x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Warkop DKI: Keabadian Sebuah Lelucon Cerdas

Mengenang kembali legenda lawak Indonesia. Mereka meninggalkan lelucon cerdas dan kritik sosial. Terus bergenerasi hingga hari ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Koruptor, korban ulah pikiran kotor,” ucap Indro, salah seorang anggota Warkop DKI, dalam kaset rekaman sandiwara berjudul Pengen Melek Hukum tahun 1985. Ucapan yang disambut latar geer dan tepuk tangan. Alkisah, seorang mahasiswa hukum (Indrodjojo Kusumonegoro) memberikan penyuluhan di sebuah kampung imajiner bernama Ujung Menteng. Sedangkan Kasino (Kasino Hadiwibowo) dan Dono (Wahyu Sardono) berperan sebagai dua warga yang selalu nyeletuk dan usil menimpali si mahasiswa. Dua warga ini berperan apik. Satu tampil kritis, sedangkan yang lain polos. Namun, satu hal yang melekat dari kedua warga kampung ini: pintar-pintar bodoh.

Tak hanya menyinggung koruptor, dalam sandiwara itu, Warkop juga mengkritik betapa tumpulnya hukum ke lapisan atas dan menajam bagi kalangan bawah. Kasino sebagai warga biasa mencurahkan kekesalannya atas ketidakadilan yang dialaminya.

Suatu ketika ia ditangkap aparat karena ketahuan nyolong ayam. Belum selesai cerita, Indro pun memotong penjelasan Kasino, “Ketahuan kalo situ mah, kalo enggak nyolong ayam, nyolong dop mobil, cere (kelas rendah).” Lagi-lagi disambut latar tawa penonton alih-alih warga lain. Akibat perbuatannya itu, menurut Kasino, ia dihukum dua bulan penjara. “Ya, bener (putusan itu),” timpal Indro si mahasiswa. Kasino pun protes karena merasa diperlakukan tak adil. Ia dihukum dua bulan penjara gara-gara terbukti nyolong ayam yang hanya laku dijual dengan harga Rp 5 ribu. Namun, di saat bersamaan, ada berita di koran tentang koruptor yang menilap uang sebesar Rp 10 Miliar. Si koruptor pun dihukum 15 tahun penjara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut Kasino, hukum bisa dikatakan adil jika koruptor yang korupsi Rp 10 Miliar saja dihukum 15 tahun,  secara matematis, ia yang nyolong ayam yang nilanya cuma Rp 5 ribu itu harusnya dihukum 4 menit di bui.  Sebaliknya, jika memang 'maling ayam' yang nilainya Rp 5 ribu perak saja dihukum 2 bulan penjara, harusnya koruptor yang korupsi Rp 10 Milyar itu dihukum 3.333 tahun.

Semburan kritik seolah tak berhenti di situ. Indro pun menyinggung dua sosok penegak hukum: Hakim dan Jaksa.  Hakim, menurut si mahasiswa hukum, kepanjangan dari ‘Haknya untuk Memutuskan Hidup atau Mati’, sedangkan Jaksa diambil dari kata ‘Bijaksana’. “(Awalan) Bi dan (akhiran) Na dibuang,” ujarnya. Meski tak ada referensi akademisnya, karena ini sebuah joke, tapi siapa yang memungkiri tepatnya pengertian jaksa dan hakim versi Warkop. Kedua aparat hukum itu adalah fondasi keadilan di negeri ini. Karut-marutnya keadilan di Indonesia, juga tidak lepas dari kualitas aparatnya, yaitu hakim dan jaksa.

Siapa lagi yang menjadi sasaran kritik Warkop? Sudah tentu, polisi. Kali ini, Dono si polos yang berkisah. Suatu hari saat berkendara, ia berbelok ke sebuah melawan arah. Priiit! Terdengar peluit polisi. Ia pun ditilang. Dono kebingungan karena merasa pentil kendaraannya tidak hilang. “Tilang itu bukan pentil ilang, tapi bukti pelanggaran,” ujar Indro senewen.  Dono berusaha menempuh “jalan damai” namun dianggap Indro sebagai tindakan salah. “Itu namanya menyuap!” tegas  karena menyuap aparat. “Saya ‘kan enggak momong anak,” balas Dono polos. “Suap itu ‘kan dulangi.” Penonton pun tertawa.  

Lakon Pengen Melek Hukum adalah salah satu memorabilia lawakan cerdas grup lawak yang didirikan pada pertengahan dekade 70-an ini. Dalam rekaman selama 52 menit itu, perut pendengar akan dikocok oleh lelucon khas Warkop. Mereka akan bermain-main dalam pelintiran-pelintiran fakta sosial. Selain soal hukum, sebelumnya ada dua kaset rekaman sandiwara lain yang cukup tajam mengkritik berbagai kebijakan pemerintah, yaitu Dokter Masuk Desa (1981) dan Semua Bisa Diatur (1983). Lakon dokter tentu jelas mengangkat persoalan kesehatan, sedangkan Semua Bisa Diatur menyentil birokrasi pemerintahan. Lagi-lagi, Indro didaulat sebagai figur intelektual, baik sebagai dokter dan lurah. Dua sahabatnya, Kasino dan Indro lagi-lagi berperan sebagai warga yang kritis, usil, dan polos.

Berbeda dengan Srimulat, yang juga sedang berjaya di masa itu, lawakan berformat rekaman membutuhkan kedalaman materi. Pendengar akan tertawa ketika mendengar, bukan melihat, sesuatu yang lucu. Lelucon itu tidak muncul di panggung dengan merusak properti yang terbuat dari stereoform, terjatuh dengan disengaja, memasukkan benda asing ke dalam mulut, hingga melempar kue/terigu ke wajah seseorang. Lelucon fisik yang kemudian dikenal dengan istilah slapstick. Setelah era Srimulat, kita sempat melihat kembalinya komedi serupa dalam program Opera van Java di stasiun televisi Trans7.  Warkop DKI pun harus menerapkan slapstick saat berpindah medium ke film. Dimulai dari Mana Tahan pada 1979 hingga berpindah ke sinetron pada pertengahan 1990-an. Karena itu, chicken dance, senam dengan gestur mirip ayam,seolah menjadi hak cipta Warkop hingga hari ini. Dalam ingatan penonton juga lekat adegan konyol mereka seperti Dono yang berubah wujud menjadi superhero Jepang Gaban (atau Gavan).

Di zaman ketika penguasa begitu antikritik, maka sebuah lelucon cerdas adalah jalan keluar. Opsi itulah yang dipilih Dono, Kasino, dan Indro. Komedian yang memulai kariernya dari kampus Universitas Indonesia ini –meski Indro menuntut ilmu di kampus tetangga, terbiasa bersentuhan dengan dunia kampus yang identik dengan intelektualitas. Mereka sangat dekat dengan organisasi pecinta alam, Mapala UI.

 Dalam sebuah wawancara, Indro menyebut bahwa materi lawakan Warkop didesain dengan amat serius. “Lawakan Warkop berangkat dari konsep,” ujarnya. Kasino berada dalam posisi decision maker, dan penentu strategi, sedangkan Dono lebih berperan sebagai public relations, dan Indro memegang urusan manajemen.

Apa yang membedakan Warkop dengan komedian lain di masanya? Selain produktivitas dalam berkarya, Warkop juga sukses melakukan “kaderisasi”. Bagito, yang dimotori Dedi Gumelar, adalah “anak ideologis” pertama Warkop. Dalam sebuah web series berjudul Ketika Hidup Indah dengan Tertawa yang diunggah Danu Murti di Youtube, Miing –nama panggung Dedi Gumelar, mengaku sengaja “berguru” kepada Warkop. “Gue pengen Bagito seperti Warkop, melawak dengan jas dan kekuatan dialog,” ungkap Indro menirukan ucapan Miing. Bersama Warkop, Miing menjadi asisten yang mengurus banyak hal, mulai dari penulis naskah hingga administrasi. Pengalaman ini yang kemudian mengasah kemampuan Miing dalam mengangkat performa Bagito di kemudian hari. Bagito, yang merupakan singkatan dari Bagi Roto, kemudian populer di radio Suara Kejayaan melalui program Opor Ayam. Selain Miing, terdapat Didin dan Hadi Wibowo alias Unang dalam trio itu. Mereka mengekor kesuksesan Warkop melalui Prambors bertahun-tahun sebelumnya. Konsep kelompok trio ini menjadi begitu populer dan berlanjut, di antaranya melalui Patrio dan Cagur di penghujung 90-an dan pertengahan tahun 2000.

Generasi kedua Warkop justru hadir dengan sangat berbeda. Mereka hadir dengan konsep stand-up comedy. Konsep awal yang sejatinya diusung oleh Warkop mirip dengan stand-up comedy. Mereka berada di atas panggung, bermain dengan dialog, plus materi-materi yang sensitif isu sosial. Indro pun menjadi bagian penting dari kehadiran generasi baru komedian yang disebut ‘komika’ ini. Ia menjadi juri dalam salah satu ajang pencarian bakat komedian ini. Generasi baru inilah yang menyerap semangat kritik sosial yang diusung oleh Warkop.

Kini, sebuah remake film Warkop berjudul Warkop Reborn yang disutradarai oleh Anggy Umbara akan tayang di layar lebar. Seniman besar memang tidak lahir dua kali. Vino Bastian yang tampan mungkin bisa menduplikasi gaya ngapak Kasino. Abimana yang flamboyan mungkin tampak mirip dengan Dono saat didandani dengan tambahan gigi palsu. Atau, Tora Sudiro yang semampai bisa dipermak mirip Indro. Tapi, penonton mungkin hadir ke bioskop dengan satu alasan: mereka rindu lelucon lawas yang meluncur dari duplikat Warkop.   

Warkop memang unik. Mereka adalah keabadian. Ketika dua personel Warkop DKI meninggal, Indro pun berjalan sendiri. Namun, ia tetaplah Warkop DKI. Grup lawak legendaris ini seolah mematahkan adagium, “Kesedihan akan membuat manusia bersedih jika diulang berkali-kali, namun tidak dengan lelucon. Anda tidak akan kembali tertawa jika menyaksikan lelucon yang sama berulang kali.” Kita masih tertawa (berulang-ulang) menyaksikan mereka saat tampil di layar kaca saat libur nasional seperti Lebaran. Lelucon Warkop soal jaksa, hakim, dan polisi terasa aktual hingga hari ini.

Karena itu, tertawalah sebelum tertawa itu dilarang.*** 

 

Sumber foto: akun FB Fery Zoid Ferdiansyah

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler