya terlihat dari triwulan I, tapi dampak ke peningkatan produksinya baru terlihat di triwulan II. Lagi-lagi, jika diteliti lebih dalam, kenaikan pertumbuhan ekonomi dan perilaku belanja pemerintah daerah sama sekali tidak sinkron. Pemerintah daerah dengan Rp 214 triliun dana yang seharusnya menjadi hak masyarakat di daerahnya ternyata lepas tangan. Ekonomi di daerah dibiarkan bergerak sendiri tanpa campur tangan pemerintah daerah.

Untuk itu, wajar kemudian efek lesunya aktivitas ekonomi di daerah tidak dapat diantisipasi. Misalnya kasus di Kalimantan Timur yang terpukul oleh penurunan harga komoditas batu bara dan migas. Dengan pertumbuhan ekonomi yang mengalami kontraksi hingga -1,3 persen pada triwulan I 2016, pemerintah daerah Kalimantan Timur justru menunjukkan kinerja anggaran yang buruk dengan serapan anggaran di bawah 3 persen. Tentu hal tersebut membuat bingung pemerintah pusat hingga pelaku usaha.

Hal lain yang menjadi cermin kegagalan daerah dalam mengelola anggaran adalah tingkat pengangguran terbuka di daerah yang meningkat. Misalnya Jawa Barat sebesar 8,57 persen pada Februari 2016, meningkat dibanding Februari tahun sebelumnya, yaitu 8,4 persen. Dari data BPS jelas ada lonjakan angka penganggur terbuka, terutama dari sektor manufaktur. Jawa Barat menduduki posisi kedua secara nasional dengan tingkat PHK sebanyak 10.291 orang pada 2015, berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja. Posisi Jawa Barat hanya sedikit di bawah Kalimantan Timur dengan tingkat PHK sebesar 10.721 orang. Seharusnya pemerintah daerah bisa berperan cukup signifikan dengan mencairkan program-program pembangunan daerah ketika sektor swasta lesu. Efek buffer ekonomi ini yang makin lama hilang.

Karena itu, kebijakan yang mendorong pemerintah daerah agar menyalurkan dana yang diendapkan di bank bukan sekadar wacana lagi. Sanksi harus lebih berat bagi daerah yang nakal. Konversi dana idle pemda ke Surat Berharga Negara terbukti tidak menyelesaikan masalah secara tuntas. Perlu mekanisme yang lebih menimbulkan efek jera. Salah satunya dengan moratorium dana perimbangan, dana bagi hasil, ataupun dana alokasi khusus. Daerah-daerah seperti Kalimantan Timur, Papua Barat, Maluku Utara, dan Kepulauan Riau dengan tingkat penyerapan di bawah 3 persen bisa saja mendapatkan moratorium. Lagi pula hal tersebut sejalan dengan misi Menteri Keuangan untuk memotong dana transfer daerah sebesar Rp 68,8 triliun. Dengan cara moratorium itu, pemerintah daerah diharapkan segera mencairkan anggaran yang menjadi hak masyarakat di daerahnya dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

Bhima Yudhistira Adhinegara, Peneliti INDEF

Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 18 Agustus 2016

Ikuti tulisan menarik Bhima Yudhistira Adhinegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler