x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tak Ada Perempuan di Antara Nobelis Sains

Dari seluruh Penghargaan Nobel yang pernah diberikan, hanya sekitar 5,45 persen yang diterima perempuan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Jesse Emspak menulis di livescience.com, 5 Oktober 2016, tentang sedikitnya ilmuwan perempuan yang memperoleh penghargaan Nobel (‘Are the Nobel Prizes Missing Female Scientists?’. Di bidang fisika, dari 203 orang yang meraih Penghargaan Nobel, hanya ada dua perempuan: Marie Curie (1903) dan Maria Goeppert-Mayer (1963). Sebagian ilmuwan mengatakan, tulis Emspak, angka tersebut menunjukkan adanya persoalan mendasar pada penghargaan itu dan bagaimana penghargaan itu diberikan.

Emspak mengutip pandangan fisikawan Matthew Francis yang mengatakan bahwa penghargaan itu lebih menyukai para pria keturunan Eropa, serta peneliti Eropa dan Amerika pada umumnya. Bias ini, menurut Francis, adalah bagian dari persoalan yang lebih besar, yang mengecualikan kaum perempuan dan minoritas dari pertimbangan panitia. Pada akhirnya, kata Francis seperti dikutip Emspak, kesukarannya terletak pada kenyataan bahwa hampir mustahil untuk menghormati sains tanpa terjebak ke dalam perangkap siapa ilmuwan yang akan ditetapkan untuk memperoleh kehormatan itu.

Chand Prescod-Weinstein, ahli astrofisika teoritis di University of Washington, Seattle, memberi contoh tentang Vera Rubin. Rubin telah menemukan anomali pada cara galaksi-galaksi berotasi, yang menyediakan bukti bagi keberadaan materi gelap (dark matter)—salah satu misteri terbesar alam semesta di mata ilmuwan. “Materi gelap merevolusi konsep kita tentang alam semesta,” kata Emily Levesque, asisten profesor astronomi di University of Washington.

Meskipun banyak ilmuwan mashur mencalonkan Rubin untuk meraih Penghargaan Nobel, harapan itu mungkin tidak akan pernah jadi kenyataan. Rubin sudah berusia 88 tahun dan banyak ilmuwan yang khawatir ia keburu meninggal, sementara selama ini Hadiah Nobel hanya diberikan kepada ilmuwan yang masih hidup. Menyedihkan lagi, Lise Meitner sudah dinominasikan tak kurang dari 48 kali oleh orang-orang yang berlainan antara 1937 hingga 1965 untuk fisika dan kimia, tapi hingga Meitner meninggal pada 1968, ia tak pernah meraih Nobel.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Fisika bukan satu-satunya. Di bidang kimia, dari 171 orang yang meraih Nobel, hanya ada 4 ilmuwan perempuan: Marie Curie (1911), puterinya Irène Joliot-Curie (1935), Dorothy Hodgkin (1964), dan Ada Yonat (2009). Dari 211 penerima Nobel di bidang kedokteran atau fisiologi, hanya 12 yang perempuan. Sedangkan untuk penghargaan yang dinamai Nobel Memorial Prize in Economic Sciences, yang diberikan sejak 1969, hanya ada satu perempuan yang meraihnya dari 76 penerima. Jika dihitung secara total, hingga 2014, sebanyak 803 orang pria sudah meraih Nobel dibandingkan dengan 44 perempuan—kira-kira hanya 5,45%nya saja.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ada diskriminasi gender di lingkungan akademis dan ilmiah? Dalam bukunya yang terbit pada 2013, The Madame Curie Complex: The Hidden History of Women in Science, Julie des Jardins—pengajar sejarah Amerika di Baruch College, Columbia University, dan mantan pengajar di Harvard University, berusaha menemukan jawaban atas sejumlah pertanyaan: Bisakah perempuan menjadi ‘wanita’ sekaligus ‘ilmiah’? Bagaimana ilmuwan pria dan perempuan berkolaborasi di laboratorium? Apakah ilmuwan perempuan mengerjakan ‘sains’ secara berbeda dari ilmuwan pria?

Dalam bukunya itu, istilah Madame Curie Complex yang dipakai des Jardins merujuk kepada definisis Margaret Rossiter, guru besar sejarah sains di Cornell University, untuk melukiskan kompleks rendah diri pada kaum perempuan menyusul kunjungan Marie Curie ke AS pada 1920an. Kaum perempuan Amerika, ketika itu, merasa tidak mampu mencapai tataran setingkat Curie.

Di mata publik AS waktu itu, Marie Curie dianggap sebagai ‘martir yang menggunakan sains untuk mencapai tujuan’ (Curie terpapar sinar radioaktif selama bertahun-tahun). Di sisi lain, ilmuwan yang menetap di Prancis itu dipandang sebagai superhero yang ‘terlampau cerdas , terlalu berdedikasi, terlalu fokus, dan terlalu berbakat untuk ditiru oleh perempuan pada umumnya’.

Des Jardins juga memelajari kehidupan dan karir ilmuwan perempuan lainnya, termasuk Rachel Carson, ahli biologi kelautan yang terkenal lewat bukunya, Silent Spring. Menurut des Jardins, ilmuwan perempuan seringkali mengajukan pertanyaan yang berbeda, memakai metode yang berbeda, dan menyodorkan penjelasan yang berbeda mengenai fenomena tertentu.

Sebagian ilmuwan perempuan mengalami diskriminasi dan marjinalisasi. Mereka menghadapi kesukaran yang tidak perlu ada di lingkungan sains yang diwarnai kultur maskulin. Ilmuwan perempuan, kata des Jardins, kerap diperlakukan sebagai ‘kontributor tidak kasat mata’ meskipun sumbangannya sangat penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam pengertian inilah barangkali ‘tragedi’ Vera Robin memperoleh konteksnya.

Publik bertanya-tanya tentang isu sedikitnya ilmuwan perempuan yang memperoleh Penghargaan Nobel, sebagian orang berusaha menemukan jawabannya. Sayangnya, hingga kini Panitia Nobel tidak pernah terusik untuk membuat penjelasan agar isu ini menjadi terang-benderang. (Marie Curie, sumber: serious-science.org) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler