x

Berselancar di dunia maya.

Iklan

ignatius haryanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tirani Kebencian di Dunia Maya~Ignatius Haryanto

Ada sejumlah orang di dunia maya yang kerjanya mengolok-olok orang, menebarkan kebencian terhadap kelompok-kelompok tertentu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

IGNATIUS HARYANTO

Pengajar Universitas Multimedia Nusantara

Majalah Time edisi 29 Agustus 2016 menampilkan sampulnya dengan kalimat "’Why we’re losing the internet to the culture of hate’ – Joel Stein". Penulisnya memberi judul tulisannya sebagai "Tyranny of the Mob". Tulisan itu mengangkat fenomena troll dalam dunia maya yang, menurut penulisnya, membuat Internet menjadi ajang agresivitas dan kekerasan saling bertemu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Troll secara umum didefinisikan sebagai orang yang mengirim pesan di Internet dengan tujuan membangkitkan tanggapan emosional atau kemarahan dari pengguna lainnya. Ternyata ada sejumlah orang di dunia maya yang kerjanya mengolok-olok orang, menebarkan kebencian terhadap kelompok-kelompok tertentu.

Stein menyebutkan karakteristik pengguna Internet yang berubah. Dulu para pengguna Internet adalah para kutu buku yang memiliki cita-cita ideal soal arus informasi yang bebas. Tapi saat ini Internet dipenuhi oleh pihak yang anti-sosial dan cuek terhadap kondisi di sekitarnya. Kelompok terakhir itulah yang membuat dunia Internet sekarang ini menjadi "monster yang berlindung dalam kegelapan dan kerjanya menakut-nakuti orang lain".

Awalnya kelompok ini (troll) mencari orang yang mau dikorbankan untuk menjadi olok-olok mereka. Tapi, dalam tahap lebih lanjut, olok-olok itu menjadi semakin serius untuk mempermalukan pihak-pihak tertentu, bahkan hingga mengangkat hal-hal yang pribadi dan dilempar ke ruang publik.

Ternyata ada banyak sekali hal yang bisa mengundang kebencian di Amerika Serikat: warna kulit, ras, ukuran fisik seseorang, ideologi politik, dan sebagainya. Stein mengambil berbagai contoh tentang kebencian atas dasar faktor tersebut. Banyak pihak yang menjadi sasaran kebencian, seperti politikus, selebritas, intelektual, hingga orang biasa-biasa saja. Stein menuliskan, bahkan ada pihak yang merasa troll ini sejenis fenomena pertarungan ideologi politik, yang bisa tampil dalam bentuk sehari-hari. Dalam suasana pertarungan politik menjelang pemilihan umum di Amerika, troll menjadi fenomena sehari-hari di dunia maya.

Fenomena itu bukan hanya terjadi di Amerika, tapi juga bisa kita temui di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Kita akan mudah menyebutkan sejumlah profil, nama yang kerap menghiasi dunia media sosial. Sejumlah pihak ini berhubungan dengan mereka yang membela atau menyerang sosok tersebut. Fenomena kebencian ini juga bisa terkait dengan ideologi agama (bahkan tafsir berbeda dalam agama yang sama sekalipun), ideologi politik, selebritas tertentu, juga tentang tindakan oleh pihak tertentu.

Ini rupanya buntut dari perseteruan pasca-pemilihan presiden 2014. Di luar itu, perasaan suka dan tidak suka terhadap sosok selebritas tertentu juga bisa menghasilkan troll tersendiri. Dalam waktu dekat, kita pun melihat fenomena troll dalam kasus pemilihan kepala daerah DKI Jakarta yang akan digelar pada tahun depan. Troll yang ada terus menyerang pihak lain yang dianggap berseberangan.

Direktur SafeNet Indonesia, Damar Juniarto, dalam pembicaraan pribadi, juga menyatakan keprihatinannya terhadap perkembangan di dunia maya ini. Ia secara retoris bertanya: "Mengapa dunia Internet yang seharusnya memberikan kebebasan kepada para penggunanya jatuh pada kondisi membela mati-matian pihak lainnya? Apakah ini merupakan kemunduran?"

SafeNet merupakan sebuah kelompok yang mendata sekaligus mendampingi mereka yang mengalami kasus terkait dengan kebebasan berekspresi atau penebar kebencian di dunia maya. Sejak 2008, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan pasal yang paling menakutkan adalah Pasal 27 dan 28.

Dalam catatan SafeNet, dalam setahun terakhir, tak kurang dari sebelas aktivis telah dijerat dengan pasal-pasal pidana UU ITE. Yang terakhir terkena kasus ini adalah koordinator ForBALI, I Wayan "Gendo" Suardana, yang dilaporkan oleh Pos Perjuangan Rakyat (Pospera) pada pertengahan Agustus lalu. Adapun pada periode 2008-2014 tercatat ada 69 kasus ITE yang muncul ke permukaan, dari Aceh hingga Makassar.

Kita belum tahu apakah kebencian yang ditampilkan para netizen di Indonesia sudah separah seperti yang terjadi di Amerika. Tapi apakah dunia Internet kita ini akan dominan mengurusi masalah benci-membenci sekelompok orang, suatu pandangan politik, orientasi seksual, dan soal pemahaman keyakinan tertentu?

Komedian Amerika, Megan Koester, yang juga pernah menjadi salah satu korban troll, menyatakan Internet merupakan sekumpulan para pengecut. Inilah yang ironis dari masyarakat informasi saat ini: kemudahan berkomunikasi dan pencarian pengetahuan makin mudah dilakukan, tapi kebencian pun kian mudah disampaikan dan ditularkan kepada pihak-pihak lain.

Pastilah kebencian ataupun intoleransi sudah hadir lebih dulu daripada Internet. Tapi Internet mengamplifikasi kebencian dengan cara yang cepat dan memperluas cakupan kebencian. Sedangkan di sisi lain, pihak yang berseberangan pun melawan kebencian pihak lain. Upaya mencari dialog atau jalan tengah sering kandas dalam situasi yang demikian.

Ikuti tulisan menarik ignatius haryanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler