x

Menurut Forbes, Taylor Swift berada sebagai artis wanita dengan penghasilan paling tinggi sepanjang tahun 2015 dengan mencetak US$170 juta atau Rp2,2 triliun lewat album 1989 berikut dengan tur dunianya. billboard.com

Iklan

Tauchid Komara Yuda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyoal Makna Kata Cantik

Every woman are beauty, they have an own way to determine definition of beauty for their self should not be depends on men.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tauchid Komara Yuda

Author is researcher and freelance writer who has concern in both of field social policy and welfare plurarism. He was affiliated with Department of Social Development and Welfare (PSDK), Faculty of Social and Political Scienes, Universitas Gadjah Mada                                                                                                                                                               

Suatu waktu, pernah saya menanyakan dua hal tentang sisi lain kehidupan wanita kepada salah seorang teman perempuan saya: Pertanyaan pertama, saya memintanya untuk memberikan alasan mengapa perempuan harus, atau tidak harus, mengenakan lipstick, eyes shadow, eyeliner, mascara atau apapun yang berhubungan dengan make-up? Teman saya ini lantas menjawab: tidak harus, ketika seorang perempuan merasa dirinya sudah cukup cantik. Begitupun sebaliknya, harus, jika ia merasa kurang cantik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertanyaan selanjutnya, apakah menjadi cantik harus dengan make-up? Kembali ia menyatakan, bahwa kaum hawa pada dasarnya mempercayai kalau pria itu merupakan makhluk visual. Sedangkan cantik kini di setting sedemikian rupa di berbagai kesempatan di televisi, majalah, maupun media-media lainnya. Sehingga mau tidak mau, selaku kaum hawa, secara sadar maupun tidak sadar akan menyesuaikan diri dengan standar umum yang telah dikonstruksikan di iklan-iklan tersebut.  Untuk mendapatkan kecantikan seperti itu harus menggunakan berbagai peralatan make-up yang bermacam-macam. Apalagi dalam situasi dimana jumlah wanita lebih banyak dibanding pria. Mereka akhirnya punya keperluan untuk mendapat perhatian pria, secara sadar atau tidak sadar, dengan usaha lebih. Salah satunya dengan tampil cantik.

Jawaban yang menarik. Berangkat dari konstruksi sosial tentang ‘cantik dan tidak cantik’. Tanpa disadari, keduanya telah menjadi semacam nilai yang seolah-olah dianggap given. Padahal tidak demikian, nilai itu pada dasarnya di konstruksikan dan dilembagakan

Dalam perspektif konflik, sesuatu yang dianggap given, kerap mengandung dominasi kepentingan satu pihak dan merugikan pihak lain. Namun adakalanya pihak yang dirugikan ini justru turut menyokong kepentingan mereka yang mendominasi, sehingga terjadi status-quo dan sengaja dibiarkan begitu saja oleh aktor dominan. Fenomena semacam ini lantas disebut oleh Antonio Gramscy (dalam Sugiono, 2006) sebagai hegemoni. Hegemoni merupakan suatu cara menguasai melalui proses internalisasi nilai-nilai serta norma-norma penguasa, dengan begitu yang dikuasai akan merasa mempunyai, dan pada akhirnya yang dikuasai menerima suboordinasi mereka yang mendominasi. Hegemoni tidak lahir dalam ruang kosong, akan tetapi ia dibangun oleh mekanisme konsensus (kesepakatan), baik itu karena terpaksa, terbiasa, atau kesadaran (Patria dan Arief, 2009: 123 – 125)         

Dalam kaitannya dengan relasi gender, kekuasaan hegemonik ini berlangsung ditunjukan dengan adanya superioritas pria terhadap wanita, sehingga otomatis menggeser posisi perempuan menjadi suboordinat. Namun demikian, kondisi ini pada sebagian masyarakat dianggap wajar, dan dilembagakan sejak dalam keluarga. Contohnya seperti prioritas pendidikan bagi anak laki-laki dibanding anak perempuan lantaran peran perempuan yang dipandang tidak lebih dari urusan domestik: tujuan wanita seakan-akan hanyalah untuk menikah dan membentuk keluarga. Sesudah menikah, hampir seluruh kehidupan wanita dilewatkan dalam rumah tangga (Budiman, 1982: 3). Wacana seperti tersebut diproduksi diulang-ulang, bahkan sampai ke tingkat pendidikan formal, hingga akhirnya relasi kuasa yang timpang tadi –dengan kata lain, sistem patriarki tersebut– dilembagakan secara terstruktur dan masif.

Tangri, Burt, dan Johnson (1982 dalam Kurnianingsih, 2003: 120-121) menyatakan, besarnya sistem patriarkal dimana sistem sosial masyarakat melembagakan peran pria untuk aktif: berperilaku agresif, mengatur sistem ekonomi-politik, dan mendominasi secara seksual (maskulin). Sedangkan peran perempuan dilembagakan untuk kepasifan: penerimaan (feminim), penurut, sudi untuk dikendalikan orang lain dan dilatih untuk menjadi menarik secara seksual.

Superioritas pria tidak berhenti sebatas masalah penguasaan sektor-sektor publik, akan tetapi berlanjut sampai pada penguasaan makna “cantik”. Maksudnya, hak bagi setiap wanita mengklaim bahwa dirinya cantik, seketika menjadi tabu bagi wanita untuk menggunakan haknya hanya karena ada pria yang mengatakan “kamu tidak cantik”. Dengan kata lain, wanita menjadi tidak mempunyai ruang kuasa untuk mendefinisikan makna cantik bagi dirinya sendiri, ‘tanpa harus’ mendasarkan pada apa yang diimajinasikan pria. Jika diperhatikan, tak jarang, upaya-upaya wanita untuk selalu ‘tampil cantik’, secara disadari maupun tidak, justru mengalineasi wanita dari dirinya sendiri dengan terus menjadi diri yang lain.

Upaya memberikan ruang kuasa bagi wanita agar secara otonom dapat diklaim sebagai bagian dari haknya, tentu dapat dimulai dengan meliberasi nilai tentang cantik ini pada institusi-institusi publik. Semisal kriteria “berparas cantik atau bernampilan menarik” dalam salah satu persyaratan untuk diterima dalam sebuah pekerjaan. Kriteria semacam ini jelas tidak memihak pada wanita, namun lebih mengutamakan kepentingan visualisasi pria. Selain itu, kriteria tersebut pada gilirannya juga membuat kompetisi menjadi unfair karena bersifat diskriminatif bagi wanita-wanita yang ‘dianggap tidak cantik’          

Tentu para wanita perlu menyadari bahwa cantik itu bukan hanya hari ini. Sedangkan make-up hanya akan bertahan selagi wanita memiliki kapasitas finansial yang mencukupi untuk membelinya. Sehingga amat disayangkan, kalau kecantikan perempuan dihargai hanya sebatas pada ketika wanita bukan menjadi diri sendiri. Bagaimanapun superioritas laki-laki harus diminimalisir, dengan mendorong pria untuk menghargai wanita bukan hari ini saja, tapi sampai hari esok dan keesokannya lagi. Hal itu hanya dapat dilakukan, jika wanita tidak lagi disibukan menjadi diri yang lain, dan memulai tampil apa adanya untuk memberikan semacam peringatan kepada laki-laki agar menghargai wanita tanpa harus menuntutnya menjadi diri yang lain.

Every woman are beauty, they have an own way to determine definition of beauty for their self should not be depends on men.

Ikuti tulisan menarik Tauchid Komara Yuda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler