x

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengadakan diskusi bertajuk Mencermati Revisi UU BUMN di kantor FITRA, Jakarta Selatan, 22 Maret 2016. TEMPO/Diko Oktara

Iklan

Tasroh

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memberantas ‘Virus’ Holding BUMN

Ketua KPK menduga bahwa transaksi dengan menggunakan jasa bank asing kini menjadi tren bagi para koruptor untuk melakukan pencucian uang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama PPATK baru-baru ini menginformasikan kepada publik bahwa telah terjadi transaksi keuangan yang mencurigakan dari beberapa jajaran elite BUMN di sebuah bank di Singapura yang nilainya sangat fantastis hingga mencapai puluhan juta dollar. Ketua KPK. Agus Rahardjo menyebutkan bahwa temuan ‘transaksi’ itu atas kerjasama KPK Indonesia dengan Biro Investigasi Praktik Korupsi Singapura (CPIB) ( Media Indonesia , 15/9/2016).
 
Berita tersebut kini ramai di viral media sosial lantaran seolah setali tiga uang dengan upaya pemerintah Jokowi melalui agenda Kementrian BUMN untuk segera melaksanakan penggabungan sejumlah BUMN yang selama ini beroperasi secara sendiri-sendiri selama puluhan tahun. Ketua KPK menduga bahwa maraknya transaksi dengan menggunakan jasa bank asing di luar negeri kini menjadi tren baru bagi para koruptor untuk melakukan ‘pencucian uang’ atau pengalihan investasi dengan dana-dana hasil korupsi. Hal ini dilakukan sebagai respon para pengerat uang Negara untuk menghindari pengawasan PPATK di dalam negeri sekaligus mengalihkan asset Negara menjadi asset pribadi-pribadi. 
 
“Kecerdasan’ para elite BUMN melakukan transaksi keuangan di luar negeri yang kini sedang diselidiki KPK itu sekaligus sebagai ‘jawaban langsung’ mengapa agenda dan ajakan pemerintah (cq. Presiden Jokowi—red) melalui Kementrian BUMN untuk bersegera melakukan penggabungan usaha ( holding ) BUMN pada akhir tahun 2017 itu, dipastikan tak hanya berpotensi mangkrak, tetapi juga bahkan berpotensi gagal total. 
 
Sebagaimana diwacanakan oleh Presiden Jokowi melalui kebijakan Menteri BUMN, Rini Sumarno, bahwa dalam waktu dekat, pemerintah berencana melakukan peleburan, penggabungan dan integrasi (disebut super holding ) dari sebanyak 141 BUMN yang ada di Indonesia menjadi 5 cluster berdasarkan jenis dan ragam usaha/investasinya. Ke-5 BUMN super holding tersebut adalah BUMN bidang Pertambangan, Energy, Infrastruktur, Pertanian-Kelautan dan Perbankan. 
 
Wacana super holding BUMN kian menguat dan mendesak karena dua hal strategis bagi kemajuan ekonomi rakyat dan bangsa Indonesia ke depan. Pertama , urgensi penguatan sumber daya BUMN. Diakui selama puluhan tahun, kerja BUMN kita tergolong masih ‘primitif’ jika disandingkan dengan tantangan dan ancaman yang bakal muncul di masa datang di era kompetisi global. Hal ini bisa terlihat dari kinerja asset dan sumber dayanya dimana dengan total asset dari 141 BUMN yang ditaksir mencapai lebih dari Rp 10 ribu triliun, ternyata hanya mampu memberikan deviden dan sumbangan ke kas Negara per tahun tak lebih dari Rp 500 triliun. Padahal berdasarkan hitungan pakar ekonomi Iksanudin Noorsy (2016), dengan asset ribuan triliun itu, semestinya dari sebanyak 141 triliun minimal bisa memberikan sumbangan ke kas Negara mencapai minimal Rp 432 triliun jika tiap BUMN rutin dan disiplin bisa menghasilkan setoran ke kas Negara sekitar Rp 3 triliun. 
 
Kedua , mencegah alih asset dan kas Negara ke kantong (kuasa) elite BUMN. Sebagaimana diduga KPK, selama ini banyak asset dan fasilitas BUMN yang nota bene ‘milik negara’ dengan sangat mudah dan cepat dialihkan menjadi urusan pribadi-pribadi oknum pejabat di BUMN. Contoh terkini adalah gampangnya jajaran Direksi BUMN (Konstruksi) (PT Brantas Abipraya) yang ‘menyuap’ jajaran aparat hukum hingga Rp 3 miliar hanya dengan alasan ‘kuasa’ dirinya sebagai pengambil keputusan keuangan BUMN. Hal ini menunjukkan mudah dan sederhananya mengalihkan keuangan BUMN (Negara) untuk dibelanjakan guna keperluan elite (oknum) yang sedang tersangkut pidana, sebagaimana hasil kajian Litabang KPK (2016), praktik culas demikian tak hanya merusak asset BUMN tersebut, tetapi juga berpotensi ‘membusukkan’ perusahaan plat merah secara keseluruhan. Bukan tidak mungkin pula, ratusan hingga puluhan triliunan uang Negara dengan atas nama “independensi’ BUMN, justru masuk ke kantong pribadi para virus ala gendurwo (meminjam istilah budayawan, Indra Trenggono untuk mendeskripsikan sosok pengerat asset dan fasilitas negara—red). 
 
Maka atas dasar hal tersebut, kewaspadaan dan pengawasan terintegrasi disaat-saat sekarang ini jelang pelaksanaan super holding BUMN kita, mendesak untuk dikembangmassifkan di semua lini guna mencegah sedini mungkin alibi pengalihan, penukaran dan pengeratan asset dan fasilitas BUMN k epos-pos illegal dan ‘ngawur’, termasuk berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi-pribadi (oknum) elite BUMN itu sendiri. Apa yang ditemukan KPK di sebuah Bank di Singapura tak hanya menjadi modus baru kejahatan korupsi dan pencucian uang Negara, tetapi berpotensi ‘merusak’ rencana pemerintah untuk segera menggelar holding BUMN. 
 
 
Audit Total 
 
Untuk alasan tersebut, hemat penulis, pemerintah melalui Kementrian BUMN dan kolaborasi lintas Kementrian / Lembaga Negara terkait, termasuk keterlibatan aparat penegak hukum, sejak dini harus segera melakukan audit total yakni bersegera mendata dan melakukan riset komprehensif terkait asset, fasilitas dan sumber daya BUMN, khususnya yang bersifat on cash easy to remove (uang dan barang yang mudah dipindahtangankan—red), (jika perlu) secara online-real time, hasil audit BUMN itu dapat mudah diakses dan dikawal semua komponen bangsa. 
 
Hal ini dilakukan tak hanya sebagai upaya mencegah tindakan ‘ngawur’ (oknum) elite berkuasa di BUMN tersebut, tetapi juga sebagai langkah awal mempersiapkan pelaksanaan super holding BUMN secara keseluruhan agar berjalan sesuai target pemerintah. Karena seperti disebut pakar Aset dari Jepang, Hiro Nikumura dalam Holding Public Corporate (2009), proses holding perusahaan yang berasal dari lintas jenis bisnis dan keragaman investasi (dan secara otomatis) selalu sarat ‘kepentingan’ dan ‘aroma politik’, akan selalu melahirkan ‘anomali’ tata kelola BUMN itu sendiri seperti rumitnya proses pemulihan manajemen serta konflik kepentingan dan kebutuhan diantara elite manajemen antar BUMN. 
 
Apalagi dalam landscape ‘budaya’ manajemen BUMN di Indonesia yang nota bene sudah berpuluh tahun menikmati fasilitas dan asset melimpah dengan kuasa penuh dalam pengelolaan sumber dayanya, kebiasaan ‘berkuasa’ atas alokasi sumber daya perusahaan plat merah hingga dengan mudah pula mendapatkan rente, ‘menguasi dan mengendalikan’ system keuangan BUMN pada segelintir elite, amat berpotensi terjadinya konflik kepentingan ( conflict of interest ) hingga vested interest dengan menjadikan asset dan fasilitas BUMN seolah milik ‘moyangnya’. 
 
Demikian pula hambatan internal yang sengaja dihembus-hembuskan untuk merusak rencana pemerintah oleh segelintir elite BUMN yang menyatakan agar rencana holding BUMN itu dibatalkan atau dibubarkan sebelum terealisasi. Perilaku culas juga mulai massif terjadi dalam ruang kerja manajemen BUMN sendiri dengan cara provokasi dengan isu-isu nasionalisme serta mendayagunakan jaringan politik untuk mencegal rencana holding BUMN. Tindakan dan laku ‘busuk’ ala kerja virus itu harus segera diberantas tuntas bersama sebelum realisasi holding BUMN. 
 
Oleh karena itu, hambatan sekaligus ancaman holding itu sejatinya datang dari virus internal manajemen BUMN itu sendiri dimana masih mengakar budaya tata kelola perusahaan milik Negara ala ‘engkong’ atau ‘moyang’, dengan dalih independensi dan otonomi tata kelola BUMN. Pada titik inilah pemerintah dengan dukungan semua pihak termasuk kalangan legislative dan yudikatif, untuk bahu-membahu membersihkan virus-virus BUMN agar kerja dan kinerja BUMN pasca holding tak hanya mampu meningkatkan daya saing, profesionalisme dan akuntabilitas manajemen BUMN itu sendiri, tetapi mampu membangun BUMN Indonesia yang berperan mendongkrak kesejahteraan’ rakyat dan ekonomi Negara kini dan di masa depan. Malu rasanya melihat kinerja dan daya saing BUMN kita yang cenderung stagnan dengan tata kelola ala ‘nenek moyang’, yang kian tak berdaya merespon dinamika kompetisi global nanti. Yang pasti, rakyat berharap pemerintah Jokowi bergegas mewujudkan super holding BUMN, tak perlu takut dengan para virus itu, sehingga keuangan Negara dan kemakmuran rakyat segera terwujud!** ( Tasroh, S.S.,MPA,.MSc : PNS di Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Pemkab Banyumas dan Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan ) 
 
 
Oleh: Tasroh, S.S.,MPA,.MSc 
PNS di Pemkab Banyumas
Ahli Pengadaan Barang-Jasa Pemkab Banyumas
Tim Penataan Aset Daerah Pemkab Banyumas
Pegiat Banyumas Policy Watch
Dosen di beberapa PTS di Purwokerto
Anggota Tim Desain APBD PemKab. Banyumas 
Anggota Tim Seleksi CPNS PemKab. Banyumas 
Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan

Ikuti tulisan menarik Tasroh lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler