Mahkamah Kehormatan Dewan tiba-tiba mengeluarkan putusan yang mengejutkan: memulihkan nama baik mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto. Putusan ini diambil setelah sebelumnya Setya--kini ia menjadi Ketua Umum Partai Golkar-- mengajukan permohonan pemulihan nama ke Mahkamah Kehormatan DPR.
Setya bermodalkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20 Tahun 2016 yang mengoreksi aturan soal rekaman sebagai alat bukti hukum dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Permohonan uji materi ini juga diajukan oleh Setya Novanto sendiri. Inti koreksi MK adalah rekaman elektronik tidak bisa dipakai lagi sebagai alat bukti kecuali dilakukan oleh penegak hukum.
Atas dasar itu, Mahkamah Kehormatan kemudian memulihkan nama baik Setya yang akhir tahun lalu diadili oleh alat kelengkapan DPR ini. Menurut Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan, Sarifuddin Sudding, Mahkamah mengabulkan permohonan Setya. “Sudah diputuskan rapat kemarin (27 September 2016). MKD memulihkan harkat dan martabat terkait dengan persidangan," ujarnya kepada Tempo. (Baca: Mahkamah Pulihkan Nama Baik Setya Novanto)
Putusan Mahkamah lewat persidangan yang terkesan dilakukan diam-diam itu sungguh janggal. Setidaknya terdapat tiga hal yang aneh dari putusan pemulihan nama baik Setya.
1. Aturan etik berbeda dengan hukum
Benar bahwa rekaman percakapan Setya Novanto yang dijadikan bukti dalam sidang kode etik tidak dibuat oleh penegak hukum. Tapi ranah kode etik jelas berbeda dengan ranah penegakan hukum. Putusan MK hanya berkaitan langsung dengan proses penegakan hukum. Koreksi terhadap Undang-Undang ITE tidak otomatis pula menghapus ketentuan serupa dalam aturan yang menyangkut kode etik.
Sampai sekarang DPR juga belum mengubah Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan. Pasal 27 huruf d peraturan itu jelas memasukkan rekaman elektronik sebagai alat bukti. Aturan ini mendeskripsikan jenis alat bukti, yakni informasi yang dapat dibaca, dilihat, atau didengar, termasuk rekaman elektronik.
Putusan MK hanya dampak langsung pada proses penangan kasus ini antara lain di kepolisian. Sudah lama polisi menyetop pengusutan skandal Setya Novanto. Kini penegak hukum tak ada peluang lagi untuk mengungkap kasus itu karena akan terbentur oleh keabsahan bukti rekaman.
2. Menabarak asas tidak boleh berlaku surut
Kalaupun Tata Beracara Mahkamah Kehormatan DPR itu diubah, nama Setya Novanto tetap susah dipulihkan. Aturan etik dan pidana seharusnya tidak bisa berlaku surut demi menegakkan kepastian hukum. Kalau asas ini diabaikan, betapa kacaunya proses penegakan etik dan hukum.
Banyak sekali pelanggar hukum dan etik yang harus dibebaskan dari hukuman atau dipulihkan nama baiknya gara-gara perubahan aturan. Saat Setya Novanto diadili dalam sidang etik, aturan mengenai rekaman sebagai alat bukti jelas masih berlaku (Baca juga Tiga Alasan Kenapa Setya Novanto Sulit Diselamatkan)
3. Mahkamah tak memutus kasus Setya
Mahkamah Kehormatan terlihat tidak konsisten karena lembaga ini sebetulnya tidak pernah mengeluarkan putusan mengenai skandal Setya. Sidang kasus “Papa Minta Saham” ditutup pada 26 Desember 2015 tanpa putusan dengan alasan Setya sudah mengundurkan diri sebagai Ketua DPR. (Baca: Tanpa Putusan MKD Hentikan Kasus Setya Novanto)
Keputusan menghentikan sidang tanpa putusan itu sungguh keliru karena Setya diadili sebagai anggota Dewan dan bukan sebagai Ketua DPR. Mahkamah semestinya tetap mengeluarkan putusan, bahkan jika perlu memberikan sanksi berupa pemecatan Setya dari anggota DPR. Kini Mahkamah menambah blunder dengan memulihkan nama baik Setya. Apa yang dipulihkan bila Mahkamah tak pernah menjatuhkan putusan atas kasus Setya?
Artikel lain: Skor KPK vs Setya Novanto 0:1, Tapi Pertandingan Belum Usai
Ikuti tulisan menarik Gendur Sudarsono lainnya di sini.