x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membelah Bulan

Sastra puisi pada dinding facebook Rose Widiyanto

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Membelah Bulan

Penulis: Resmiyati

Tahun Terbit: 2016

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Cipta Prima Nusantara 

Tebal: xxii + 340

ISBN: 978-602-8054-70-6

 

 

Kepada langit yang menyimpan takdir.

Izinkan aku sedikit menyingkap awan.

Untuk mengintip untaian doanya.

Agar kudapati lipuran lara,

atas rindu yang seharian ini

tak jera menggoda

 

Puisi berjudul “Rindu” ini mewakili krenteg Resmiyati untuk mengungkap uneg-unegnya. Ia perlu meminta izin kepada langit yang menyimpan takdir. Meminta izin untuk menyingkap awan, meski sedikit saja. Mencoba mencari makna terhadap kejadian-kejadian yang tiba-tiba berseliweran di depan dirinya. Kejadian-kejadian yang muncul seenaknya itu menggelisahkan Resmiyati. Itulah sebabnya kejadian-kejadian itu harus dibahasnya, dikomentarinya, direnungkannya dan disuarakannya.

 

Uneg-uneg yang berasal dari hal-hal yang diamatinya setiap hari dituangkan dalam baris-baris kata di dinding facebook. Gaya berstatus Resmiyati ini sungguh langka. Sebab biasanya status facebook tak jauh-jauh dari memuja diri, memaki sesuatu yang tak disukai dan menyebar berita yang sembilanpuluh sembilan persen tak jelas kebenarannya. Alih-alih menggunakan dinding facebooknya untuk memuja diri atau menebar kebencian, Resmiyati mengajak teman-temannya merenung dan menikmati bait-bait puitik yang disusunnya.

 

Apa sajakah yang mengusik benak Resmiyati? Apa saja yang berseliweran akan mengusik benaknya dan menggerakkan jari-jarinya di atas notebook. Lihatlah sajak “Krawu Intip” yang lahir dari suasana hujan seharian. Hujan seharian itu mengulik benaknya untuk mengingat nikmatnya krawu intip buatan embok saat dinikmati sambil mendengarkan cerita Kancil Nyolong Timun yang didongengkan oleh bapaknya. Pada tema-tema cinta dan kesetiaan dia bercerita tentang bulan setampah yang cinta mati dengan mentari. Meski keduanya tak mungkin saling berpelukan. Atau kisah pisah ranjangnya yang hanya bertahan tiga malam. Soal-soal pendidikan mengalir deras, karena Resmiyati adalah seorang guru. Sebagai perempuan tentu dia memuisikan keperempuanan. Tapi tak lupa mengusik kelelakian juga. Sebagai insan yang hidup di negeri bhineka tunggal ika, renungan tentang keberagaman muncul menggema menggugat intoleransi yang menganga.

 

Meski kelihatan galak dan berpikiran bebas, Resmiyati tetaplah perempuan Jawa. Dalam bertutur ia berangkat dari tata karma seorang perempuan Jawa. Lihatlah renungannya dalam “Honest is The Best Policy”. Meski ia memecahkan piring, tetapi cara pandangnya tetaplah sebagai istri dalam tradisi Jawa. Demikian juga saat dia menyikapi surat yang terkirim di sela-sela masa KKN. Kelihatan sekali sikapnya sebagai seorang perempuan Jawa masih sangat medhok.

 

Baris-baris kata yang disusun dalam bait-bait puisi oleh Resmiyati memang nyastra. Benarkah itu puisi? Mas Prie GS tak meragukannya. Menurut Mas Prie, meski puisi-puisi ini pasti ditolak oleh H.B Jassin dan pasti tak akan lolos dari redaktur Horison, namun tetap saja karya-karya Resmiyati ini memang ­nyastra. Istilah keren yang disematkan oleh Mas Prie adalah puisi yang lahir dari kehendak bebas. Bukti lain bahwa karya Resmiyati memang nyastra, beberapa puisinya dibaca di Rumah Budaya Tembi oleh para dedengkot sastra pada hari Kamis 18 Agustus 2016 lalu.

Meski mulanya diunggah di dunia maya, namun karya-karya ini tak kehilangan nilainya sebagai sebuah karya sastra. Bukankah sastra cyber memang telah berhasil menjungkir-balikkan bangunan lama sastra yang dibelenggu oleh tembok-tembok ilmu? Kini saatnya semua pihak berkontribusi dalam sastra. Masing-masing pihak tak bisa dibendung untuk mengunggah karyanya dalam dunia maya. Tak terbatas dan tak terbendung, tak perlu juga sudah punya nama.

 

Namun mengapa Resmiyati akhirnya memilih untuk mendokumentasikan karya-karyanya dalam sebuah buku? Tidak cukupkah dinding facebook menyuarakan kegelisahannya kepada langit? Masihkah dibutuhkan wahana lain untuk menyingkap awan di balik doa? Harus diakui bahwa sebagian diri kita masih berada di masa sebelum milenia. Sehingga perlu wahana yang bisa membawa kita kembali ke sana untuk bernostalgia. Bukankah begitu Rose? Awas ya jangan dijawab pertanyaanku dengan puisi lagi.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler