x

Iklan

JOSS WIBISONO

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Willems membongkar mitos Westerling

Empat buku tentang Raymond Westerling ternyata belum cukup bagi Fredrik Willems, ia tetap merasa perlu untuk menulis biografi tokoh kontroversial ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berlainan dengan kalangan Belanda lain yang nenek moyangnya pernah aktif di koloni, Fredrik Willems (39 tahun) mengaku tidak punya kaitan langsung dengan Indonesia. Keluarganya tidak pernah punya masa lampau kolonial. Sewaktu SMA, dia punya teman bernama Raymond, tapi selalu diolok-olok sebagai Westerling. Maklum ayah si Raymond sangat mengagumi Westerling. Dari ayah Raymond itulah Fredrik mendengar cerita pertama tentang Westerling. Minatnya dibangunkan, dia merasa tertarik untuk menekuni orang ini.

Sebenarnya tentang Raymond Westerling, di Belanda sudah ada dua biografi, yang pertama ditulis ketika Sang Kapten masih berusia awal 30an, yang kedua karya penulis Prancis. Selain dua buku itu, juga sudah ada dua disertasi doktor, masing-masing disertasi Willem IJzereef tentang peristiwa Sulawesi Selatan dan disertasi Jaap de Moor tentang gerakan APRA. Empat buku itu ternyata belum cukup bagi Fredrik Willems, ia tetap merasa perlu untuk menulis biografi Westerling.

Westerling panglima KNIL?

“Kalau kita lihat biografi pertamanya,” Willems mulai menjelaskan, “maka itu ditulis tahun 1952, ketika Westerling masih berusia 32 tahun. Sulit menyebutnya sebagai sebuah biografi”. Biografi kedua terbit tahun 1982, karya Dominique Venner, seorang penulis Prancis. Tapi empat buku ini tidak memuaskan Fredrik. “Saya tidak puas dengan buku Jaap de Moor, penjelasannya tentang kudeta APRA tidak tuntas, tetap menimbulkan tanda tanya”. Maklum APRA digambarkan sebagai aksi Westerling seorang diri, seseorang yang punya fantasi luar biasa, seorang megaloman yang punya pendukung setia. Demikian Fredrik Willems menilai disertasi Jaap de Moor.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Saya teliti peristiwa APRA dan memperoleh gambaran lain. Misalnya Westerling mendapat banyak dukungan dari pimpinan sipil dan militer, baik di Indonesia maupun di Belanda,” demikian Willems. Lebih lanjut tuturnya, kalangan ini tidak bisa menerima bahwa waktu itu Belanda kalah dan kehilangan koloninya. Mereka juga resah menanti apa yang akan terjadi ketika kemerdekaan Indonesia akhirnya diakui oleh dunia internasional. Mereka takut akan muncul saat balas dendam, orang-orang yang dulu bertanggung jawab akan menjadi sasaran pelbagai aksi pembalasan. Di sini Fredrik Willems melihat banyak orang kemudian bergabung dan mendukung gagasan Westerling.

Westerling sangat mendukung struktur federal, Republik Indonesia Serikat, disingkat RIS. Ini dianggapnya sebagai penyelamatan terakhir bagi mereka yang anti republik, karena itu RIS didukung. Para pendukungnya tidak lebih dari kalangan minoritas, misalnya orang-orang Belanda, orang-orang Indo yang berdarah campuran, kalangan Tionghoa dan kalangan Maluku yang pro Belanda. Dan memang sebenarnya kepada merekalah RIS ditujukan.

Bagi Westerling pribadi, demikian Fredrik Willems, kontruksi federal ini juga memberi peluang kepada KNIL. “Itulah yang penting baginya,” tandas Willems. Westerling mengandalkan KNIL karena lebih terorganisir, TNI menurutnya tidak mampu berperan sebagai angkatan bersenjata, yaitu mempertahankan “rust en orde”. Tapi Fredrik memperingatkan ini tidak berarti bahwa Westerling merasa dirinya punya masa depan di Indonesia. Dia tidak berkeberatan untuk menjadi panglima tentara, dalam hal ini KNIL, tetapi kemudian dia akan meninggalkannya. Dia sendiri tidak punya ambisi politik dalam struktur federal itu.

Salah satu hal yang menurut dugaan Willems merupakan motif Westerling dalam melancarkan APRA adalah sikap Belanda terhadap RIS. Belanda menurut Westerling tidak melindungi RIS. Dalam hal ini Westerling punya pendirian tegas. Apakah mendirikan RIS dengan konsekuensi Belanda harus melindunginya atau tidak mendirikan RIS dan membiarkan pihak Indonesia berbuat sendiri apa yang dimauinya. Di sinilah muncul gagasan APRA, karena Westerling menganggap walaupun sudah mendirikan RIS, tapi Belanda ternyata tidak melindunginya. Karena itu Willems menilai Westerling punya pendirian konsekwen. Tapi Westerling juga tahu bahwa struktur federal ini rekaan Belanda yang tidak akan mendapat dukungan orang Indonesia. Dan memang orang Indonesia melihat bahwa aktor intelektual di belakang RIS itu adalah Van Mook.

Menyusul kegagalan APRA, pemerintah Belanda takut Westerling akan mengumumkan cerita sebenarnya di balik upaya kudeta ini. Kalau ini sampai terjadi maka akan banyak pejabat Belanda yang patah kariernya, bahkan, demikian ramalan Willems, kabinet Belanda bisa jatuh. Karena itu Westerling sendiri tidak pernah diadili. Inilah kehendak pemerintah Den Haag, karena itu hasil penyidikan terhadap Westerling tidak pernah ditindaklanjuti, untuk menghalangi supaya masalah ini tidak terungkap.

Selain itu Belanda juga ingin membina hubungan baik dengan Republik Indonesia yang pada awal 1950an itu sudah memperoleh pengakuan internasional. Pemerintah Indonesia sendiri tidak sepenuhnya bertekad menangkap Westerling. Menurut Fredrik Willems Jakarta sebenarnya juga membiarkan Westerling lari keluar negeri. Setelah kudeta APRA yang gagal itu, Westerling masih bebas berkeliaran di Jakarta selama sebulan. Pada saat ini, demikian Fredrik, sebenarnya pemerintah Indonesia bisa menangkap si kapten. Tapi dinas rahasia Indonesia juga tidak melakukan hal itu. Ini menyebabkan Willems berkesimpulan bahwa Jakarta memang tidak mau benar-benar menangkap Westerling. Padahal salah satu sebab kegagalan APRA adalah peran dinas rahasia Indonesia. Tetapi mengapa mereka tidak bertindak lebih lanjut dengan menangkap Westerling?

Ketika dalam sebulan Westerling tidak ditangkap, Den Haag turun tangan “menculik” si Kapten, dengan pesawat Catalina, pada tanggal 24 Februari 1950 dia diberangkatkan ke Singapura. Demikian perintah Perdana Menteri Willem Drees yang ingin supaya Westerling dibawa keluar Indonesia dengan semua alat yang mungkin. Karena itu para petinggi sipil dan militer Belanda turun tangan supaya Westerling hengkang dari Indonesia.

Keterlibatan Bernhard: bisa diterima?

Menarik untuk mengetahui apa sebenarnya kepentingan Perdana Menteri Willem Drees, sebagai tokoh kalangan sosial demokrat yang seharusnya kiri dan progresif, untuk melindungi Westerling. Fredrik Willems sedikit menarik napas sambil mengucapkan eee, “Yang jelas Drees tidak ingin semuanya terungkap”. Lalu dia datang dengan kesimpulan yang sebenarnya tidak terlalu baru, “Jadi saya sangat percaya bahwa Pangeran Bernhard terlibat pada kudeta APRA”. Tapi Fredrik segera mengakui keterlibatan seperti apa, itu sulit dibuktikan.

Dalam buku ZKH Hoog spel aan het hof van Zijne Koninklijke Hoogheid, kedua penulisnya yaitu Harry Veenendaal dan Jort Kelder sudah mulai membuka peran suami Ratu Juliana ini. Keterlibatan itu sudah mulai aannemelijk, artinya bisa diduga, diterima dan diraba. Tetapi seperti apa persisnya, masih belum ada bukti yang kuat.

Willems yakin bahwa Westerling kenal Bernhard secara pribadi, mungkin berawal ketika dia bertugas di London sebagai pengawal Ratu Wilhelmina, ibu mertua Bernhard. Tetapi sesudah petualangannya di Indonesia tidak ada bukti bahwa Bernhard pernah bertemu Westerling. Di lain pihak pedagang senjata keturunan Pakistan Ali Shah pernah diundang ke Istana Soestdijk, sedangkan Westerling? Fredrik Willems yakin Pangeran Bernhard tidak akan mengambil resiko sejauh itu, karena pertemuan dengan Westerling jelas terlalu riskan. Dia juga tidak menutup kemungkinan faktor lain. “Ini semua akan keluar di buku saya,” demikian Willems dengan senyum kebanggaan.

APRA dan perintah Jenderal Spoor

Faktor terbesar yang menyebabkan kegagalan APRA adalah ultimatum Westerling supaya Jakarta mengakui Republik Pasundan dan juga supaya mengakui kesatuannya Angkatan Perang Ratu Adil. Ultimatum ini menyebabkan Westerling kehilangan dukungan, juga dukungan KNIL sendiri. Hal ini tidak banyak diketahui di Belanda, sampai sekarang. Dan inilah yang diangkat oleh Fredrik Willems.

Sampai sekarang Westerling selalu disebut sebagai pendiri APRA, dan dia bertindak sendirian. Kalau ada yang menyebut bahwa Panglima KNIL Jenderal Simon Spoor memerintahkan Westerling untuk mendirikan APRA, akan banyak orang Belanda tertawa. Westerling selalu dicap bertindak sendirian. Tapi Fredrik Willems menegaskan dia punya bukti bahwa memang demikianlah sejarahnya, Jenderal Spoor memerintahkan Westerling untuk membentuk APRA. Waktu itu Westerling sudah tidak bisa dipertahankan lagi sebagai komandan Depot Speciale Troepen, karena terlalu banyak pemberitaan negatif tentangnya setelah peristiwa Sulawesi Selatan. Lepas dari kedudukan itu, Jenderal Spoor memerintahkan Westerling supaya mendirikan APRA.

Dalam hal ini Fredrik Willems memperoleh dua bukti. Pertama laporan Knottenbelt, seorang hakim penyelidik (rechter-commissaris) Amsterdam pada tahun 1953. Di situ tertera bahwa sebelum mulai mendirikan APRA yang dalam laporan itu disebut sebagai organisasi bela diri, Westerling membicarakan rencana ini secara menyeluruh dengan Panglima KNIL Jenderal Simon Spoor. Di lain pihak, Mr H.J.C Buurman van Vreeden, pejabat tinggi pada kementerian wilayah seberang lautan (bekas kementerian koloni) juga mencatat bahwa dalam membentuk organisasi pertahanan itu Westerling berada di bawah pengawasan pribadi Jenderal Spoor. Dengan demikian Fredrik Willems berkesimpulan bahwa APRA sebenarnya merupakan ciptaan Jenderal Spoor dan Westerling hanya melaksanakannya saja.

Di lain pihak, Westerling sendiri menyebut satuannya sebagai Ratu Adil dengan tujuan supaya memperoleh banyak dukungan rakyat Indonesia. Menurut Fredrik gagasan Ratu Adil ini banyak dianut oleh rakyat Indonesia, juga oleh generasi mudanya. Tapi benarkah hal ini juga berlaku bagi orang Sunda yang dikenal begitu taat beragama? Bukankah mereka lebih tertarik pada gagasan Darul Islam? Dalam hal ini tampaknya Willems masih harus memperoleh kepastian.

Yang sudah bisa dipastikannya adalah tujuan APRA, yaitu melindungi perusahaan dan perkebunan milik Belanda di Jawa Barat. Sejauh itu perusahaan dan perkebunan Belanda sering menjadi sasaran gempuran TNI, Darul Islam dan kelompok bersenjata lain. Langkah ini menurut Fredrik Willems cukup cerdik, karena dengan mendekati TNI, Darul Islam maupun kelompok-kelompok bersenjata lain itu, Westerling berhasil membujuk mereka supaya bergabung dalam APRA. Dengan begitu, selain memperoleh pendukung, Westerling juga berhasil menghentikan serangan terhadap perusahaan dan perkebunan Belanda.

Kalau ketika mendirikan APRA saja Westerling paling sedikit melibatkan Panglima KNIL, Jenderal Simon Spoor, maka jelas begitu pula upaya kudetanya. Walaupun waktu itu Jenderal Spoor sudah almarhum (dia meninggal 25 Mei 1949), bisa dipastikan Westerling tidak sendirian. Di Sulawesi Selatan Westerling juga hanya menjalankan perintah atasannya yang ingin supaya kalangan yang disebut pengacau keamanan itu dilibas saja. Penguasa sipil setempat waktu itu sudah memaklumkan keadaan darurat, dan dengan begitu memberi semacam wewenang penuh kepada Westerling. Kepadanya hanya disebut bahwa dia harus bertanggung jawab kepada Kolonel De Vries dan Jenderal Spoor.

Semuanya ditimpakan pada Westerling

Salah satu bukti bahwa di Sulawesi Selatan Westerling tidak sendirian adalah peran Letnan dua H.J. Vermeulen. Ia datang lebih dulu ke Makassar untuk melakukan penjajakan dan menginteli ibukota Negara Indonesia Timur itu. Berpengalaman sebagai intel ketika Belanda diduduki Nazi, Vermeulen dianggap cocok menjalankan tugas ini. Menurut Fredrik Willems Vermeulenlah yang kemudian menentukan setiap langkah Westerling. Karena tindakan Vermeulen inilah terjadi pembunuhan warga sipil, waktu itu dia didampingi oleh tiga prajurit KNIL lain.

Menariknya, di Indonesia Westerling selalu dianggap bertanggung jawab atas tewasnya 40 ribu penduduk Sulawesi Selatan. Menurut Fredrik Willems jumlah itu sebenarnya tidak mungkin bisa dicapai oleh pasukan Westerling. Satuan DST itu beranggotakan 123 orang, harus ada yang tinggal di kamp untuk penjagaan, misalnya. Berarti 100 orang yang beroperasi melakukan pembunuhan. Mungkinkah dalam dua bulan 100 orang prajurit itu menewaskan 40 ribu orang, apalagi di wilayah yang tidak terlalu padat penduduknya seperti Sulawesi Selatan? Demikian Fredrik bertanya-tanya. Baginya jumlah 40 ribu itu sangat tidak masuk akal. Dia menyayangkan bahwa hal ini masih terus diyakini.

Dengan hati-hati Fredrik Willems memperkirakan jumlah korban tewas paling banter mencapai 5000 orang. Ini sudah lebih banyak dari perkiraan Willem IJzereef yang menyebut sekitar 3300 korban tewas. “Itu jumlah korban DST, tapi korban tewas masih lebih banyak lagi, karena polisi setempat juga bertindak. Mereka pro-Belanda. Kemudian milisi setempat yang dibentuk oleh para bangsawan lokal”. Fredrik juga membenarkan bahwa Westerling memang mendirikan milisi. Kalau polisi setempat sudah “dibersihkan” maka dia mengangkat orang baru. Dengan begitu mereka berada di pihak Belanda.

Westerling menerima perintah dari atasannya: Kolonel H.J. de Vries, komandan pasukan untuk Borneo dan Timur Raya. Secara lisan, Kolonel De Vries menyatakan setuju terhadap tindakan pembersihan (zuiveringsacties) yang akan dilakukan Westerling. Pada kesempatan itu, demikian Fredrik Willems, Westerling juga menjelaskan metode yang akan diterapkannya. Inilah yang kemudian terkenal sebagai “metode Westerling” dan Fredrik langsung menunjuk di sinilah inti masalahnya: semuanya ditimpakan pada Westerling.

Salah seorang saksi mata pembunuhan di Suppa seperti disiarkan pada acara Altijd Wat oleh televisi NCRV, menyatakan bahwa Westerling menembaki sendiri 200 orang warga Suppa. “Jumlah ini cocok,” demikian Willems, “karena juga tertera pada laporan DST sendiri.” Yang menurutnya aneh adalah pernyataan saksi itu bahwa Westerling menembak dengan tangan kiri. “Saya langsung sadar,” kata Fredrik, “karena saya tahu Westerling bukan kidal. Saya cari tahu bagaimana duduk perkaranya, dan saya dapati yang melakukan eksekusi itu adalah Letda Vermeulen, orang kedua DST, wakilnya Westerling”. Dia menegaskan Westerling tidak sampai ke Suppa, dia hanya di Makassar dan beberapa kampung sekitarnya.

Dengan begitu bisa disimpulkan bahwa Westerling disebut melakukan eksekusi di tempat-tempat yang tidak pernah didatanginya. “Tentu saja dia melakukan pembersihan,” tegas Fredrik, “tapi tidak semuanya.” Menurutnya Westerling hanya memerintahkan eksekusi di 10 atau 11 lokasi. Selain itu masih banyak aksi lain jang dilakukan oleh kalangan lain, termasuk pihak Indonesia sendiri. Dalam catatan Fredrik Willems, Westerling sendiri bertanggung jawab bagi sekitar 400 kasus kematian. Jumlah lainnya mencapai 1500 orang dan itu merupakan tanggung jawab kelompok lain. Pihak Indonesia sendiri waktu itu pecah, misalnya kelompok “Semoet Merah” juga ikut melakukan eksekusi. Karena itulah banyak terjadi kematian.

Westerling selalu membanggakan caranya menangani pemberontakan itu, yaitu dengan melakukan eksekusi di tempat (standrechtelijk executie), yang disebutnya “metode Westerling”. Baginya itulah cara yang paling tepat untuk mengatasi pemberontakan melawan kekuasaan Belanda. Menariknya apa yang disebut “Metode Westerling” ini kemudian menjadi terkenal di luar negeri dengan nama serupa, seolah-olah itu merupakan ciptaan Westerling. Fredrik Willems menegaskan Westerling sebenarnya mempelajari cara ini di Inggris. Dan inilah cara Inggris menghadapi pemberontakan komunis di Malaya tahun 1948.

Di lain pihak, Fredrik menegaskan, eksekusi di tempat sebenarnya juga diterapkan oleh satuan-satuan Belanda lain di Indonesia. “Jadi mitos saja kalau itu hanya dilakukan oleh Westerling,” tegasnya. Tapi dia mengakui cara Westerling memang sedikit lain, karena dia mengepung sebuah kampung, dia menginterogasi mereka yang dituduh melakukan pengacauan untuk kemudian langsung dieksekusi. Tapi, sekali lagi ditegaskannya, eksekusi langsung ini juga dilakukan oleh siapa saja, termasuk kalangan Indonesia sendiri. “Keberatan terbesar saya,” demikian Fredrik Willems, “hanya Westerling yang dituduh melakukannya. Padahal ini terjadi di mana-mana dan oleh siapa saja”.

Tak berseragam tapi bersenjata

Hukum perang memang membenarkan eksekusi langsung. Tapi harus ada proses pengadilannya. “Proses pengadilan inilah yang tidak ada dalam cara Westerling,” tegas Fredrik. Hukum perang yang waktu itu berlaku juga membenarkan eksekusi langsung terhadap kalangan tidak berseragam tapi menyandang senjata. Eksekusi ini juga terjadi selama Perang Dunia II, namun, sekali lagi, orang-orang tak berseragam tapi bersenjata ini harus terlebih dahulu diadili. Baru sesudah itu mereka bisa dieksekusi. Proses pengadilan inilah yang tidak selalu ada dalam “Metoda Westerling”. Tapi kalau di antara orang yang ditangkap itu terdapat pasukan TNI, jadi kelompok yang berseragam dan bersenjata, berarti kalangan perlawanan resmi, maka, demikian Willems, Westerling pasti akan menyisihkan orang seperti ini. Mereka juga tidak akan dieksekusi langsung. Terhadap mereka berlaku UU Perang dan itu ditaati oleh Westerling. Dalam penelitiannya Fredrik Willems menjumpai beberapa contoh.

Menariknya hukum perang sebenarnya hanya berlaku kalau pihak-pihak yang bertikai adalah dua negara. Dari kacamata Indonesia memang itu dua negara, Belanda lawan Indonesia, tetapi tidak demikian halnya dengan kacamata Belanda. Waktu itu Den Haag selalu menganggap Indonesia sebagai wilayahnya, apa yang mereka sebut sebagai Hindia Belanda, sehingga sebenarnya tidak diperlukan perlakukan khusus terhadap pasukan TNI. Lagi pula Belanda menyebut Agresi Militernya sebagai politionele actie, aksi polisi, bukan perang, karena memang bagi Den Haag, Indonesia masih merupakan wilayahnya. Fredrik Willems membenarkan hal ini, tetapi dia juga menegaskan bahwa waktu itu untuk wilayah Sulawesi Selatan Belanda sudah memberlakukan hukum darurat perang (staat van oorlog en beleg). Hukum darurat perang inilah yang merupakan kerangka yuridis bagi ekskusi di tempat.

Alasan lain mengapa eksekusi langsung yang diterapkan oleh Westerling tidak dipermasalahkan oleh pemerintah Indonesia adalah bahwa hal itu terjadi sebelum dicapainya Perjanjian Meja Bundar. Salah satu klausula perjanjian itu berbunyi baik Indonesia maupun Belanda tidak akan mempermasalahkan pelbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terjadi sebelum dicapainya persetujuan ini. Karena itu menurut Fredrik Willems Jakarta tidak benar-benar berupaya menangkap Westerling.

Tindakan Westerling yang dipermasalahkan oleh Den Haag adalah kudeta APRAnya yang gagal. Untuk ini pemerintah Belanda sebenarnya sudah mulai mengadakan penyidikan pro-iustitia. Walaupun kemudian tidak dilanjutkan, tetapi penyidikan itu hanya mempermasalahkan peran Westerling pada APRA dan tidak pada kasus-kasus lain, seperti zuiveringsactie (baca: pembunuhan massal) di Sulawesi Selatan.

Westerling antara kanan dengan kiri

Setelah petualangan di Indonesia itu, ketika akhirnya kembali ke Belanda, Westerling tidak pernah memperoleh pekerjaan tetap. Menurut Fredrik, ini karena Westerling tidak akan bisa cocok dengan seorang atasan. Dengan kehidupan yang begitu penuh gejolak, dia tercela dan itulah yang menyebabkan dia kesulitan untuk memperoleh pekerjaan. Di Belanda banyak orang melihat Westerling sebagai pahlawan, tetapi kalangan yang membencinya juga dalam jumlah yang sama banyak. Karena itu Westerling banyak menerima surat yang memakinya sebagai pembunuh. Dari keluarganya, Fredrik Willems menerima arsip pribadi Westerling. Banyak juga orang Belanda yang melihat Westerling sebagai penjahat perang.

Ini disayangkan oleh Fredrik Willems. Dua aliran, kanan dan kiri itu, begitu bertentangan, terutama pada tahun 1950an dan 1960an. Pertentangan itulah yang mewarnai gambaran orang tentang Westerling. Bagi media massa kiri Westerling adalah simbul tindakan Belanda yang paling kejam di Indonesia. Dia juga dianggap bertanggung jawab bagi semua kejahatan perang. Sementara itu kalangan kanan melihat Westerling sebagai pemberani yang tegas dalam mengambil keputusan. Karena pertentangan kanan kiri ini, Westerling yang sebenarnya tidak memperoleh kesempatan tampil. Dia juga dianggap sebagai orang yang bertindak sendirian, lebih dari itu sebagai orang Turki, hanya karena dibesarkan di Istambul tapi ayahnya Belanda dan ibunya keturunan Yunani. Ini berarti dia tidak dilihat sebagai orang Belanda. Inilah cara orang Belanda mengelak tuduhan terlibat dalam aksi pembunuhan di Sulawesi Selatan. Itu kelakuan si Turki dan dia bertindak sendirian. Begitu pula kudeta APRA yang dilakukan oleh Westerling.

Fredrik Willems tidak bersedia berkomentar mengenai gugatan beberapa korban dan ahli waris mereka yang sekarang tengah berlangsung di pengadilan Belanda. “Saya bukan yuris,” katanya. Tetapi Willems mempertanyakan, setelah gugatan ini dan vonis bagi korban Rawagede, bagaimana dengan korban-korban di daerah lain? “Saya tidak mengerti kenapa harus ada pembedaan itu, semua korban dan ahli waris korban kekerasan Belanda harus bisa mengajukan gugatan”. Di sini dia mempertanyakan apakah gugatan pribadi itu memang benar-benar jalan yang tepat.

Kalau salah satu klausula perjanjian Meja Bundar membebaskan Belanda dan Indonesia dari saling menggugat soal kekejaman yang terjadi sebelumnya, tidaklah jelas bagi Fredrik Willems bagaimana korban atau ahli waris mereka bisa mengajukan gugatan. Ia menduga klausula itu hanya berlaku bagi pemeritah Belanda dan pemerintah Indonesia. Karena itu rakyat Indonesia tetap berkesempatan untuk mengajukan gugatan di pengadilan. Di sini Willems kembali menekankan bahwa dirinya tidak tahu banyak masalah pengadilan, karena itu pendapatnya tidak punya bobot. Yang terpenting baginya adalah bagaimana nasib korban di wilayah lain, setelah Rawagede dan Sulawesi Selatan. Menurutnya korban-korban di tempat lain juga tetap berhak mengajukan gugatan. Demikian pula korban Belanda atau kalangan orang Indo ketika pecah apa yang mereka sebut sebagai “Periode Bersiap”.

Kalau mau menghindari gugatan pengadilan, apalagi gugatan pengadilan silang antara Indonesia dan Belanda, Fredrik Willems mengusulkan dibentuknya semacam komisi kebenaran. Di sini Belanda bisa membuka masalah yang selama ini tidak diakuinya, demikian pula, mungkin, Indonesia. Tapi dia mengakui hal ini sangatlah pelik.

Westerling tak pernah buka mulut

Pangkat terakhir Westerling sebelum keluar dari dinas aktif militer adalah kapten. “Ini menarik,” ujar Fredrik. Seharusnya dia sudah berpangkat letnan kolonel. Ini artinya dia tidak pernah naik pangkat sesudah kegiatannya di Sulawesi Selatan. Kasusnya terlalu peka, tunjuk Willems. Sudah berkali-kali dia diusulkan untuk menerima penghargaan. “Termasuk Pangeran Bernhard ikut campur tangan,” jelas Fredrik, “Dalam bentuk surat kepada Jenderal Simon Spoor”. Di sini terlihat betapa Bernhard bersahabat dengan Westerling yang dinilainya sebagai prajurit teladan, misalnya dalam operasi di Medan. Peran Bernhard inilah yang menyebabkan kenaikan pangkat Westerling terkatung-katung, dan, lebih penting lagi, kasus APRA tidak pernah dibuka.

Fredrik Willems kaget betapa kasus ini sudah 60 tahun didiamkan dan tidak pernah beres. “Mungkin saya terlalu naif, menganggap pemerintah Belanda selalu menyatakan apa adanya. Saya juga beranggapan pers atau sejarawan Belanda sudah menulis tentang hal ini. Tetapi sebagai sejarawan sederhana saya justru mendapati bahwa anggapan ini tidak benar. Makanya saya langsung berpikir, apa lagi yang mereka sembunyikan”. Willems berharap ia bisa mengungkap sebanyak mungkin rahasia dalam buku yang sekarang masih ditulisnya.

Satu hal yang menarik bagi Willems adalah bahwa Westerling sebenarnya tidak pernah menekan atasannya, termasuk Pangeran Bernhard atau pemerintah Belanda, padahal, dalam kasus APRA misalnya, dia bisa berbuat demikian. “Ini sesuatu yang istimewa pada diri Westerling. Kalau dia sampai buka mulut maka peran pejabat Belanda termasuk peran Pangeran Bernhard akan diketahui umum. Di lain pihak, sekembali dari Indonesia, Westerling tak henti-hentinya menjadi sasaran tudingan penjahat perang. Ini berlainan dengan anggapan publik Indonesia bahwa Westerling adalah seorang pahlawan. Tidak sedikit kalangan di Belanda yang menganggap Westerling sebagai penjahat perang. Tapi dia tidak pernah mengungkapkan versinya, Willems menilai Westerling sepertinya taat pada sumpah prajurit untuk tetap tutup mulut. Padahal hidupnya di Belanda tidak begitu berhasil, ia tidak pernah punya karier atau pekerjaan tetap. “Mungkin inilah jiwa keprajuritannya, sekali berjanji ia terus menepati janji itu dan tidak membocorkannya,” tutur Fredrik. Ia menambahkan, “Kalau saya Westerling, pasti saya akan buka semua kasus itu.” Tapi justru itu yang tidak dilakukan Westerling. Sejarawan ini juga menunjuk bahwa bukan hanya di Belanda muncul kalangan yang kesulitan kalau Westerling buka mulut, tapi juga pejabat tinggi di Indonesia.

Fredrik menempatkan Westerling dalam kerangka politik, ia juga berada dalam hirarki militer dan terlibat dalam apa yang disebutnya perang a-simetris, yaitu perang gerilya. Hanya dengan begitu dia bisa melihat munculnya perlawanan dan, lebih dari itu, terjadinya pelbagai tindakan keji. Dan itu terjadi timbal balik, artinya tidak hanya dilakukan oleh tentara Belanda terhadap tentara Indonesia, tetapi juga sebaliknya. Tidak hanya di Indonesia selama perang kemerdekaan, tetapi juga di Vietnam, dan tak ketinggalan di Timor Leste juga. Karena itu apa yang dilakukan oleh tentara Belanda bukanlah sesuatu yang istimewa. Kedua pihak sama-sama melakukan kekejaman. “Inilah yang menyedihkan,” kata Fredrik. Baginya perang kemerdekaan Indonesia itu sebenarnya tidak perlu terjadi kalau pemerintah Belanda bersikap jujur dan secara terbuka berunding dengan Soekarno. Apapun tuduhan yang ditudingkan Belanda terhadapnya, Willems melihat Soekarno sebagai seorang pejuang kemerdekaan. Itu berarti Indonesia melancarkan perjuangan yang sah. “Kalau Belanda tidak melancarkan kebijakan yang begitu reaksioner, pasti jalan sejarah akan lain,” tandas Fredrik Willems.

Ikuti tulisan menarik JOSS WIBISONO lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler