x

Iklan

Iwan Setiawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Nilai Nol yang Bikin Geger

Iklim sekolah yang adem seketika menjadi panas. Musababnya adalah nilai nol mewarnai raport seorang siswinya. Pantaskah nilai itu tertera dalam raport?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Danny Daud Setiana, orang tua siswi berinisial DPR, mengadukan SMA Negeri 4 Bandung kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Pasalnya, sekolah tersebut memberi nilai nol (0) pada raport sang anak. Dengan nilai kosong pada bidang studi Matematika, DPR tidak naik kelas. Langkah sekolah dianggap sebagai sikap diskriminatif, hal mana yang menurut Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listyarti, dapat menyeret institusi pendidikan ini berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). (Pikiran Rakyat, 6 September 2016)

Silang pendapat yang terjadi di dunia pendidikan ini bermula dari masalah nilai. Kompetensi peserta didik dalam menempuh pembelajaran, salah satunya, ditunjukan dengan perolehan sejumlah angka atau huruf yang disebut nilai. Sebagai sebuah tolok ukur pembelajaran, sistem penilaian mensyaratkan tingkat pencapaian tertentu. Siswa yang dapat melampauinya dikatakan lulus. Sebaliknya, siswa yang berada di bawah tingkatan itu, mau tidak mau harus mengulang. DPR, dalam pemberitaan di atas, berada dalam posisi ini.

Terdapat dua “kubu” dalam melihat sistem penilaian. Kubu pertama beranggapan bila nilai adalah satu hal yang mutlak. Dahlan (2012) mengatakan bahwa alat ukur, pengukuran, penilaian adalah bagian integral dari pembelajaran. Ketiganya sebagai satu kesatuan yang akan menentukan kualitas pembelajaran. Kubu ini menekankan pentingnya penilaian dan menuntut pendidik untuk terampil menerapkannya dalam pembelajaran.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kubu kedua terkesan “longgar” dalam hal nilai. Kubu ini menempatkan nilai tidak sebagai satu-satunya komponen. Terdapat sikap dan upaya yang ditunjukkan peserta didik dalam mencapai satu kompetensi. Ketiga hal inilah yang secara terpadu menyertai peserta didik dalam setiap pembelajaran. Menarik mencermati pernyataan pakar dan praktisi pendidikan Anis Baswedan, “ Siswa ibarat pelari-pelari marathon. Mereka belajar dalam rentang yang panjang. Jangan paksa mereka menjadi sprinter, dengan mensyaratkan pencapain nilai yang tinggi”. Lebih lanjut Pak Anis menyatakan bahwa jauh lebih penting adalah menanamkan jiwa pembelajar pada diri siswa. Merangsang mereka menumbuhkan sikap pentingnya belajar sebagai kegiatan sepanjang hayat. Long life education.

Mana yang lebih baik? Di kubu mana kita mesti berpijak? Tulisan ini tak bermaksud menggiring pada salah satu dari dua keadaan itu. Keduanya sama baiknya. Dua-duanya dapat diterapkan pada kondisi yang tepat. Hendaklah disadari bahwa nilai yang kita berikan adalah “investasi” kita terhadap anak didik. Angka yang guru bubuhkan dalam lembar penilaian berupa raport atau ijazah akan menjadi “bekal” mereka menyongsong masa depannya. Bagaimana pun wujudnya, goresan pena kita turut andil dalam perjalanan hidup mereka.

Rasanya tidak sampai hati bila kita membuat anak didik termenung sedih memandangi buku raportnya. Tertulis di sana angka nol dalam satu pelajaran penting dan “bergengsi”, Matematika misalnya. Angka itu adalah momok setiap pelajar. Mimpi buruk yang tak ingin dialami. Tak serta merta angka itu tertulis. Guru maupun siswa memiliki alasan untuk itu. “Mengapa angka itu tertera?” tanya siswa. “Angka itu memang pantas!” tangkis sang guru. Namun, meminjam judul bukunya Pak SBY, Selalu Ada Plilihan. Nilai kosong tak mesti muncul. Ada jalan tengah yang mempertemukan “kepentingan” siswa dan gurunya.

Rasanya tak bijak pula bila kita “memanjakan” siswa dengan perolehan nilainya. Mereka yang menunjukkan sikap malas, tak sungguh-sungguh dalam belajar. Kehadiran maupun karakternya tak menunjang, namun memperoleh nilai yang baik. Bagaimanapun, objektifitas mesti ada dalam setiap penilaian. Ada jalan tengah yang dapat ditempuh. Siswa yang malas meninggalkan sifat buruknya itu. Guru pun membubuhkan nilai tanpa ragu dan objektif tentunya. Kembali meminjam judul buku tentang Pak SBY, Pasti Bisa. Kita sebagai guru tak boleh menyerah. Kita pasti bisa mengatasi hal ini.

Kembali pada “pertikaian” orang tua dengan sekolah di atas, saya berharap kejadian ini tak berkepanjangan. Kedua belah pihak semestinya memandang masalah secara proporsional, sesuai dengan fakta. “Membumbui” masalah ini dengan interpretasi yang panjang hanya akan melanggengkan persoalan. Keberlanjutan sekolah peserta didik, Ananda DPR, hendaklah kita tempatkan sebagai prioritas utama.

Ibarat tanaman. Siswi kelas X itu masih tunas muda.Tunas muda yang baru mekar. Ranting maupun daunnya belum kuat benar. Marilah kita ciptakan lingkungan yang sejuk, damai dan bersahabat agar ia tumbuh dengan baik. Kelak, ranting dan daun yang rapuh itu menjelma pohon rindang.  ia akan menaungi dan berperilaku hal yang sama, pada tunas-tunas muda, pada generasinya.  

 

Ikuti tulisan menarik Iwan Setiawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu