x

Iklan

Yulianti Muthmainnah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menghapuskan Pernikahan Anak, Kemerdekaan bagi Perempuan

Mengapa anak perempuan rentan terhadap pernikahan? Apalagi mereka justru dinikahkan oleh orang tua, ayah, atau wali mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahun ini, Republik Indonesia berusia 71 tahun. Perayaan hari kemerdekaan dirayakan dengan suka cita dan gegap gempita. Lalu, apakah makna kemerdekaan itu? Utamanya bagi perempuan?

Merdeka tidak hanya bebas dari belenggu penjajah. Tetapi juga, kebebasan untuk mengekspresikan diri, merdeka untuk menentukan sikap dan pilihan serta terbebas dari tindakan paksa dalam bentuk apapun. Bagi perempuan, merdeka berarti terbebas dari paksaan untuk menikah di bawah usia 20 tahun.

Akan tetapi, mewujudkan merdeka bagi perempuan ibarat api jauh dari panggangnya. Pernikahan antara Alvin (17 tahun) dengan Larissa (19 tahun) seolah meneguhkan kebolehan pernikahan anak di Indonesia, apalagi dilakukan oleh anak tokoh agama Arifin Ilham. Sebelumnya, pada bulan Juni, pernikahan anak usia 13 dan 14 tahun terjadi di Jeneponto. Serta pernikahan antara Milawati (17 tahun) dengan Haji Nasir (63 tahun), pada bulan Juli di Desa Suwa, Bone.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketiga kejadian di atas adalah potret masyarakat kita. Anak perempuan di(ter)paksa menikah di bawah usia 20 tahun, harus kehilangan masa depan untuk bersekolah, dan mencapai kualitas pendidikan tertinggi. Selain itu, anak perempuan juga sangat rentan terhadap angka kematian ibu (AKI) karena alat-alat reproduksi yang belum siap untuk hamil dan melahirkan.

Data pernikahan anak di Indonesia selalu meningkat. Jumlah anak perempuan usia 10-14 tahun yang sudah menikah yakni 4,8% atau sekitar 22.000 orang. Pada usia 15-19 tahun mencapai 41,9%. Bila dibandingkan dengan laki-laki pada usia yang sama, jumlah perempuan mencapai 11,7 % sedangkan laki-laki 1,6% (Riskesdas, 2010). Ditahun yang sama, UNICEF melaporkan 34,5% anak perempuan Indonesia di bawah 19 tahun sudah menikah. Indonesia Demographic and Health Survey tahun 2012 menyebutkan bahwa 22% perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun berakhir dengan perceraian mencapai 50%. Data terbaru dari Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015 mengungkapkan Indonesia menduduki ranking kedua teratas pernikahan anak perempuan di Asia Tenggara. Karena 2 juta dari 7,2 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah.

Bercermin dari tingginya data di atas. Mengapa anak perempuan rentan terhadap pernikahan? Apalagi mereka justru dinikahkan oleh orang tua, ayah, atau wali mereka. Yang idealnya memberikan perlindungan bagi mereka.

Dalam budaya patriarkhi, marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga (Mansour Faqih, Analisi Gender dan Transformasi Sosial, 2001). Perempuan atau anak perempuan dianggap sebagai asset keluarga. Mereka senantiasa dijadikan tumbal untuk menyelamatkan situasi. Ketika sebuah keluarga dalam keadaan miskin dan terbatas pada sumber daya ekonomi, maka menikahkah anak perempuan terutama pada laki-laki kaya dan beruang adalah jawaban untuk mempertahankan hidup seluruh anggota keluarga (Bart Rwezaura, The Changing Context of Sub-Saharan Africa, 1994). Posisi perempuanpun makin rentan setelah pernikahan. Ia senantiasa berada di bawah kontrol laki-laki. Ia harus sedia mengorbankan dirinya secara fisik dan psikologis untuk diserahkan kepada laki-laki (Eko Bambang Subiantoro, Perempuan dalam Perkawinan; Sebuah Pertaruhan Eksistensi Diri, 2002). Desakan untuk hamil, melahirkan, dan mengasuh anakpun makin kuat.

Tetapi, bila alat-alat reproduksinya belum siap. Maka resiko AKI makin dekat. AKI Indonesia yakni 359/100.000 kelahiran hidup tahun 2012. AKI Indonesia adalah yang tertinggi yakni 228 bila dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN pada tahun 2007. Terendah yakni Singapura 6/100.000 (SDKI dan BPS 1991-2012).

Selain resiko pada perempuan, pernikahan anak juga berdampak pada kematian bayi/anak yang akan dilahirkan. UNICEF melaporkan selama tahun 1998-2007 anak-anak dari ibu yang kurang berpendidikan memiliki angka kematian bayi/anak yang tinggi yakni 73/1.000 kelahiran hidup. Sedangkan pada anak-anak dari ibu yang berpendidikan menengah atau lebih tinggi adalah 24/1.000 kelahiran hidup. Perbedaan ini disebabkan perilaku dan pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik diantara perempuan-perempuan yang berpendidikan.

Pernikahan anak merupakan permasalah serius, bahkan di tingkat global. Konvensi tentang usia minimum untuk menikah dan pendaftaran pernikahan sudah diadopsi PBB sejak 1962  melalui resolution 1763 A (XVII). Pasal 2 memandatkan tiap Negara menentukan batasan usia minimum pernikahan. Konvensi ini juga mengingatkan Negara akan Resolusi 843 (IX) tahun 1954, bahwa adat, hukum dan praktek-praktek terkait perkawinan yang tidak sesuai dengan prinsip HAM harus ditinjau ulang.

Akan tetapi, di Indonesia justru sebaliknya. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi No.30-74/PUU/XII/2014 usia minimum menikah bagi perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Menikah di bawah usia inipun masih boleh dilakukan jika mendapatkan izin dari Pengadilan Agama, sebagaimana kasus Alvin.

Inilah kenyataan belum merdekanya anak perempuan Indonesia. Hukum tidak bergerak maju. Maka perlu kebijakan pemerintah yang responsive dan berpihak bagi perempuan. Melalui Nawa Cita dan RPJMN, pencapaian SDGs Goal 5, harus didahulukan. Kebijakan harus segera disusun agar tidak ada lagi pernikahan anak. Semoga.

 

Yulianti Muthmainnah

Resource Center Institute KAPAL Perempuan dan Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah

Ikuti tulisan menarik Yulianti Muthmainnah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler