x

Ketua Umum PDIP Megawati Soekanoputri bersama pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat, yang akan diantar langsung mendaftar ke KPUD DKI Jakarta, di Gedung DPP PDI Perjuangan, Jakarta, 2

Iklan

Sulardi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ahok, Megawati dan Sentralisasi Partai dalam Pilkada

Sentralisasi dikritik tetapi tetap diabadikan untuk menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pilkada dan Sentralisasi Partai

Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017, suasana perpolitikan di Jakarta sudah memanas. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akhirnya maju dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta melalui PDI Perjuangan. Yang tak kalah seru adalah mengenai siapa sesungguhnya penantang Ahok.

Sejak memasuki era reformasi dan pasca-perubahan UUD 1945, regulasi tentang pilkada merupakan salah satu peraturan yang paling sering diubah. Dinamika regulasinya pada awalnya digulirkan untuk penguatan demokratisasi dan desentralisasi. Berawal dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang sangat sentralistik sampai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang fenomenal karena baru berusia dua tahun telah mengalami perubahan dua kali, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Ini membuktikan betapa krusialnya pemilihan kepala daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, proses pemilihan wali kota, bupati, dan gubernur dilakukan oleh DPRD, tapi penentu utama siapa yang bakal menjadi kepala daerah pada waktu itu adalah menteri dalam negeri, Golkar, TNI, dan tentu saja atas restu presiden. Nuansa sentralisme sangat terasa pada waktu itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Demokratisasi menunjukkan sedikit perbaikan setelah, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD memiliki peran utama dalam menentukan siapa yang menjadi kepala daerah. Tapi kasus di berbagai daerah menghadirkan distorsi antara keinginan elite politik dan anggota DPRD di satu pihak yang berhadapan dengan masyarakat bawah mengenai calon kepala daerah. Bahkan, isu adanya politik uang mewarnai pelaksanaan pilkada oleh DPRD ini. Asumsi dan temuan terkait dengan hal tersebutlah yang kemudian mendorong terjadinya perubahan metode dalam pemilihan kepala daerah. Yang semula dipilih oleh DPRD diubah menjadi dipilih oleh rakyat.

Pergumulan pemikiran untuk mencari solusi atas keruwetan tata cara pilkada yang terdikotomi antara dipilih oleh DPRD dan rakyat itu diselingi perdebatan yang sesungguhnya tidak penting. Perdebatan tersebut, antara lain, adalah apakah pilkada itu rezim pemerintah daerah ataukah rezim pemilu? Bagaimana dengan calon independen? Bagaimana hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah? Apa kedudukan inkumben dalam pilkada serta perlu izin atau cutikah jika inkumben mencalonkan diri lagi?

Perdebatan itu sungguh tak ada pengaruhnya terhadap hasil pemilihan kepala daerah. Sebab, ada satu hal yang dilupakan, yakni masih kuatnya cengkeraman partai politik terhadap kader-kader partai di daerah. Sentralisme dalam diri partai politik itu dapat dilihat pada persyaratan pendaftaran pasangan calon bupati dan pasangan calon wali kota yang dilengkapi dengan surat keputusan pengurus partai politik tingkat pusat tentang persetujuan atas calon yang diusulkan oleh pengurus partai di provinsi.

Demikian halnya untuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, harus ada surat keputusan tentang persetujuan dari partai politik pusat atas calon yang diusulkan oleh pengurus tingkat provinsi. Artinya, persetujuan, yang dalam bahasa politiknya menjadi rekomendasi ketua partai, merupakan syarat mutlak untuk dapat mendaftarkan diri sebagai calon gubernur, bupati, ataupun wali kota. (Lihat Pasal 42 ayat 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016)

Pilihan sistem pemerintah daerah adalah desentralisasi, yang berfokus pada penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah. Jika pemerintah pusat sudah menyerahkan urusan-urusannya kepada daerah, seolah-olah masalah desentralisasi telah selesai. Padahal, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah itu semestinya masyarakat daerah mendapatkan porsi yang memadai untuk berkontribusi atas keberhasilan penyelenggaraan pemerintah daerahnya.

Namun dengan sentralisasi sistem pencalonan kepala daerah dalam tubuh partai politik ini sesungguhnya sistem pemerintahan desentralisasi belum ada. Sebab, pemimpin partai politik di tingkat pusat masih sangat menentukan siapa yang bisa menjadi calon-calon kepala daerah. Hal itu yang lepas dari perhatian kita semua. Sentralisasi dikritik, tapi tetap diabadikan untuk menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerah.

Sudah saatnya desentralisasi dilakukan sepenuhnya. Oleh sebab itu, perlu penguatan kepada partai politik di daerah agar mempunyai kekuatan untuk menentukan siapa yang pantas memimpin daerahnya. Ini bisa diselenggarakan lewat konvensi di daerah atau pimpinan partai politik di daerah bermusyawarah untuk menentukan siapa kader partainya yang akan dijagokan dalam pilkada. Hal itu perlu agar desentralisasi berjalan seiring dengan kekuasaan partai politik yang diserahkan juga kepada pemimpin di daerah.

Sulardi

Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 21 September 2016

Ikuti tulisan menarik Sulardi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

1 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB