x

Iklan

Victor Rembeth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sejuta Cotton Buds untuk Reklamasi Teluk Jakarta

Renungan untuk anak dan cucuku perihal nurani dan keberlanjutan. Jangan ada lagi bencana yang kita buat karena ulah kita sendiri

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

             Cotton Buds adalah sebuah instrumen kecil yang bisa didapatkan di berbagai gerai dan dipergunakan untuk berbagai keperluan. Dari anak bayi sampai dewasa dan bahkan lanjut usia menggunakannya untuk rupa-rupa alasan. Salah satu yang paling sering penggunaannya adalah membersihkan kotoran di lubang telinga, yang dapat menolong juga untuk memperjelas pendengaran.

            Kapas-kapas yang dibentuk secara mungil dan tertata rapi dengan tangkai kecil yang menyertainya menjadi penting ketika sang pemilik kuping merasa terganggu dengan kotoran yang ada. Inisiatif biasanya memang dari sang pemilik telinga untuk menggunakannya, namun tidak jarang juga diperlukan orang lain yang lebih arif untuk mengingatkan agar yang bersangkutan membersihkan telinganya.

            Dalam kasus keriuhan reklamasi Teluk Jakarta, yang terjadi adalah perlunya beberapa orang arif mengingatkan dengan cotton buds . Pengingatan yang berusaha membuka telinga nurani para pengambil keputusan agar dapat bijak menjalankan tugasnya sudah mendekati urgensi yang sangat tinggi. Ketika mudarat dari perencanaan mega proyek ini lebih besar dari manfaatnya maka diperlukan sejuta kapas kecil untuk membersihkan kotoran yang tersangkut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Riak-riak perihal ketidaktepatan pembangunan ini sudah menghasilkan tindakan cepat lembaga anti rasuah di negeri ini untuk menggelandang bau busuk perijinan yang mempermudah reklamasi.  Majelis Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pun memutuskan mengabulkan gugatan Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia yang meminta pengadilan mencabut SK Gubernur DKI yang memberikan izin proyek reklamasi di Pulau G.

            Namun kita kembali dibuat terperangah ketika sebagai duty bearer Negara justru seakan tidak memperhatikan situasi dan kondisi yang terjadi dengan menganulir keputusan-keputusan strategis yang pernah diambil sebelumnya. Bagi sang pemilik otoritas mencabut larangan reklamasi Pulau G adalah sebuah keniscayaan. Pencabutan larangan itu diperkuat dengan pernyataan bahwa, “semua yang dikatakan berbahaya, seperti aspek lingkungan, pembangkit listrik atau aspek hukum ternyata tidak ada masalah”.

            Logika percepatan pengambilan keputusan yang seakan tidak memperhatikan konsideran analisis keilmuan dan permasalahan hukum yang akan timbul di kemudian hari menjadikan sumirnya alasan utama melanjutkan reklamasi ini. Kendati memang alasan bisnis yang menjadi alasan utama dengan mengatakan bahwa “reputasi pemerintah di mata investor menjadi pertimbangan”, namun dengan tidak berburuk sangka harusnya kita juga bisa mempertanyakan apakah investasi itu akan memperbaiki atau bahkan sebaliknya membunuh pelan-pelan investasi berkelanjutan?         

            Apakah tidak mungkin kita bisa berbisnis dengan baik untuk melakukannya sesuai dengan kaidah hukum yang ada dan kemudian juga memperhatikan lingkungan agar anak cucu kita tidak hancur karena keputusan near sight yang tidak bijak? Laporan the World Economic Forum (WEF) perihal Ekonomi berkelanjutan mengatakan bahwa “there is little to suggest that regulation alone, or companies or governments acting in isolation, can do much to improve – let alone significantly alter – the long-term outlook”.  Pengingatan inilah yang harus diperhatikan bahwa kebijakan dan regulasi harusnya tidak bisa sendirian terisolasi untuk kepentingan salah satu saja.

            Solusi yang diambil oleh para champion bisnis berkelanjutan menurut WEF adalah mereka yang berinovasi dan berupaya memperhatikan aspek masyarakan dan lingkungan. Inovasi ini sudah tentu memperhatikan peluang-peluang ekonomi yang ada dan bukan sekedar keyakinan korporasi atau melulu sibuk dengan aturan yang ada. Melakukan redefinisi dari pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada keberlanjutan sudah tentu harus bisa melakukan upaya-upaya yang tidak memperburuk daya dukung lingkungan dengan menyengsarakan yang lain apalagi membahayakan eksistensi penerus kita yang hidup di masa mendatang.

            Disinilah pesoalan besar reklamasi Teluk Jakarta yang berulang kali disodorkan dengan santun dan bermartabat. Proyek ini sudah seyogyanya tidak hanya melihat keuntungan investor, namun investor dan pemerintah harus melihat bahwa ada banyak hal yang akan mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap kualitas manusia di Jakarta dan pantai utara Jawa di kemudian hari bila pemberian ijin tetap dilakukan. Pertanyaan yang mendasar adalah, bisakah berbisnis dan sekaligus  menyelamatkan lingkungan yang ada?

            Penolakan-penolakan utama yang ada selama ini adalah karena dari berbagai analisis yang ada, reklamasi akan menambah kerentanan dan mengkibatkan bencana ke depan. Pakar kelautan yang merupakan Reader on Maritime Issues Thamrin School, Alan Koropitan, berkali menegaskan proyek reklamasi akan menambah parah kerusakan di Teluk Jakarta, Kerusakan pertama yang bisa disebutkan sebagai the clear and present dangers adalah keberadaan pulau-pulau hasil reklamasi mengakibatkan turunnya kecepatan arus laut. Padahal arus dibutuhkan untuk ‘mencuci’ beban pencemaran yang diterima Teluk Jakarta dari daratan.

             Apa akibatnya bila Teluk Jakarta tidak lagi mampu mencuci pencemaran dari daratan? Ini jawaban Alan. “Bila pencemaran tidak bisa ‘tercuci’ oleh laut, maka perlahan akan mengendap di wilayah tersebut. Semakin lama pencemaran mengendap itu yang berbahaya,” ucap dia. Hal ini sepadan dengan kajian Dannish Hydraulic Institute (DHI), lembaga yang dikontrak khusus oleh Kementerian Luar Negeri pada tahun 2011 yang menyebutkan bahwa reklamasi berdampak buruk bagi lingkungan dan sejauh ini belum ditemukan cara untuk memitigasi beragam dampak tersebut.

            Selain mengganggu proses pencucian di laut, menurut Alan hasil penelitiannya di Teluk Jakarta sejak tahun 2003 hingga 2015, proyek reklamasi juga akan menyebabkan banjir di Jakarta semakin parah. Keberadaan pulau reklamasi menyebabkan adanya pendangkalan (sedimentasi). Karena ada pendangkalan, air laut yang tadinya leluasa jalannya ke akan terhalang. “Akibatnya akan melimpah ke luar dan itu yang kita sebut banjir,” kata dia. Sudah tentu dari kajian ini, dapat ditegaskan bahwa reklamasi bukanlah solusi untuk atas persoalan buruknya kualitas air di Teluk Jakarta sekaligusbukan solusi atasi banjir dari laut (rob).

            Mengimbuhi Kajian Ilmiah tersebut, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta juga menambah daftar ketidakpatutan proses yang yang terjadi. Dari segi hukum selain sudah terbongkarnya proses koruptif yang mengindikasikan proses perijinannya, juga terjadi pelanggaran procedural.  Dalam hal ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Padahal, berdasarkan UU 27 tahun 2007, harus didasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

            Pelaksanaan reklamasi juga tidak memiliki kekuatan sosial, karena dilakukan secara tidak transparan dan partisipatif. Aspek menjunjug keterlibatan rakyat dan pemangku kepentingan dalam proyek-proyek sensitif tidak pernah dilakukan. Hal ini disampaikan oleh para nelayan, yang tak pernah merasa diajak bicara terkait persetujuan maupun pemahaman mereka. Diskusi atau musyawarah, merupakan hal yang wajib untuk proses partisipatif yang ada berdasarkan UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

            Bila demikian adanya, maka keputusan di awal September yang ujug-ujug mencabut larangan reklamasi pulau G bukan saja menimbulkan pertanyaan, tetapi menciderai Nawacit yang digadang untuk bisa, – memperteguh kebhinekaan dan memerkuat restorasi sosial, – memperkuat kehadiran negara dalam melakukan revormasi sistem dan penegakan hukum, dan– menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan rasa aman. Ada aspek sosial yang terabai dan beberapa bagian dari bangsa ini kembali menjadi korban untuk jargon pembangunan ekonomi yang belum jelas arah untuk pro keberlanjutan.

            Dengan pembangunan yang, mungkin meningkatkan investai, tapi menambah kerentanan terhadap bencana maka Negara tidak secara benar-benar menerapkan upaya perlindungan warganya, malah sebaliknya meningkatkan indeks risiko bencana. Sasaran strategis Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam RPJMN 2015-2019 yang bertujuan untuk “menurunnya indeks risiko bencana pada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang berisiko tinggi”, agaknya akan sulit dicapai bila Reklamasi terus dilanjutkan.

Apalagi bila sasaran pokok dari BNPB tersebut adalah meminimalkan atau mengurangi kerusakan dan kerugian ekonomi akibat kejadian bencana di masa mendatang dan mengurangi indeks risiko bencana pada wilayah yang memiliki indeks risiko bencana tinggi, baik yang berfungsi sebagai PKN, PKW, PKSN, Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Industri maupun pusat-pusat pertumbuhan lainnya. Jauh panggang dari api semua upaya-upaya yang sudah tentu memakai uang para pembayar pajak yang sudah memberikan mandatnya kepada Negara.

           Kembali kepada cotton buds, maka kita diingatkan masih banyak telinga-telinga yan harus dibersihkan agar nurani bisa diterangi untuk bisa mengambil keputusan yang melihat banyak sisi. Kapas-kapas kecil bertangkai ini diharapkan bisa membersihkan kotoran-kotoran distorsi yang bisa menyebabkan kerusakan ke depan yang lebih parah. Ia bisa saja sebagai alat kecil yang menolong telinga aparatur Negara, pebisinis, konsultan dan akademisi-akademisi yang “cuek” dan “tambeng” untuk mendengar vox populi.

           Reklamasi Jakarta selayaknya tidak menjadi komoditas politik semata, apalagi bila diturunkan hanya menjadi mobilisasi sumber daya bertujuan profit bagi segelintir manusia. Reklamasi harus diposisikan kepada lanjut atau tidaknya kemakmuran yang berkeadilan bagi semua. Namun dalam keliaran reklamasi bisa menjadi Nemesis yang susah dikalahkan oleh siapapun karena kuatnya otoritas yang membentenginya. Ia tiba-tiba bisa menjadi monster yang bukan saja memutarbalikkan tujuan pembangunan yang adil, berkelanjutan dan berkemakuran, tapi ia juga bisa menjadi lonceng malapetaka bagi manusia dan bangsa.

           Selagi masih banyak anak-anak bangsa yang berharap hidup yang ”gemah ripah loh jinawi dan toto tentren kerto raharjo”, selagi itulah kita bisa berharap mengirimkan cotton buds sebanyak mungkin. Semoga dengan kapas-kapas bertangkai ini ada hati yang mendengar, ada nurani yang disadarkan, dan sudah tentu ada banyak keputusan yang dihasilkan untuk kemanfaatan bersama. Reklamasi Jakarta, biarlah bisa dinyanyikan sebagai riwayatmu dulu. Semoga demikian.

 

Kuningan bersama Bunda dan Anak Perempuanku 10 Sept 2016

Victor Rembeth

Reader on Environmental Ethics and Philosophy, Thamrin School

Ikuti tulisan menarik Victor Rembeth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler