x

Seorang tentara wanita dari Unit Perlindungan Rakyat (YPG) menunjukkan simbol V atau simbol perdamaian dalam perayaan Festival Newroz di Diyarbakir, Turki, 21 Maret 2016. Festival Newroz digelar untuk merayakan Tahun Baru Persia. Getty Images

Iklan

Cak Mun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perbaiki Diri di Hari Perdamaian Dunia

Sejarah akan terus berulang dalam ritus kehidupan manusia, mencakup aspek baik maupun buruk. Maka di sinilah arti pentingnya akal manusia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

L’histore serepete. Semboyan bahwa sejarah itu bisa terulang ternyata bukan isapan jempol belaka. Realita dalam kehidupan saat ini ternyata merupakan replikasi kejadian masa lampau para pendahulu kita.

Tidak bisa dipungkiri, kejadian-kejadian sejarah yang terulang pada kenyataannya mayoritas melibatkan peran manusia didalamnya. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat manusia secara sadar atau tidak merupakan subjek utama dalam kehidupan. Bahkan bukan sesuatu yang mengherankan jika manusia dikatakan sebagai pusat peradaban dari dunia yang kita singgahi hari ini.

Peran manusia sebagai pusat peradaban tidak bisa lepas daripada keberadaan akal pada diri manusia. Akal inilah yang menjadikan manusia mendapatkan derajat dari tuhan sebagai seorang khalifatullah –wakil tuhan di atas bumi. Mau tidak mau, suka tidak suka, akal menjadikan kita pelaku utama dalam menjalankan siasat alam semesta demi terpenuhinya hajat hidup manusia itu sendiri.

Sejarah yang terus menerus berulang dalam ritus kehidupan manusia ini mencakup kedua aspek baik dan buruk. Maka di sinilah arti pentingnya akal dalam diri manusia. Akal akan mengelola fakta kedua aspek tersebut untuk mengukur, mana yang selayaknya dicontoh dan mana sebaliknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun ini, tanpa kita sadari sudah hampir lima tahun konflik Syiria masih belum menemui titik terang. Tanpa memandang remeh konflik di negara lain, Syiria pada kenyataannya sudah meminta tumbal ratusan ribu nyawa tidak berdosa. Selain itu, jutaan korban lainnya harus terusir dari tempat tinggal mereka karena konflik yang tidak berkesudahan.

            Kenyataan pahit ini kontras dengan fungsi akal –sebagaimana mestinya dalam memandang sejarah. Sejarah yang berulang-ulang selalu mengajarkan, bahwa peperangan bukan sesuatu yang pantas dilestarikan. Peperangan hanya akan menghancurkan kehidupan kedua belah pihak. Lebih jauh, perang tidak pernah memberikan dampak positif selain kebinasaan dan penderitaan orang-orang yang justru tidak terlibat di dalamnya.

            Alquran menuturkan konflik dan perang yang terjadi dalam kehidupan manusia untuk pertama kalinya. Konflik ini bermula dari kecemburuan salah seorang anak Adam terhadap kurban saudaranya yang diterima Tuhan. Dikisahkan, saudaranya telah memberikan kurban dari harta terbaik yang ia miliki. Kecemburuan buta dan rasa sakit hatinya karena dijodohkan dengan wanita yang tidak ia cintai pada akhirnya menggelapkan matanya. Dengan luapan amarah, ia temui saudaranya dan membunuhnya secara keji dengan bongkahan batu yang ia bawa.

            Rasa sakit hati seperti yang telah Tuhan contohkan semacam ini memang kerapkali menjadi alasan kecil terjadinya konflik dan permusuhan dalam hidup manusia. Namun di luar itu, ragam alasan lain juga sah-sah saja menjadi latar belakang terjadinya sebuah konflik.

            Keserakahan manusia terhadap tahta dan harta nampaknya masih menjadi alasan utama terjadinya beberapa perang dalam skala yang lebih luas. Perang salib, penjajahan terhadap negara-negara Asia dan lain sebagainya menjadi contoh favorit dalam melihat latar belakang konflik perang yang terjadi.

            Fanatik buta, intoleran dan sikap mengunggulkan rasnya sendiri juga merupakan latar belakang konflik, perang dan permusuhan yang tidak bisa dianggap sepele. Sikap pengunggulan ras dapat kita lihat pada fakta pembantaian ras semit oleh Nazi beberapa dekade yang lalu. Sementara itu, fanatik dan intoleran belakangan ini memantik permusuhan dalam tubuh mayarakat, utamanya melalui mimbar-mimbar khutbah penuh permusuhan.

            Konflik, perang dan permusuhan sebenarnya bisa saja diminimalisir dengan cara memperbaiki diri manusia itu sendiri. Menghilangkan sifat serakah, kebencian,fanatik buta dan lain sebaigainya merupakan solusi nyata manusia untuk dapat hidup bersama secara damai. Maka dengan momentum hari perdamaian dunia yang jatuh pada hari ini -21 September 2016, sudah seyogyanya kita memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu demi terciptanya kehidupan manusia dan masyrakat dunia yang damai sebagaimana dambaan setiap orang.

Ikuti tulisan menarik Cak Mun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler