x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Benar, dan Karena Itu Indah

Sejumlah teori fisika, yang dirumuskan secara matematis, bahkan dianggap ‘terlalu indah untuk salah’.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Apakah benar itu indah? Bagi banyak orang, kebenaran dan keindahan mungkin dua hal yang berbeda. Namun Steven Weinberg, peraih Hadiah Nobel Fisika 1979, meyakini bahwa “kebenaran itu indah.” Bagi para fisikawan, persamaan mashur Albert Einstein, E=mc2, tidak ubahnya puisi. Bagi Einstein sendiri, keindahan merupakan syarat utama bagi setiap teori (fisika) bila mau dianggap serius—adakah teori fisika yang main-main?

Keyakinan bahwa teori mengenai alam semesta mesti indah bahkan menjadi pemandu yang amat berharga bagi para fisikawan; ia sejenis bintang kutub. Weinberg percaya, meningkatnya keindahan teori-teori fundamental mengenai materi menandakan bahwa para fisikawan telah berada di ambang penemuan teori pamungkas yang sanggup menjelaskan setiap hal (Weinberg, Dreams of a Final Theory, 1993).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selama puluhan tahun Weinberg memburu teori pamungkas yang juga diangankan dan diburu oleh Einstein di sepanjang 25 tahun terakhir kehidupannya, namun tak kunjung ia jumpai. Bahwa keindahan adalah bintang kutub yang memandu perburuan itu, Weinberg berbagi keyakinan dengan Einstein. Hans, anak tertua Einstein, suatu kali mengatakan, karakter ayahnya lebih menyerupai seniman ketimbang ilmuwan. “[Bagi Einstein], pujian tertinggi untuk teori yang baik bukanlah bahwa teori itu benar dan bukan lantaran teori itu eksak, melainkan karena teori itu indah,” ujar Hans.

Fisikawan Paul Dirac berpandangan serupa. Dalam sebuah seminar di Moskow (1955), ketika diminta untuk meringkaskan filsafat fisikanya, Dirac menulis di papan dalam huruf-huruf besar: "Hukum fisika mesti menghadirkan keindahan matematis."

Soalnya kemudian, keindahan macam apa? Secara tak langsung jawabannya diberikan oleh Stephen Hawking yang menyebutkan bahwa satu-satunya persamaan yang tak bisa ia tiadakan dari naskah The Brief History of Time ialah E=mc2. Narasi yang ia kisahkan dalam buku laris itu akan berkurang bobotnya bila persamaan Einstein itu dihapus. Dan Hawking tetap mencantumkannya karena alasan kesederhanaan persamaan itu, yang hanya terdiri atas lima simbol: E, =, m, c, dan 2. Sederhana, tanpa hiasan berlebihan.

Keindahan itu juga bermakna praktis. Laiknya keindahan kuda pacu, yang indah secara fisik-estetis sekaligus mampu memenangi pacuan di lintasan, keindahan suatu teori bergantung pula pada kedigdayaannya memberi penjelasan tentang bagaimana alam bekerja. Persamaan ini indah lantaran mampu membangkitkan keriangan seperti yang dijumpai saat membaca puisi, melihat lukisan, mendengarkan musik, atau menyaksikan tarian.

Seperti karya-besar seni, persamaan yang indah memiliki atribut lebih dari sekadar daya tarik--universalitas, kesederhanaan, ketakterhindaran, dan kekuatannya. Bayangkanlah lukisan Apples and Pears-nya Paul Cézanne, interpretasi Lady Macbeth oleh Judi Dench, atau Manhattan dalam lantunan Ella Fitzgerald. Keindahannya bukan dari jenis hiasan yang artifisial, melainkan esensial.

Persamaan yang indah mestilah menjulang lantaran kesesuaiannya dengan setiap eksperimen yang relevan dan, lebih menawan lagi, sanggup memprediksi yang tak seorang pun pernah melakukannya. Peter Higgs dan Francois Englert mencapai tataran ini melalui prediksinya tentang ‘partikel yang berperan dalam dentuman besar’—yang secara populer disebut Partikel Tuhan.

Bagi Weinberg, teori gelombang gravitasi Einstein indah. Inilah teori yang dibangun di atas prinsip sederhana, yang tidak bisa diubah sedikit pun tanpa meruntuhkannya, yang belum pernah ditemukan melalui eksperimen ketika ditulis, namun telah membuka keseluruhan jalan baru bagi riset-riset lain. Jauh sebelum ada dukungan serius dari eksperimen, sebelum ia mempublikasikan teorinya, Einstein berkelakar: persamaan itu “terlalu indah untuk salah”.

Sebaliknya, “sebuah teori dapat dianggap terlalu buruk untuk benar”, sebagaimana komentar fisikawan Richard Feynman terhadap teori penyatuan gaya Weinberg saat masih hangat dibicarakan pada pertengahan tahun 1970an. Bagi Weinberg, komentar itu menjengkelkan, kendati ia juga tidak puas pada bagian yang dikritik oleh Feynman. Cita rasa Weinberg, belakangan, terbukti lebih baik ketimbang Feynman. Teorinya lolos dari serangkaian uji eksperimental dan menjadi bagian kunci dari teori pamungkas yang tengah diburu.

Meskipun begitu, Weinberg belum sepenuhnya pasti bahwa segalanya akan berjalan konsisten dan bakal sampai kepada teori pamungkas itu. “Kalaupun tidak konsisten, lantas mau apa?” kata Weinberg. “Bahkan, seandainya teori-teori kita secara matematis konsisten, kita juga tidak pernah memperoleh kepastian absolut bahwa teori-teori itu memang menggambarkan dunia yang sesungguhnya.” Bagi Weinberg, fisikawan berurusan dengan kemungkinan, bukan kepastian. (sumber ilustrasi: goprocostarica.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu