x

Iklan

ricko wawo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Donatus Nong, Budaya Literasi dan Ironi Pembangunan Pariwisa

Minat baca anak sangat rendah dan memprihatinkan. Melihat kenyataan ini, Donatus Nong mendirikan sebuah taman baca. Namun pemerintah masih belum antusias.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Donatus Nong, Budaya Literasi dan Ironi Pembangunan Pariwisata NTT

Di tengah derasnya arus teknologi digital yang menawarkan beragam kenikmatan, harus diakui perkembangan teknologi belum memberi dampak signifikan bagi perkembangan budaya literasi. Budaya literasi di Nusa Tenggara Timur (NTT) memprihatinkan. Membaca dan menulis belum menjadi bagian dari kebudayaan. Maka tidak heran pendidikan di NTT jalan di tempat kalau tidak mau dikatakan terbelakang. Namun, ditengah pesimisme dan ketidakpastian nasib pendidikan anak-anak NTT, muncul secercah harapan yang sangat membanggakan dan kelak akan menentukan generasi muda puluhan tahun ke depan.

Hampir tidak ada yang bisa membayangkan kalau di sebuah kampung kecil di luar kota Maumere, di sebuah kampung bernama Takaplager di Nian Tana Sikka, Donatus Nong mempunyai mimpi besar untuk anak-anak di kampungnya. Mimpinya luhur namun sederhana; agar anak-anak di kampungnya bisa membaca buku dan menulis. Don yang setiap harinya bekerja sebagai security di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero ini tentu telah melihat bahaya modernisme dan globalisasi teknologi informasi digital yang kian menggerogoti kehidupan anak-anak di kampungnya. Ia tidak ingin anak-anak di kampungnya lebih terbiasa menonton televisi daripada membaca buku. Ia tidak ingin melihat anak-anak di kampungnya lebih lihai bermain game yang tersedia dalam gadget daripada menulis.

Yang lebih memprihatinkan lagi, menurut Don, di kampungnya sendiri sudah ada anak-anak yang karena melihat orang tua mereka bermain billiard dan berjudi, mereka pun akhirnya juga ikut-ikutan bermain billiard dan berjudi. Masa kecil mereka terlewati begitu saja dengan hal-hal yang negatif. “Jika sejak kecil sudah terbiasa dengan billiard dan judi, mau jadi apa anak-anak di kampungnya ini kalau sudah dewasa nanti”, ujarnya prihatin. Lagi-lagi keteladanan orangtua dipertanyakan dan pada akhirnya generasi muda Nian Tana memprihatinkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Situasi-situasi seperti ini terus menggelisahkan hati pria hitam manis ini. Tanggungjawab sosialnya sebagai orangtua digugat. Nuraninya berontak; anak­-anak harus diberi ruang. Intervensi orang dewasa terhadap anak-anak dihentikan. Yang ada dibenaknya; kalau anak-anak di kampungnya ingin maju, mereka harus membaca, membaca dan membaca.

Don pun mulai beraksi. Dengan modal pas-pasan, ia mulai berbuat dari hal yang paling sederhana; mendirikan sebuah taman baca mini di teras samping rumahnya. Taman baca itu diberi nama taman baca Bida Mitan Takaplager.

Ia mulai bergerak. Berbekal relasinya dengan Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, ia mulai mengumpulkan buku-buku dan koran-koran bekas yang ada di lembaga pendidikan calon imam katolik ini. Buku-buku dan koran-koran bekas itu ia bawa ke taman baca Bida Mitan yang ia dirikan itu. Informasi tentang berdirinya taman baca ini ia sebarkan kepada orang tua-orang tua dan guru-guru sekolah yang ada di kampung Takaplager dan di kampung sekitar. Usahanya berbuah hasil. Anak-anak kecil usia SD sampai SMP bahkan ada anak-anak SMA berbondong-bondong datang ke taman baca Bida Mitan untuk membaca dan mengerjakan PR setiap hari.

Don semakin yakin kalau anak-anak hanya perlu diberi ruang. Dulu, ruang untuk membaca belum ada. Sekarang ruang itu sudah ia ciptakan. Semangatnya untuk mengembangkan taman baca Bida Mitan semakin menggelora. Dari uang penghasilannya sendiri sebagai Satpam, ia mulai mendatangkan beberapa alat musik, alat tulis, pensil warna, buku-buku menggambar dan sejumlah perlengkapan olahraga untuk anak-anaknya yang setiap hari berduyun-duyun datang ke taman baca Bida Mitan. Selain memberi banyak pilihan dan menghindari kebosanan, tujuannya agar di taman baca itu anak-anak bisa bermain sambil belajar. Ia ingin agar di taman baca anak-anak bisa belajar membaca, bermain, bernyanyi, menari dan berkreativitas sesuka mereka tanpa dipungut biaya sepeserpun.

Gayung bersambut, berkat berdatangan, kepedulian Don terhadap anak-anak ini mendapat perhatian dari sejumlah orang. Beberapa orang Pastor di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero mulai menyumbangkan buku-buku bacaan dan majalah-majalah kepada taman baca ini. Beberapa buah rak buku disumbangkan oleh WVI (Wahana Visi Indonesia) untuk digunakan di Taman Baca Bida Mitan. Kini, taman baca yang masih menggunakan teras samping rumah Don telah ramai dikunjungi anak-anak setiap hari. Sejak sepulang sekolah sampai sore hari anak-anak sudah memenuhi taman baca kebanggan mereka. Bila hari libur sekolah, anak-anak sudah mulai membaca di taman baca Bida Mitan sejak pagi hari. Beberapa guru pendamping juga datang secara sukarela ke sana untuk mendampingi anak-anak. Meski dilihat masih banyak kekurangan di sana-sini, Don sekarang mulai melihat hasil, menuai panenan. Beberapa orang anak didikan taman baca yang didirikannya meraih prestasi membanggakan dalam perlombaan Sains dan mewarnai di kota Maumere. Lebih dari itu, menurut pengakuan orang tua mereka sendiri, anak-anak yang selalu membaca di taman baca Bida Mitan selalu unggul dan berprestasi di sekolah mereka. Kerja keras Don dalam mengkampanyekan budaya literasi patut diapresiasi setinggi-tingginya.

Sayang, kepedulian dan kerja keras Don mengkampanyekan budaya literasi anak-anak Nian Tana ini tak menyentuh nurani pemerintah secuilpun. Beberapa proposal sudah ia buat dan ia sodorkan ke Dinas terkait. Namun jawaban dari pemerintah nihil entah dengan alasan apa. Padahal, menurut data dari The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), budaya membaca masyarakat Indonesia berada di tingkat terendah di antara 52 negara di Asia. UNESCO bahkan melaporkan pada 2012 kemampuan membaca anak-anak Eropa dalam setahun rata-rata menghabiskan 25 buku, sedangkan Indonesia mencapai titik terendah 0 persen. Tepatnya 0,001 persen. (Najwa Shihab, KOMPAS, 18 Agustus 2016). Dengan angka presentasi seperti ini bagaimana bisa membayangkan minat baca anak-anak di Kabupaten Sikka dan NTT?

Pemerintah daerah Kabupaten Sikka dan pemerintah Provinsi NTT dengan sangat gencarnya hendak menjadikan pariwisata sebagai leading sector pembangunan daerah. Akan tetapi, di saat yang bersamaan upaya ini memunculkan ironi antara pembangunan demi pariwisata dan peningkatan Sumber Daya Manusia yang kompeten. Sejauh ini pariwisata yang menjadi ujung tombak pembangunan daerah justru lebih banyak menguntungkan para pemilik modal asing dan segerombolan pejabat yang duduk di pemerintahan. Peningkatan mutu hidup masyarakat dari segi ekonomi, kesehatan, dan pendidikan mati angin. Belum lagi berbicara soal akses jalan, listrik, air, sekolah dan rumah sakit di kampung-kampung terpencil yang sampai saat ini tak diperhatikan. Pariwisata yang selama ini digadang-gadang sebagai salah satu sektor yang menjanjikan ternyata sama sekali tak memberi dampak bagi peningkatan ekonomi masyarakat di daerah-daerah yang mayoritas petani dan nelayan. Bahkan dengan dalih promosi pariwisata, pemerintah Provinsi berhasil menyelenggarakan event Tour de Flores (TdF), sebuah ajang balap sepeda yang melibatkan para pebalap dari seluruh penjuru dunia. Namun lihat sekarang; apa dampak TdF bagi masyarakat petani dan nelayan. Hampir tak terlihat. Mirisnya, pemerintah seolah tutup mata terhadap mereka dan dengan bangga mengatakan event ini telah sukses memperkenalkan Flores secara khusus ke mata dunia.

Sekali lagi, persoalan literasi, bagi sebagian besar orang, memang tampak tak semendesak pembangunan pariwisata. Namun, berpuluh tahun ke depan generasi mudalah yang memegang kendali pemerintahan. Bisa dibayangkan, apa jadinya kabupaten Sikka secara khusus dan Provinsi NTT secara umum bila generasi mudanya tak berkompeten dalam dunia yang semakin modern dan global ini. Peradaban manusia jalan di tempat atau bahkan mundur itu sudah pasti.

Nah, Donatus Nong dengan taman baca Bida Mitan Takaplager-nya telah memulai sesuatu yang kecil namun bernilai di masa depan. Beberapa dekade ke depan jangan heran kalau anak-anak jebolan taman baca ini yang akan membawa perubahan bagi daerah ini.

Dari sebuah kampung kecil di pelosok Sikka bernama Takaplager dan bersama Bida Mitan, Don telah menciptakan sebuah peradaban yang berkualitas.

 

Ricko W

(Pegiat Sastra di komunitas Kahe Maumere, tinggal di Ledalero)

 

Ikuti tulisan menarik ricko wawo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB