x

Iklan

Enrico Aryaguna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Terjepit Naga di Natuna

Ambisi maritim Indonesia saat ini dihadang oleh upaya hegemoni China di Laut China Selatan. Bagaimana Indonesia memilih langkah strategis berikutnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Diam-diam, Indonesia sedang menghadapi tantangan regional, dimana Republik Rakyat China sedang mengukuhkan hegemoninya di Asia Tenggara. Berbagai manuver politik China, mulai dari pelanggaran kedaulatan teritorial Indonesia hingga upaya pecah belah terhadap negara-negara ASEAN, jelas menguji sampai mana ia dapat mendorong Indonesia menuruti kemauannya.

Salah satu isu terpenting dalam geopolitik Asia saat ini adalah klaim Nine Dash Line (Sembilan Garis Putus-Putus/SGP) China. Klaim historis China ini membuat risih, bahkan menimbulkan kemarahan. SGP adalah klaim historis China atas wilayah perairan sekitar China yang didasarkan pada tafsiran sejarah sepihak dan mencakup mayoritas perairan Laut China Selatan, termasuk dari sekitar Filipina sampai dengan perairan Natuna. Isu regional terpanas dengan adanya klaim ini adalah pembangunan pulau-pulau reklamasi dan militerisasi di sekitar Kepulauan Spratly. Hal ini menimbulkan sengketa antara China dengan banyak negara, termasuk Vietnam, Malaysia, dan Filipina.

Karena negara-negara tersebut masuk dalam ASEAN, maka kecenderungan China ini pun menjadi isu di tingkat regional. Namun dominasi perdagangan China terhadap negara-negara ASEAN yang perdagangannya tergantung pada China -seperti Laos dan Kamboja- menyebabkan tidak tercapainya konsensus resmi ASEAN atas isu ini di pertemuan menteri luar negeri ASEAN, Maret lalu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kendati tidak ikut dalam sengketa klaim Laut China Selatan, Indonesia turut terkena imbasnya. Kapal nelayan China serta kapal Penjaga Pantai China terlibat dalam berbagai insiden pelanggaran wilayah Indonesia, baik di Zona Ekonomi Eksklusif maupun perairan teritorial Indonesia. Pada Maret 2016 di lepas pantai Natuna, kapal Penjaga Pantai China menabrakkan diri ke kapal ikan tangkapan yang sedang ditarik kapal aparat Indonesia karena penangkapan ikan ilegal. Akibatnya, aparat Indonesia kehilangan sebagian tahanan nelayan China tersebut, karena dibawa oleh aparat Penjaga Pantai China. Ini bukan insiden yang pertama, dan bisa jadi bukan yang terakhir.

Insiden di atas menegaskan bahwa klaim SGP memiliki imbas negatif terhadap hubungan diplomatik Indonesia dan China. Namun pejabat tinggi Indonesia belum memiliki respon efektif terhadap isu tersebut selain menegaskan bahwa Indonesia tidak memiliki masalah dengan China, sebagaimana dipaparkan Menkopolhukam RI Luhut Binsar Pandjaitan pada Juli lalu.

Apa sebab utama dari keengganan Indonesia untuk lebih tegas dalam isu ini? Jawabannya adalah mengguritanya kepentingan ekonomi China di Indonesia. Duta  Besar China Xie Feng menyatakan bahwa investasi China saat ini sebesar 1,01 miliar dollar AS dari total investasi asing di Indonesia yang sekitar 14 miliar dollar AS. Kemendag RI mencatatat neraca perdagangan Indonesia dengan China pada 2015 senilai 44 milyar dollar AS. Anggota Dewan Negara China, Yang Jiechi, menyatakan bahwa realisasi investasi China di Indonesia tahun 2015 adalah sebesar 2,16 miliar yuan atau sekitar 4,4 triliun rupiah, peningkatan 47% dibanding tahun sebelumnya. Nilai kerjasama antara pemerintah Indonesia dan People's Bank of China  pun akan ditingkatkan dari 100 miliar yuan menjadi 130 miliar yuan (sekitar Rp 265,7 triliun).

Semua angka-angka perekonomian itu menunjukkan besarnya kepentingan ekonomi China di Indonesia, dan bagaimana Indonesia berada dalam posisi dilematis: Menegakkan kedaulatan secara tegas dan beresiko kemarahan pemerintah China, atau menyenangkan hati pejabat pemerintah China dan mengorbankan aspek kedaulatan maritim kita.

Padahal di saat yang bersamaan, pemerintahan Jokowi sedang mencanangkan Indonesia sebagai Poros Maritim Global, dengan prinsip: keamanan maritim, pencarian dan penyelamatan maritim, pertahanan maritim, penerapan hukum maritim serta perlindungan lingkungan maritim. Semua prinsip-prinsip ini terancam menjadi pepesan kosong ketika ambisi pemerintah Indonesia tidak sinkron dengan kenyataan geopolitis.

Namun bukan berarti upaya untuk mengatasi dilema ini tidak ada. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi beserta jajaran Kemlu dalam berbagai kesempatan selalu menegaskan bahwa kepemilikan Indonesia atas kepulauan Natuna sudah jelas dan sesuai dengan UNCLOS 1982. Menlu Retno juga menegaskan bahwa Indonesia akan terus mendorong code of conduct penyelesaian sengketa Laut China Selatan secara damai. Pernyataan sikap ini adalah bagian dari penegasan kedaulatan maritim Indonesia.

Tapi absennya isu Laut China Selatan dalam pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden China Xi Jinping di G20 Summit seakan menihilkan upaya Kemlu di tataran strategis. Indonesia perlu mengambil peran terdepan di ASEAN dan memimpin upaya penyelesaian sengketa Laut China Selatan secara damai, dalam kerangka politik bebas aktif. Dengan demikian, Indonesia dapat mewujudkan ambisi Poros Maritim Global untuk mewujudkan kedaulatan maritim Republik Indonesia.

 

Ikuti tulisan menarik Enrico Aryaguna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB