x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jenius Kian Langka?

Mungkinkah penemuan besar dalam sains tak akan terjadi kembali, dan karena itu tak ada lagi para jenius?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Ilmuwan jenius kini semakin langka,” kata Keith Simonton, seorang akademisi di University of California at Davis, AS—Simonton memakai istilah scientific genius. Saat ini, menurut Simonton, sains modern hanya menyisakan ruang kecil bagi orang-orang seperti Galileo (di masa lalu), yang menggunakan teleskop untuk mempelajari langit, atau Charles Darwin, yang mengajukan teori evolusi.

Dalam suratnya yang dimuat di jurnal Nature edisi Januari 2013, Simonton mengatakan, kemajuan masa depan dibangun di atas apa yang telah diketahui dan bukan mengubah fondasi pengetahuan. Bila saya tak keliru tafsir, ini berarti tidak akan ada perubahan mendasar seperti ketika Albert Einstein meruntuhkan fondasi fisika Newtonian. Pendeknya, tidak ada revolusi saintifik seperti yang disimpulkan oleh Thomas Kuhn, melainkan hanya sains normal semata.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selama abad yang baru lewat, kata Simonton—yang menulis buku Origins of Genius, tidak tercipta disiplin yang benar-benar orisinal. Pendatang baru umumnya berupa hibrida dari disiplin yang sudah ada, contohnya astrofisika dari astronomi dan fisika serta biokimia dari biologi dan kimia. Semakin sukar pula bagi individu untuk membuat kontribusi yang mendasar (groundbreaking contributions), sebab karya yang sangat mutakhir seringkali dikerjakan oleh tim yang besar dan didanai dengan sangat baik.

Ini bukan yang pertama kali orang meramalkan bahwa hari-hari paling menggairahkan dalam sains segera berakhir. Pandangan Simonton itu mengingatkan saya kepada buku yang ditulis oleh John Horgan pada tahun 1997. Judulnya provokatif: The End of Science. Sewaktu terbit, banyak pihak menyambutnya dengan antusias, yang kontra pun tak kurang banyak. Tesis yang diusung Horgan kira-kira seperti ini: sains modern telah mencapai batas terdepannya. Bersamaan dengan itu, “kesempurnaan sains berbanding lurus dengan akhir petualangannya.”

Dari hasil studinya maupun wawancara dengan para pemuka ilmu pengetahuan modern di antaranya Steven Weinberg dalam fisika dan Thomas Kuhn yang menggegerkan dengan teorinya tentang revolusi sains, Horgan berpendapat bahwa tak ada lagi yang perlu dibuktikan, tak ada lagi yang perlu dicapai, dan tak ada lagi yang lebih menarik (dari temuan yang sudah ada).

Horgan menyimpulkan bahwa sains-sains terdepan telah mencapai batasnya. Tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab karena memang sudah terjawab. Benarkah kesimpulan Horgan? Tidak mudah untuk menjawabnya, namun sebelum datangnya teori relativitas dan mekanika kuantum, pada awal abad ke-20, sebagian ilmuwan sudah meramalkan bahwa semua penemuan besar sudah dilakukan. Penemuan berikutnya, menurut mereka, hanya memerinci penemuan besar. Terbukti kemudian, ramalan mereka meleset.

Karena itu, kemajuan di masa depan niscaya tetap tidak terduga. Bukan tidak mungkin, apa yang telah kita yakini sebagai kebenaran ternyata keliru dan harus dibongkar hingga fundamennya. Proyek Genome maupun proyek perburuan Partikel Tuhan memang mendukung apa yang diargumenkan oleh Simonton: riset sains modern kini melibatkan ratusan ilmuwan dan membutuhkan dukungan dana yang sangat besar. Namun, bukankah Einstein merevolusi sains hanya dengan berbekal kertas dan pensil? **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler