x

Iklan

marwan mas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mendesain Pilkada Bermartabat

Pilkada langsung dan serentak akan dilaksanakan untuk kedua kalinya pada Februari 2016, yang diharapkan lebih bermartabat dan demokratis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mendesain Pilkada Bermartabat

Oleh Marwan Mas

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar

       Pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung oleh rakyat diselenggarakan sejak Juni 2015 berdasarkan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mengacu pada rangkaian pilkada yang dianggap berbiaya besar, tidak efektif dari segi waktu, serta kurang bermartabat lantaran penuh dengan kecurangan dan politik uang, maka digagaslah pilkada serentak dalam tiga gelombang. Dalam pilkada serentak gelombang pertama pada Desember 2015 menggunakan UU Nomor 1/2015 yang diubah dengan UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

       Pilkada serentak gelombang kedua dilaksanakan pada Februari 2016 dengan mengggunakan UU Nomor 10/2016 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Untuk gelombang ketiga direncanakan pada Juni 2018, kemudian pilkada serentak secara nasional akan digelar mulai tahun 2027. Partai politik selaku institusi yang diberi hak konstitusional mengajukan calon kepala daerah, selain calon perseorangan (independen) diharapkan mengajukan calon yang betul-betul sesuai dengan harapan dan kebutuhan rakyat.

       Rangkaian pilkada serentak pada hakikatnya diharapkan lebih bermartabat karena sejak penyelenggaraan sampai pada terpilihnya kepala daerah dilaksanakan secara demokratis. Tidak ada lagi kecurangan sistematis, terstruktur, dan masif seperti disinyalir Mahkamah Konstitusi. Politik uang sebagai salah satu pemantik yang merendahkan martabat pilkada pada akhirnya tidak akan membawa perbaikan bagi kehidupan rakyat di daerah. Sebab setelah terpilih, kepala daerah yang melakukan politik uang dan beragam kecurangan justru berimplikasi pada meningkatnya perilaku korupsi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

       Catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai Agustus 2016 menyebutkan, sebanyak 361 kepala daerah hasil pilkada langsung terjerat kasus korupsi (TVOne, 11/8/2016). Mereka diproses hukum karena menjadikan APBN dan perizinan tambang dan berbagai perizinan lainnya dijadikan sebagai bancakan mencari keuntungan dan menebus uang pilkada yang dikeluarkan. Pengusaha kelas kakap yang menjadi penyandang dana pilkada diberi fasilitas jalan tol untuk memperoleh proyek yang dibiayai APBN dan APBD, tanpa melalui proses lelang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Itu salah satu model “balas jasa” oleh oknum kepala daerah yang terpilih, yang ternyata merugikan kepentingan rakyat.

Kemandirian KPU

       Pada pilkada serentak gelombang kedua dilaksanakan pada 101 daerah dengan rincian 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Namun, perhelatan demokrasi di daerah itu terancam tidak tepat waktu sesuai rencana karena kabarnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana mengundurnya akibat belum lengkapnya pengaturan pilkada seperti Peraturan KPU.

       KPU sedang menyusun peraturan teknis pelaksanaan yang harus dikonsultasikan bersama dengan DPR dan pemerintah. Keputusan rapat konsultasi menurut Pasal 9 huruf-a UU Pilkada yang baru Nomor 10/2016 mnegaskan, bahwa “keputusan rapat konsultasi bersifat final”. Artinya, KPU dalam membuat peraturan teknis pilkada terikat dan wajib mengikuti keputusan rapat konsultasi dengan DPR dan pemerintah.

       Ini salah satu yang dikhawatirkan dapat menghambat penyelenggaraan pilkada tepat waktu sesuai rencana, lantaran KPU selaku pelaksana teknis bisa tidak sejalan dengan kehendak DPR dan pemerintah. Dipahami kalau DPR selaku lembaga politik yang sangat berkepentingan dengan pilkada, bisa mendesain kehendaknya untuk kepentingan politiknya dalam pilkada. Pemerintah pun demikian, meski tidak sebesar kepentingan politisnya dengan anggota DPR.

       Sepertinya KPU selaku penyelenggara tidak akan sepenuhnya “mandiri” dalam merancang dan menetapkan Peraturan KPU. Padahal, Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945 menegaskan bahwa “KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Hal itu diperkuat dalam Pasal 1 butir-6 UU Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu, bahwa KPU selaku penyelenggara pemilu bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas menyelenggarakan pemilu.

       Jika kemandirian KPU direcoki dengan kepentingan pragmatis, pada gilirannya KPU jugalah yang akan kena getahnya. KPU akan dikecam publik kalau terjadi kecurangan, politik uang, dan kekisruhan administrasi. Peraturan KPU tentang pelaksanaan teknis pilkada bisa saja mengakomodir kepentingan partai politik akibat tekanan dalam rapat kosultasi yang keputusannya mengikat dan harus diikuti KPU.

       Salah satu yang diperdebatkan saat konsultasi Rancangan Peraturan KPU terkait pencalonan kepala daerah, adalah syarat bagi calon kepala daerah yang pernah dijatuhi pidana. Memang ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan calon kepala daerah yang pernah dijatuhi pidana dan telah dijalani, harus menyampaikan ke publik bahwa dia pernah dijatuhi pidana. Semua itu dimaksudkan agar ada kejujuran dalam mencalonkan diri, sehingga rakyat pemilih bisa menentukan pilihan sesui hati nurani dan dapat dipercaya melaksanakan amanah.    

Berintegritas, Tidak Bermental Korup

       Kita ingin rakyat pemilih di daerah diberi pilihan yang luas, tetapi calon yang diajukan partai politik, termasuk calon perseorangan (independen) bukan calon asal-asalan, tetapi memiliki track record dan integritas yang baik. Bukan calon yang pernah menjalani pidana lebih dari lima tahun sesuai putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, apalagi kejahatan yang dilakukan itu korupsi, narkoba, teroris, atau pelecehaan seksual.

       Demokrasi dalam pilkada hanya bisa terjaga, antara lain apabila calon kepala daerah yang diajukan betul-betul bersih dari persoalan hukum. Bebas dari potensi melakukan politik uang dengan beragam modus operandi, mengintimidasi pemilih, atau kongkalikong dengan penyelenggara di tingkat TPS, Desa, dan Kecamatan untuk mencuri suara rakyat yang memilih calon lain. Ini salah satu modus yang selalu terjadi pada hampir setiap pilkad, tetapi anehnya belum mampu sepenuhnya dicegah dan diberantas secara tuntas.

       Memilih pemimpin daerah yang punya kompetensi, berintegritas, dan “tidak bermental korup” memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sejarah pemilu di republik ini sudah membuktikan bahwa persoalan kecurangan dan politik uang selalu menghantui pencapaian demokrasi yang sesungguhnya. Itu salah satu kelemahan “demokrasi langsung (demokrasi liberal)” lantaran semua peserta hanya berburu kemenangan dengan beragam cara yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan dan etika berdemokrasi.

       Kita belum mampu menyelenggarakan pemilu yang betul-betul demokratis dengan bertumpu pada enam aspek utama penyelenggaraan pemilu yang ditegaskan dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945, yaitu “langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Asas ini merupakan landasan utama penyelenggaraan pemilihan umum yang diharapkan menjadi acuan penyelenggara, pemerintah, dan peserta pilkada.

       Pilkada serentak gelombang kedua harus diawasi dengan baik dan progresif. Maka itu, perlu mengapresiasi langkah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang merilis Indeks Kerawanan Pilkada (IKP) 2017. IKP merupakan identifikasi potensi pelanggaran pilkada dalam bentuk skoring numerik (indeksasi). Ia dimaksudkan agar memudahkan interpretasi data kualitatif menjadi lebih terukur secara kuantitatif.

       IKP 2017 Bawaslu menyebut 3 provinsi dengan tingkat kerawanan tinggi yaitu Papua Barat, Aceh, dan Banten. Untuk kabupaten/kota ada 4 dengan tingkat kerawanan tinggi, yaitu Tolikara, Intan Jaya, Nduga, dan Lanny Jaya. Bahkan 44 daerah masuk kategori sedang dan 50 lainnya berkategori rendah. Mendesain pilkada bermartabat harus diiringi pengawasan ketat oleh penyelenggara pilkada, pemerintah daerah, kandidat, tim sukses, dan aparat keamanan. Lebih penting lagi mengikutkan stakeholders dalam masyarakat yang nantinya akan menikmati kinerja kepala daerah terpilih.(*)

      Makassar, 4 September 2016

Ikuti tulisan menarik marwan mas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB