x

Iklan

Victor Rembeth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bencana Swiss Van Java, Riwayatmu dulu.

Pengurangan Risiko Bencana harus dilakukan semua pihak untuk menjaga ketangguhan bangsa dari bencana

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bencana Swiss Van Java, Riwayatmu dulu.

 

“Tata kelola DAS Cimanuk adalah “teladan buruk” manajemen risiko bencana dan pengelolaan risiko melalui pembiaran yang hampir sempurna.”    

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

          

                  Dalam kedukaan yang dalam bersama dengan para korban dan komunitas terdampak bencana di Swiss Van Jawa, Garut yang indah, kembali kita diingatkan bahwa banjir bukanlah hanya sekedar musibah. Peningkatan “kualitas” dan kuantitas amarah sungai-sungai di Indonesia tidak terjadi begitu saja dengan menyalahkan alam atau bahkan Tuhan. Sungai dimana menjadi sumber penghidupan dan kehidupan umat manusia telah menjadi momok menakutkan.

                  Sebelum Garut, di tahun 2010 masih segar  di ingatan kita akan dahsyatnya aliran sungai menghantam Wasior dengan kerusakan yang masif. Selang 4 tahun kemudian tsunami kecil menghantam Manado dan sekitarnya dari sungai-sungai yang mengalir memasuki wilayah kota yang padat. Juga beberapa yang lain dalam skala lebih kecil makin kerap terjadi di berbagai sungai yang mengaliri daratan di berbagai pulau di Indonesia

                  Kalau kita kemudian buru-buru memakai frasa fatalisme “musibah yang merupakan cobaan dari Tuhan” maka dengan mudahnya bencana kita kerangkeng dalam ruang “bebas nilai” yang absurd. Jika demikian manusia memang selayaknya dikorbankan karena Tuhan marah dan tak ada tempat bagi ciptaanNya yang tertinggi ini untuk dapat mengurangi kesengsaraan sesamanya manusia. 

              Ironisme para pejabat Negara yang tiba-tiba rajin mengunjungi mereka yang sengsara dengan memakai sayap temporer malaikat penolong seakan bisa menghapus kepedihan para korban.  Padahal harusnya para pengambil keputusan penggunaan uang pajak Negara ini bisa menyelamatkan mereka yang sudah jelas-jelas hidup dalam bahaya bencana di depan mata.  Menangani bencana bukan hanya ketika kejadian, tetapi apik bila dilakukan jauh hari untuk mengantisipasi bahaya yang ada.

             Dengan kemasan yang berbeda tidak sedikit juga pelaku industri dan lembaga usaha hadir dengan kepedulian dengan memberi santunan bagi mereka yang terdampak. Betul-betul sebuah peragaan “altruisme” yang juga seharusnya bukan hanya berhenti untuk sekedar memberi plester bagi luka yang menganga besar, tetapi bisa menyemebuhkan dengan seharusnya menjadi pelaku bisnis yang tidak mempertinggi risiko bencana.

            Adalah Pemerintah yang perlu bertanggungjawab ketika bencana seperti ini terulang lagi. Jauh-jauh hari, sejak tahun 2015, citra satelit yang merupakan peringatan dini akan terjadinya bencana sudah mengindikasikan lokasi rawan bencana Daerah Aliran Sungai  (DAS) Cimanuk. Ketika hulu telah berwarna merah karena hilangnya pohon yang seharusnya ada disana, maka harusnya sudah merupakan peringatan yang jelas untuk melakukan mitigasi bencana bagi pengurangan risiko kemarahan sungai.

          Memperkuat citra satelit itu, data Indek Risiko Bencana Indonesia (IRBI) yang dilansir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun telah memvonis bahwa DAS Cimanuk teridentifikasi kritis.  Sudah tentu analisa yang dibuat lembaga Negara yang mengurus pengurangan risiko bencana ini bukanlah sekedar kertas tak berguna yang bisa disepelekan oleh mereka yang bisa melindungi rakyatnya. Data ini  harus dipakai pemerintah setempat untuk  melakukan aksi nyata.

          Namun disayangkan penggunaan teknologi dan analisa akademis yang sudah terang benderang itu tidak dipakai oleh duty bearer yang wajib melindungi rakyatnya dengan sepatutnya. Pembiaran terjadi dengan tidak melakukan tindakan-tindakan mitigasi baik yang struktural (penghijauan kembali dan revitaliasi DAS), maupun yang non struktural (penegakan hukum dan penguatan masyarakat).

           Negara seakan dengan sengaja telah meninggalkan rakyatnya ketika Indonesia justru sudah bersama menyepakati KERANGKA AKSI SENDAI UNTUK PENGURANGAN RISIKO BENCANA  yang harusnya diaplikasikan sejak 2015. Dua amanat Prioritas aksi dari empat yang ada dalam hal ini harusnya dapat dimanifestasikan dalam program-program pembangunan yang mengurangi risiko bencana. Apalagi bila daerah-daerah yang ada di negeri ini telah diidentifikasi dengan bahaya bencana yang spesifik dan jelas.

           Prioritas Aksi Pertama Kerangka Sendai mengamanatkan bahwa Negara harus mampu “Memahami risiko bencana yang ada”. Baik di tingkat nasional maupun lokal segala sumber daya seyogyanya dikerahkan agar risiko yang ada dapat dikurangi . Upaya-upaya peningkatan kapasitas semua stakeholder sudah harus diperkuat ketika tahu DAS Cimanuk membawa bahaya yang merupakan clear and present danger.

                Amanat kedua Kerangka Sendai menyatakan bahwa Negara perlu “Memperkuat tata kelola risiko bencana dan manajemen risiko bencana”. Sayang upaya total disaster management yang mensyaratkan komitmen pemerintah di semua lini untuk dapat mengaplikasikan manajemen risiko bencana dilihat hanya secara parsial dan tidak menjadi prioritas pembangunan yang kerap hanya mengejar PAD dan pertumbuhan ekonomi semata.  Tata kelola DAS Cimanuk adalah “teladan buruk” manajemen risiko bencana dan pengelolaan risiko melalui pembiaran yang hampir sempurna.

                Selain kelalaian Negara yang harusnya hadir bukan di saat tanggap darurat saja, sudah tentu pihak yang lain yang harus bersama menanggung beban tanggung jawab peningkatan daya rusak yang masif Cimanuk adalah pelaku usaha/industri. Masuknya pemodal besar dengan penggunaan daerah sepanjang DAS untuk sekedar meraup keuntungan ekonomi menjadikan pola ekonomi masyarakat terbentuk untuk meningkatkan kerentanan terhadap bahaya bencana yang ada.

                  Kembali mengacu kepada Kerangka Sendai, maka prioritas aksi ketiga perihal investasi mengamanatkan bahwa  harusnya mengupayakan “Investasi dalam pengurangan risiko bencana untuk ketangguhan”. Antitesisnya di Indonesia secara khusus di DAS Cimanuk, investasi membabi buta dilakukan untuk peningkatan risiko yang meningkatkan kerentanan. Untuk orientasi profit yang tidak santun, masyarakat selama bertahun digiring untuk menggali lubang-lubang kematian dan penderitaan sendiri.

                  Sudah tentu dalam model Penanggulangan Bencana yang lengkap semua pihak tidak terkecuali bertanggungjawab untuk pengelolaan bencana yang buruk. Tiga aktor penting Penanggulangan Bencana yang disyaratkan UU Penanggulangan Bencana 24/2007: Pemerintah, Dunia Usaha dan Masyarakat semua harus bertanggungjawab untuk mereka yang menjadi korban dalam tragedi Swiss Van Java  kali ini. Ketika pemerintah lalai, dunia usaha mempertinggi risiko, maka masyarakatpun seharusnya memiliki andil dalam perilaku yang berrisiko tinggi mengundang bencana.

                  Adalah menarik ketika alih fungsi lahan oleh masyarakat dilakukan dengan tidak memperhatikan kemolekan dan kelestarian sang ibu pertiwi.  Pohon yang menjadikan daerah hulu dapat menyerap air untuk mengurangi run off curah hujan yang ekstrim, habis digerus untuk kegiatan-kegiatan ekonomi, diantaranya bertanam sayuran. Masyarakat seakan kehilangan petuah para leluhur dengan tidak lagi menghargai berbagai kearifan lokal untuk merawat sang ibu pertiwi, untuk alasan yang sangat klasik: Ekonomi.

                  Kisah hancurnya Garut adalah kisah hilangnya riwayatmu Cimanuk dulu.  Ini adalah kisah ulangan hancurnya Wasior dan Manado dan puluhan kota-kota lainnya karena perilaku manusia yang dengan mudah melalaikan tanggungjawab untuk sebuah dunia yang lebih baik, dan bukan sekedar lebih kaya. Cimanuk mengamuk bukan sekedar “kebosanan Tuhan kepada kita”, tapi peringatan Tuhan akan perilaku kita yang semakin lupa mengasihi tempat hidup kita sebagaiman mustinya.

                  Inisatif Post Factum pemerintah kendati baik dan harus dilakukan dengan mengadakan penanaman ulang di hulu dan revitalisasi DAS, namun bukanlah hanya bersifat sporadis apalagi sekedar aksi “hangat tahi ayam”, yang bisa menguap sekejap ketika media telah berlalu. Segala upaya harus dilakukan untuk konsep build back better DAS Cimanuk. Mereka yang telah menjadi korban adalah mereka yang menjadi tanggungjawab kita semua.

                  Untuk itu semua upaya harus dilakukan agar kejadian serupa tidak terjadi di puluhan DAS lainnya yang memiliki risiko sama di Indonesia. Upaya-upaya mitigasi struktural harus diprioritaskan oleh pemerintah dalam upaya mengurangi risiko sungai yang merupakan interconnected corss boundary hazard. Inisiatif yang kreatif perlu dilakukan agar tidak tersandera dengan aturan-aturan yang kaku antar kabupaten/kota dan provinsi yang dilalui oleh DAS-DAS yang berisiko.

                  Tidak bisa juga disepelekan kekuatan mitigasi non struktural yang harus dilakukan. Kepatuhan terhadap kebijakan yang ada harus diperkuat dengan penegakan hukum yang tegas. Aturan tataruang dan kelayakan berusaha harus dicermati dengan seksama agar tidak sembarangan memberikan ijin untuk lahirnya risiko-risiko baru. Penguatan kapasitas masyarakat yang tangguh dan sadar bencana sudah mendesak dilakukan di DAS-DAS yang terus berdetak menuju lonceng kerusakan masif.

                  Sudah saatnya kita kembali kepada komitmen menjadi Negara dan komunitas yang berketangguhan menghadapi bencana . Kita harus mampu meningkatkan ketahanan yang menurut lembaga pengurangan risiko bencana PBB, UNISDR, sebagai, “Kemampuan sebuah sistem, komunitas atau masyarakat yang terpapar hazard untuk melawan, menyerap, mengakomodasi dan memulihkan diri dari dampak suatu bahaya secara cepat dan efisien, termasuk melestarikan dan memulihkan struktur dan fungsi dasar yang penting”

               Rasa kehilangan para keluarga terhadap kekasih hati mereka yang meninggal dan hilang pastilah tidak mudah untuk digantikan. Namun mengulangi hal yang sama  di berbagai DAS yang lain adalah sebuah kesembronoan yang buruk dan tidak bertanggungjawab. Mari kita upayakan pengurangan risiko bencana di berbagai DAS yang ada, sambil mengingat Swiss Van Jawa, riwayatmu dulu. Kembali mencintai alam, kembali mencintai sungai dan kembali meningkatkan ketangguhan manusia untuk alam yang dihidupinya.

 

dengan bunda, 24 September 2016

Victor Rembeth, Reader on Environmental Ethics and Philosophy Thamrin School, Board Humanitarian Forum Indonesia (HFI)

Ikuti tulisan menarik Victor Rembeth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB