x

Iklan

mohammad mustain

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menunggu Harta Konglomerat Tax Amnesty

Program tax amnesty dinilai melenceng sehingga meresahkan masyarakat, sementara harta konglomerat besar tak kunjung datang. Perlukah diperpanjang?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

foto: netralitas.com

 

Pelaksanaan program pengampunan pajak (tax amnesty) yang diwarnai ketidakjelasan sasaran, sehingga menimbulkan gejolak dan penolakan di masyarakat, mengindikasikan belum adanya pemahaman yang benar atas program ini. Sementara itu harta para konglomerat besar juga tak kunjung datang, sehingga timbul kesan program ini telah menyasar kelompok ekonomi yang salah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perlukah ada perpanjangan waktu agar program ini tersosialisasi dengan baik, dan aparat pajak paham benar sasaran dan tujuan program ini? Pertanyaan ini perlu jadi pertimbangan pemerintah agar program pengampunan pajak berjalan tepat sasaran walaupun diterpa pesimisme karena target uang tebusan Rp 165 triliun yang dinilai terlalu tinggi.

Belum adanya pemahaman atas tujuan dan sasaran dan tujuan program ini, menyebabkan antara lain menjadikan petani, pensiunan, penerima warisan yang menganggur dan tak punya penghasilan, sebagai objek pengampunan pajak oleh petugas pajak. Pemahaman yang keliru juga menjadikan program ini seolah sebagai kewajiban padahal sebenarnya merupakan pilihan yang bisa diambil atau tidak.

Ketidakjelasan program ini juga seolah melupakan niatan awal program ini adalah untuk menarik dana ribuan triliun milik WNI yang diparkir di luar negeri, yang tak dilaporkan ke negara. Kepada mereka ditawarkan pengampunan, dengan deklarasi dan repratiasi harta kekayaan dengan membayar uang tebusan.

Memang program ini juga berlaku pada harta WNI yang berada di dalam negeri. Namun jelas, tidak pernah ada terlontar pernyataan yang menyebut harta itu milik warga kecil sekelas pensiunan, petani, nelayan, atau penerima warisan yang menganggur. Jika kini muncul masalah seperti itu tentu menunjukkan ada yang tak benar dalam pelaksanaan program ini.

Banyak pendapat telah diutarakan terkait persoalan ini yang intinya mempertanyakan pemahaman petugas pajak atas sasaran dan tujuan program ini. Selain itu, waktu yang mepet antara saat disahkannya program ini dan pelaksanaannya tidak memberikan waktu yang cukup untuk melakukan sosialisasi program ini, tak hanya ke masyarakat namun juga ke petugas yang mengeksekusi program ini.

Fuad Bawazier pada acara Indonesia Lawyer Club, Selasa (30/8/2016) malam, menyatakan agar program pengampunan pajak berjalan dengan baik, diperlukan perpanjangan waktu setidaknya tiga bulan. Waktu itu diperlukan untuk sosialisasi ke masyarakat. 

Perpanjangan waktu itu juga diperlukan agar Ditjen Pajak bisa mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Petugas pajak dari pusat hingga daerah harus paham benar mengenai program ini. Ditjen Pajak juga harus mempersiapkan rencana detil program ini, baik sasaran real, produk perundangan dan persyaratan administratif yang diperlukan.

Wapres Jusuf Kalla juga mengakui ketidakjelasan sosialisasi program ini ke masyarakat. Akibatnya pelaksanaan pengampunan pajak menimbulkan banyak masalah. Karena itu, dia menilai sosialisasi program ini perlu diperjelas. Sasaran utama program ini adalah pengusaha dan pemilik aset besar yang selama ini tidak bayar pajak. (tempo.co, 31/8/2016)

Ketua DPR Ade Komarudin juga mempertanyakan pelaksanaan program pengampunan pajak yang membuat masyarakat resah. Dia menilai ada yang salah dalam sosialisasi program ini, masyarakat yang seharusnya tidak masuk dalam sasaran program ini justru dipaksa ikut. Akibatnya masyarakat resah dan merasa dizalimi.

Munculnya gugatan ke MK dinilainya karena sosialisasi program ini yang menyimpang. Ade Komarudin menilai seharusnya pemerintah fokus ke pengusaha dan pemilik aset di luar negeri. Mereka harus diberi kesadaran agar merepratiasi hartanya ke Indonesia sesuai perintah UU. (kompas.com, 30/8/2016)   

PERLUKAH TAX AMNESTY DIPERPANJANG?

Meski ada masalah pada sosialisasi program.pengampunan pajak, yang beraneka macam itu, gagasan memperpanjang program ini untuk menambah waktu sosialisasi belum muncul dari pihak pemerintah. Program pengampunan pajak memang telah terjadwal dalam UU No 11 Tahun 2016 yang ditandatangani Presiden Jokowi 1 Juli 2016 lalu.

Dalam pasal 4 UU ini, disebutkan tiga periode pelaksanaan deklarasi dan repratiasi harta wajib pajak dan uang tebusan yang harus dibayar. Periode I dimulai 1 Juli hingga 30 September 2016, periode II dimulai 1 Oktober hingga 31 Desember 2016, periode III dilmulai 1 Januari hingga 31 Maret 2017.

Periode ini diikuti oleh jumlah uang tebusan yang harus dibayar wajib pajak. Mereka yang mendeklarasikan dan merepratiasi hartanya pada periode I diharuskan membayar uang tebusan 2 persen. Yang tak melakukan repratiasi harus bayar tebusan 4 persen. Periode II uang tebusannya 3 persen dan 6 persen, periode III uang tebusannya 5 dan 10 persen.

Uang tebusan itu sudah masuk target APBN, artinya uang itu benar-benar dibutuhkan dan waktunya tentu harus sesuai waktu anggaran yang berjalan. Karena itu, kalau pelaksanaannya diperpanjang, tentu akan mempengaruhi waktu masuknya uang tebusan ke anggaran.

Masalahnya, apakah penjadwalan itu benar-benar harus tetap dilaksanakan karena sudah diatur UU? Tidak adakah celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk memungkinkan perpanjangan waktu untuk keperluan sosialisasi? Masalah ini tampaknya harus dikaji. Meskipun tidak harus tiga bulan seperti usulan Fuad Bawazier, perpanjangan waktu untuk sosialisasi sangat diperlukan.

Memang Direktorat Jenderal Pajak tampak sudah berusaha mengatasi kesimpangsiuran pemahaman program ini, misalnya dengan keluarnya Peraturan Dirjen Pajak (Per-11/DJ/2016) tertanggal 29 Agustus 2016. Peraturan Dirjen ini merupakan penjabaran dari UU No 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.

Peraturan Dirjen Pajak itu menegaskan wajib pajak perorangan seperti petani, nelayan, pensiunan, tenaga kerja yang pendapatannya di bawah penghasilan tidak kena pajak, dapat tidak mengikut program pengampunan pajak. WNI tang sudah 183 hari tinggal di luar negeri dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia dapat tidak mengikuti program pengampunan pajak.

Soal warisan dan dana hibah, jika penerimanya tidak bekerja atau penghasilannya di bawah penghasilan tidak kena pajak, tidak masuk objek pengampunanan pajak. Demikian juga warisan dan dana hibah yang sebelumnya sudah dimasukkan dalam SPT pemberi waris atau pemberi hibah, juga tidak masuk objek pengampunan pajak.

Soal harta dari penghasilan yang sudah dikenai pajak penghasilan dan harta dari penghasilan yang bukan objek pajak, wajib pajak dapat melalukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPTPP) atau melaporkan harta tersebut dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPPT).

Apakah Peraturan Dirjen Pajak itu serta merta berhasil menghentikan kerisauan wajib pajak, UMKM, dan msyarakat? Tampaknya belum sepenuhnya efektif. Masih banyak pertanyaan dan kegelisahan umpamanya dari kalangan UMKM. Mungkin saja penghasilannya dan harta pengusaha UMKM memenuhi syarat untuk terkena pajak, namun perusahaan itu belum sehat benar. 

Karena itu, memang masih diperlukan lagi sosialisasi yang lebih intens termasuk kepada aparat pajak sampai tingkat kabupaten. Tentunya harus ditegaskan kembali tujuan program pengampunan pajak ini, yaitu:

- mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi;

- mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebib valid, komprehensif, terintegrasi;

- meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan. (Penjelasan UU No 11 Tahun 2016)

Jika mengacu pada tujuan itu, memang tidak salah untuk memperluas basis data perpajakan, dengan menambah jumlah wajib pajak yang relatif sangat kecil dibanding jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Namun, tetap saja diperlukan kriteria yang berkeadilan sehingga masyarakat tidak merasa dizalimi.

MENUNGGU HARTA KONGLOMERAT TAX AMNESTY

Sejak awal rencana digulirkannya program pengampunan pajak memang yang disebut hadi sasaran utama adalah pengusaha dan konglomerat berharta banyak yang tak melaporkan hartanya, khususnya yang disimpan di luar negeri. Mereka yang berharta ribuan triliun iniah yang jadi sasaran utama, dengan harapan ada dana repratiasi dan bayar uang tebusan untuk menyokong APBN.

Adalah menarik menyimak pernyataan Ketua DPR Ade Komaruddin yang mempertanyakan, benarkah pemerintah tidak berdaya menghadapi konglomerat besar yang jadi target utama. Apakah Direktorat Jenderal Pajak merasa takut atau ditakut-takuti oleh konglomerat besar itu, sehingga akhirnya melampiaskan ketidakberdayaannya dengan menyasar golongan masyarakat yang justru bukan target program ini.

Konglomerat besar dan orang berharta yang memiliki kekayaan di luar negeri namun tak dilaporkan ke Ditjen Pajak, menghindari kewajiban membayar pajak ke negara, yang disebut harta dan asetnya senilai Rp 11,45 ribu triliun, sejak UU Pengampunan Pajak baru berupa RUU dan dibahas di DPR, memang sasaran utama program ini. Angka Rp 11,45 ribu triliun itu adalah angka versi Departemen Keuangan, versi BI lain lagi lebih kecil jumlahnya, hanya Rp 3.147 triliun.

Merujuk BI yang mengacu data Global Financial Integritu (GFI) pada 2015, potensi dana yang direpratiasi sekitar Rp 560 triliun, dengan besar pemasukan tebusan sekitar Rp 45,7 triliun. Namun, di pemerintah ternyata angkanya jauh lebih besar yaitu Rp 165 triliun, sesuai perhitungan Departemen Keuangan, mengacu pada jumlah Rp 11,45 ribu triliun itu.

Banyak pihak yang pesimis target Rp 165 triliun yang dipatok pemerintah. Tak terkecuali Sofyan Wanandi, ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia. Pihaknya merasa tak pernah menjanjikan angka pemasukan sebesar itu. Dia hanya dimintai perkiraan yang disebutnya hanya berkisar antara Rp 60 triliun - Rp 80 triliun

Para konglomerat itulah yang ditawari pengampunan, diberi kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar dengan mencatatkan kekayaannya ke negara. Mereka diharapkan mau membawa pulang kekayaannya untuk membangun negeri ini. Kalau tidak mau repratiasi, setidaknya mereka mau deklarasi harta kekayaannya itu dan membayar uang tebusan ke negara. 

Sekarang, setelah memasuki bulan September dan harta yang dideklarasi baru mencapai Rp 149 triliun, dengan uang tebusan mencapai Rp 3,12 triliun dari target Rp 165 triliun. Dari jumlah deklarasi harta dalam negeri mencapai Rp 118 triliun. Sementara yang dari luar hanya Rp 21,2 triliun dan yang direpratiasi Rp 10 triliun.

Angka-angka itu memang masih jauh dari target, sementara periode I dengan uang tebusan terkecil yaitu 2 persen untuk harta di dalam negeri atau direpratiadi, dan 4 persen untuk yang hanya deklarasi, tinggal satu bulan. Karena itulah wajar jika ada yang mempertanyakan para konglomerat berharta besar itu kok masih adem-adem saja.

Memang terlalu cepat untuk pesimis. Program pengampunan masih akan berjalan sampai akhir Maret 2017, atau masih tujuh bulan lagi. Sikap optimis tetap harus dijaga walau terus terang tetap menimbulkan harap-harap cemas.

Sofyan Wanandi ketua Dewan Pertimbangan Apindo, termasuk yang optimis dana repratiasi dalam jumlah besar akan segera masuk September ini. Dia menyebut ada Rp 1.000 triliun dana repratiasi segera masuk, 60 sampai 70 persennya masuk September ini. 

Optimismenya itu bukannya tanpa alasan. Apindo telah mengumpulkan 120 pengusaha kakap dan mereka semua telah menyatakan komitmennya untuk ikut program pengampunan pajak. Para pengusaha ini menyatakan akan mulai deklarasi dan repratiasi hartanya pada September ini.

Mengacu pada pernyataan Sofyan ini, pernyataan Ketua DPR Ade Komarudin soal konglomerat ini terjawab sudah. Meski demikian, kalau ada yang menilai program pengampunan pajak ini terlalu cepat jalannya, kurang persiapan, kurang sosialisasi, kurang juklak dan juknis untuk panduan petugas pajak, ada benarnya

Akibatnya, muncul gejolak keresahan, dan bahkan gugatan ke MK yang sangat mungkin didasari ketidakpahaman dan akibat dari penyimpangan pelaksanaan program ini. Hal itulah yang menjadikan pendapat perlunya tambahan waktu sosialisasi, harus dipertimbangkan.

Soal perdebatan bahwa program ini tidak adil, karena terlalu mengistimewakan pemilik harta besar yang tak taat pajak, seharusnya perdebatannya sudah selesai. Program ini tak sekedar mengampuni para pemilik harta besar, namun ada tujuan yang lebih besar, yaitu pembangunan ekonomi dan sistem perpajakan yang lebih sehat.

Program ini juga tidak memberi efek kebal terhadap koruptor yang mengikuti pengampunan pajak karena tak ada satu pasal pun yang menyatakan KPK atau penegak hukum dilarang menyelidiki kasus korupsi pengikut program pengampunan pajak. Yang ada hanya soal kerahasiaan data wajib pajak, yang tak bisa diakses oleh para penegak hukum itu.

Akhirnya, optimisme atas program pengampunan pajak tetap harus dijaga. Namun sungguh tak elok jika menganggap program ini telah berjalan baik-baik saja. Masih banyak yang harus dilakukan termasuk mendidik petugas pajak. Jangan sampai muncul pertanyaan, ada apa dengan Direktorat Jenderal Pajak?

 

 

Salam.

Bacaan pendukung:

https://bisnis.tempo.co/read/news/2016/08/31/090800411/wapres-jk-sosialisasi-tax-amnesty-tidak-jelas

http://nasional.kompas.com/read/2016/08/30/12004501/uu.tax.amnesty.digugat.ketua.dpr.menilai.ada.yang.salah.dalam.sosialisasi

http://nasional.kompas.com/read/2016/08/31/19171261/implementasi.uu.tax.amnesty.dinilai.telah.membahayakan.usaha.kecil-menengah

http://nasional.kontan.co.id/news/harta-repatriasi-september-diramal-rp-700-triliun

 

Ikuti tulisan menarik mohammad mustain lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler